Selasa, 09 November 2010

Menapaki Perjalanan Sunda

PENDAHULUAN
Sunda. Kalau kata ini diucapkan, orang pasti akan langsung mengkaitkannya dengan etnis. Atau dengan suatu wilayah geografis di sebelah barat P.Jawa. Atau lebih khusus lagi mengkaitkannya dengan kebudayaan, bahkan hanya keseniannya semata.
Jarang ada yang mengira, kalau Sunda itu lebih dari sekedar kebudayaan, etnis ataupun wilayah suatu daerah. Memang dalam peta zaman kolonial, nama Sunda tertera  sebagai Sunda Besar dan Sunda Kecil, Selat Sunda, Laut Sunda. Namun, temuan-temuan ilmu pengetahuan semakin menguak eksistensi Sunda : bukan sekedar wilayah kecil berbudaya khas. Di luar dugaan, Sunda disebut-sebut sebagai kontributor utama untuk kemajuan peradaban berbagai bangsa.
Hal ini dengan jelas dipaparkan oleh Oppenheimer dalam “Thesis Sunda”-nya. Juga dengan gamblang diceritakan beberapa peneliti antropologi dan sejarah dunia. Di samping itu, beberapa tahun yang lalu, telah terbit perhitungan kalender Sunda, yang setelah melalui tahapan penelitian dan perhitungan, ternyata memiliki tingkat akurasi sangat tinggi. Dengan sebutan “Kalangider”, menurut perhitungan kalender inipun  merupakan kalender tertua di dunia.
Berangkat dari temuan-temuan tersebut, maka melalui tulisan ini dicoba disusun untuk menghubungkan sejarah kebudayaan yang terkait dengan kesundaan, yang membentang disepanjang lini ruang dan waktu. Pada intinya, dalam tulisan ini dijelaskan secara global bahwa budaya manusia, dalam hal ini budaya Sunda, saat membangun peradabannya menempatkan diri sebagai bagian dari alam.
Tulisan ini terbagi menjadi beberapa segmen :
  1. Menceritakan awal kehidupan di bumi, dari sel tunggal hingga manusia.
  2. Menceritakan Sunda, dari belum ke berbudaya hingga memiliki kebudayaan.
  3. Menceritakan dunia berbudaya, yakni pengaruh budaya Sunda pada dunia.
Diharapkan tulisan ini memberi gambaran umum mengenai kontribusi Sunda dan kebudayaannya, baik bagi lingkungannya maupun bagi dunia. Disamping itu, tulisan ini diharapkan dapat melahirkan lebih banyak lagi tulisan dan ide-ide mengenai kesundaan.
BAB I
AWAL KEHIDUPAN
Awal kehidupan bermula dari satu noktah kecil. Satu titik kecil yang disebut sel. Yakni mahluk hidup terkecil. Sel tunggal pertama ini konon ditemukan di laut. Kemudian berkembang biak dan tumbuh berkembang serta berevolusi. Ada yang menjadi tumbuhan dan ada yang menjadi hewan. Semakin lama semakin banyak jenisnya, semakin tambah rupanya dan bentuknyapun semakin sempurna. Tumbuhan dan hewan yang berasal dari satu titik selpun, mulai terpisah, mulai membentuk kelompok-kelompoknya sendiri. Ukuran mahluk hidup juga semakin bertambah besar, baik di laut maupun di darat.
Pertumbuhkembangan dan evolusi mahluk hidup selanjutnya membuat langkah maju. Awal perkembangan mahluk hidup dicatat dengan sebutan zaman “Paleozoikum Primer”, yakni sejarah kehidupan perkembangan mahluk hidup. Di dalamnya, ada yang disebut dengan masa “Kambrium”, yakni masa dimulainya pemisahan antara tumbuhan dan hewan, yang mulanya berasal dari satu sel tadi. Berikutnya, disebut dengan zaman “ Ordovisien”, yakni munculnya binatang sebangsa udang, cumi-cumi purba, rumput laut, ganggang laut, agar-agar, karang dan ubur-ubur.
Beberapa langkah lebih maju, daratan mulai ditumbuhi tanaman dan pepohonan. Ini terjadi pada masa “Karbon”, dimana hewan reptilpun sudah mulai berkembang, kemudian hewan menyusui.
Pada masa “Mesozoikum Sekunder” , daratan dan lautan mulai diisi oleh berbagai mahluk hidup. Selain bentuk dan jenisnya semakin beragam, juga semakin ‘meraksasa’ ukurannya, seperti mahluk yang kini dikenal dengan nama dinosaurus, arkosaurus, tiranosaurus, dan burung raksasa – pterosaurus, menjadi puncak akhir zaman mahluk raksasa di darat. Ini dikenal dengan sebutan zaman “Kapur”.
Kemudian, ada perubahan zaman dan ukuran mahluk hidup. Pada zaman “Kaenozoikum Tertier”, ukuran hewan menjadi lebih kecil (mengecil). Pada zaman ini ditemukan badak, tikus juga monyet. Setelah itu pada zaman “Neozoikum Kwartet”, ditemukan hewan darat besar, yakni mamut, gajah raksasa berbulu tebal. Pada masa itu pula mulai ada manusia purba.

BAB II
SUNDA
DARI BELUM BERBUDAYA HINGGA MEMILIKI KEBUDAYAAN
“Phitecanthropus Erectus”, adalah manusia purba yang hidup di daratan Sunda. Paparan Sunda merupakan sebuah kepulauan yang sangat luas. Manusia purba ini konon hidup pada zaman “Pleistosen”. Awal kwartet, lebih kurang satu-dua juta tahun lalu. Fosil manusia modern ditemukan pada lapisan sedimen Pleistosen di daratan tanah Sunda.
Dari manusia purba, manusia mengalami evolusi yang mengantarnya menjadi lebih sempurna. Budaya manusia diperoleh dari hasil olah tenaga, keinginan, pikiran dan perasaan. Kemampuan manusia untuk berkreasi sesuai dengan lingkungan tempat tinggalnya, menghasilkan adat budaya yang khas dan berbeda dengan yang dimiliki manusia di tempat yang berbeda.
Sunda memiliki keindahan panorama yang khas. Gunung yang menjulang tinggi, hutan yang lebat dan rapat — sebagai sumber makanan—sumber mata air yang jernih, memantulkan suasana tenang, damai dan makmur. Embrio budaya Sunda berangkat dari lingkungan alam yang tenang dan kaya khazanah alam tropisnya. Embrio budaya Sunda ditelusuri dari khasanah keseharian hidup yang telah mentradisi secara turun-temurun, yang hingga kini masih tetap dijaga kelestariannya.
Manusia Sunda hidup selaras dengan alam. Belajar dari alam. Cermat dan cerdik menangkap tanda-tanda alam. Salah satunya peka pada suara-suara alam: suara angin, suara hujan, suara halilintar, suara angin, juga suara hewan. Alam yang tenang membentuk budaya kehidupan yang tenang.
Kemampuan memahami suara sangat penting dalam membentuk suara. Suara berkembang menjadi bahasa. Upaya berbahasa merupakan suatu cara untuk menyampaikan pesan. Awalnya adalah pesan sederhana, kemudian berkembang seiring akumulasi pengalaman, membentuk serta mengembangkan perbendaharaan kata. Belajar mencintai alam dari lubuk hati terdalam sehingga menyatunya dengan alam. Adalah budaya yang tercermin dalam keseharian manusia Sunda, dan tercermin dari cara manusia Sunda bertutur: tenang, mengalun, ringan.
Kebudayaan ada yang berkembang di tepian sungai. Dari hulu, hilir, muara sungai, delta, telaga hingga menciptakan di sepanjang garis pantai. Aliran air membuahkan kreativitas. Kreativitas membentuk budaya. Dari membersihkan diri, mengambil air untuk berbagai kebutuhan, hingga membuat alat transportasi air.
Orang Sunda hingga kini akrab dengan alat angkut air. Paling sederhana, yang kini biasa digunakan untuk permainan anak-anak, namanya rakit-gebog. Rakit ini terbuat dari beberapa batang pohon pisang : dua, tiga hingga empat pohon pisang ditebang, diambil batangnya. Panjang batang pisang disamakan, disejajarkan hingga membentuk alas, lalu dipasak dengan bambu (pasak bambu). Selain untuk anak bermain di sungai, rakit gebog juga dapat digunakan untuk alat transportasi melintasi sungai. Praktis, begitu rusak, bisa dengan mudah membuat lagi dengan yang baru. Yang juga tak kalah pentingnya : ramah lingkungan.
Bicara tentang tumbuhan yang tumbuh subur di tanah Sunda, selain pohon pisang, berbagai jenis tanaman bambu mudah dijumpai. Tanaman bambu tumbuh cepat, mudah memperbanyak diri. Sifatnya : kuat, lentur, ringan, dan karena berongga, bambu itu mengambang di air. Selain itu mudah diolah.
Dengan demikian bambu bisa dibuat untuk memenuhi berbagai kebutuhan dalam menjalankan kehidupan. Bambu dipergunakan untuk membuat rumah : dari tiang, rangka, dinding bilik, lantai, sampai ke atap.
Bambu dipakai untuk perabotan dan peralatan rumah tangga : dari bambu yang dipakai seutuhnya seperti untuk saluran air bersih, bangku, jemuran, pago, parako, berbagai anyaman sampai yang terkecil dipakai seumat dan lain-lain.
Karambak Ikan-hal4
Gb : Karambak ikan
Bambu dipakai untuk peralatan dan perlengkapan petani ; dari kincir air untuk irigasi, garu, rancakan, sundung, paranggong, pagar, ajir, aseuk, bungbun, tudung cetok dan lain-lain.
Kincir Air-hal4
Gb : Kicir air
Bambu dipakai untuk peralatan dan perlengkapan berburu dan peternakan. Untuk berburu diantaranya : sumpit, bubu, tombak, jamparing, eurad, dan lain-lain. Untuk peternakan : kandang, kurung, sayang, dan lain-lain.
Bambu dipakai untuk peralatan dan perlengkapan perairan di sugai termasuk jembatan dan transportasi air (rakit), untuk memelihara ikan dalam karambak. Di laut didirikan pagang untuk menangkap ikan.
Rakit bambu-hal4 Gb : Rakit bambu
Bambu juga dipakai untuk alat musik, seperti kohkol, calung, angklung, suling yang menghasilkan suara nyaring dan jernih. Bebrbagai suara alami memberikan inspirasi musik. Saat mengisi lodong dengan air, yang memberi inspirasi membuat tangga nada, yang hingga kini berlaku ialah Salendro, tangga nada lima-nada dengan interval yang sama.
Dari sini kemudian lahir berbagai macam lagu dan patokan lagu (patet). Dari lima nada dalam satu genyang (oktav) dikembangkan menjadi sepuluh nada. Kemudian, perkembangan ini melahirkan laras atau tangga nada degung atau pelog, madenda atau sorog. Setelah ada tangga nada ini, mulailah banyak diciptakan berbagai macam instrumen : seperti instrumen tabuh, dan tiup.
Setelah dapat menempa logam, lahir instrumen lainnya.  Musik Sunda bukan hanya digunakan sebagai sarana hiburan, namun juga untuk kegiatan-kegiatan sakral dan berbagai upacara. Asalnya, musik Sunda ini tidak dituliskan. Kemudian baru ditulis oleh Pak Mahyar.
Dunia tulis menulis sebenarnya dikenal sebagai budaya buhun. Dari hasil penelitian ditemukan berbagai tingkat perkembanagn bentuk huruf. Abjadnya bernama “ka-ga-nga”. Abjad ini lalu berkembang di India, dikenal sebagai tulisan Sansekerta. Sekarang “kaganga” dikenal dengan “ha-na-ca-ra-ka-“.
Penulisan dengan “kaganga” awalnya menggunakan kayu atau bambu sebagai kertasnya. Alat tulisnya bisa pisau, bisa juga getah pohon. Setelah itu, daun lontarpun digunakan sebagai alas untuk menulis. Pada masa berikutnya, ditulis pada saeh (daun) atau pada logam tipis, seperti : tembaga, timah atau kuningan. Bagi para raja, bisa saja memakai lembaran emas. Bersamaan dengan tulisan (huruf), penulisan angka serta ilmu hitungnya juga sama dikembangkan.
Perkembangan berikutnya adalah penelitian kalender. Awalnya adalah memperhatikan keberadaan bulan. Saat bulan setengah lingkaran, dihitung sebagai awal bulan. Lalu bulan purnama, bulan setengan lingkaran berikutnya lalu bulan gelap kembali ke setengah lingkaran lagi, tercatat antara 29 atau 30 hari. Kemudian Ki Sunda mempelajari keberadaan matahari.
Memeriksa matahari tentu tidak bisa ditatap langsung, tidak seperti saat menggunakan bulan sebagai tolak – ukur perhitungan kalender. Menggunakan matahari sebagai patokan, harus menggunakan alat bantu yakni lingga (batu yang berdiri tegak). Bayangan lingga diukur dengan menggunakan lidi.
Setelah satu tahun, bayangan (yang diukur dengan lidi) membentuk satu gelombang (kini dikenal dengan gelombang sinus). Jarak satu gelombang = 365, 25 hari. Inilah perhitungan satu tahun matahari. Diatur kemudian, bahwa satu tahun itu 365 hari untuk selama 3 tahun, tahun keempatnya 365 + (4X0.25) = 366 hari. Dan tahun ke-128, yang jatuh pada tahun ke empat (biasanya 366 hari) dijadikan 365 hari.
Satu tahun matahari = munculnya 12X bulan purnama. Dari sini ditetapkan bahwa satu tahun = 12 bulan. Tapi 12X bulan purnama bila dihitung dari perhitungan bulan, akan sama dengan 354 lebih sedikit. Inilah perhitungan satu tahun bulan. (Dari hasil penelitian Kalangider, A.Sastramidjaja, 1990).
Dengan demikian, penanggalan Sunda  memiliki dua buah perhitungan : yakni pertama berdasarkan perhitungan matahari dan kedua berdasarkan perhitungan bulan. Kelender Sunda menggunakan semuanya hingga saat ini. Kalender matahari digunakan untuk hal yang berkaitan dengan musim, yakni musim kemarau, musim hujan, dan sebagainya.
Kalender bulan digunakan untuk mencatat sejarah yang ditulis dengan lontar atau batu, caritera dan paririmbon (astrologi) ditulis di atas lontar, akurasi kalender Sunda sangat tinggi, baik kalender matahari maupun kalender bulan.
Sunda juga mencatat pertumbuhan dan perkembangan anak. Mulai dari dalam kandungan, saat lahir, remaja hingga awal dewasa. Pengetahuan ini dimaksudkan agar calon orang tua mengetahui apa yang perlu diperhatikan, selama mengasuh anak baik secara fisik maupun secara mental. Misalnya, saat bayi berusia satu minggu, ditulis bahwa bayi suka tersenuym sendiri.
Lalu, diceritakan pula proses seorang anak kapan mulai belajar berjalan, dan bagaimana membimbingnya. Mengenai permainan terurai bagi anak sejak lahir sampai awal remaja. Saat anak laki-laki menginjak usia antara tiga hingga enam tahun, disunat. Sunat merupakan tradisi budaya Sunda sejak dahulu.

BAB III
SUNDA MEMBUDAYAKAN DUNIA
Sumber : Thesis Sunda (Oppenheimer), et al.
Dalam tulisan ilmiah Oppenheimer, disinyalir Sunda pernah mendunia. Salah satu penetrasi budaya yang menjadi kontribusi Sunda dalam distribusi global (keluar wilayah Sunda) adalah tradisi sunat, teutama bagi laki-laki.
Tradisi sunat di Sunda ini telah mempengaruhi daerah : Mediterania Timur, Sub-Sahara Afrika, Teluk Persia, Afrika Timur, Timur Dekat Kuno (termasuk Mesir), Nugini, Korea, Oseania. Di Sunda, tradisi ini diberlakukan sejak anak berusia sekitar 3 – 6 tahun.
Sunat mudah diterima secara luas, karena alasan kebersihan dan kesehatan yang menjadi faktor utama. Kebersihan dan kesehatan organ vital terutama untuk pria, akhirnya menjadi tradisi di banyak tempat, dan dikodifikasi oleh agama-agama Samawi. Selain sunat, kebudayaan, gaya hidup, keahlian di bidang teknologi maritim dan pertanian juga ikut menyebar luas dari daratan tanah Sunda ke berbagai daerah yang dikunjunginya.
Dalam thesis Sunda-nya Oppenheimer mensinyalir adanya migrasi jangka panjang dari wilayah Sunda ke berbagai wilayah lain, dengan populasi berlebih, disebabkan oleh bencana banjir. Diasumsikan, bencana inilah yang menjadi pencetus perkembangan keahlian maritim yang Adi luhung yang dimiliki masyarakat Sunda.
Maka, ekspansi Sunda diawal milenium terjadi karena kecanggihan teknologi maritimnya, untuk masa itu, termasuk di dalamnya bidang pelayaran. Teknik kelautan merupakan prasyarat bagi migrasi jangka panjang. Dibutuhkan kapal yang kokoh, besar dan mudah menembus berbagai kendala yang mungkin terjadi selama mengarungi samudra.
Oppenheimer menengarai/menandai bahwa populasi Sunda asli yang didukung oleh keahlian maritim yang handal, telah membawa peradaban (Sunda) ke Asia Selatan (wilayah sungai Indus), Asia Barat (Mesopotamia), serta menyentuh peradaban Mesir dan belahan Afrika lainnya, serta merambah hingga Eropa (termasuk di dalamnya Basque).
Peradaban yang terbentuk berekspansi dan sanggup membuat ikatan lintas budaya, beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. Sistem budaya formal, seperti mitos, bahasa, seni, sistem religi, alat musik dan bentuk-bentuk musik, cara menulis dan perhitungannya, termasuk detail bukti atas tapak Sunda diberbagai wilayah perluasannya.
Tapak sunda lain yang menyebar luas adalah penyebaran bibit-bibit tanaman : talas, jagung (maizena), pisang, mangga, dan hasil pangan lainnya. Rempah-rempah merupakan andalan utama hasil kebun yang didatangkan langsung dari tanah Sunda untuk diperdagangkan. Rempah-rempah inilah yang mencuatkan nama Babilonia di Timur, dan Mesir di Barat sebagai pusat-pusat perdagangan dunia pada masa itu. Babilonia menerima barang-barang dagangan dari timur untuk dibawa ke barat (Mesir). Dan dari Mesir, barang-barang dagangan ini, rempah-rempah dari tanah Sunda, diteruskan ke Eropa.
Dari sinilah orang-orang barat (Eropa) mengenal rempah-rempah. Demikian terkenalnya tanah Sunda, hingga namanya terpatri di berbagai Prasasti/tiang kota di mesir maupun Atlantis, dengan sebutan Sunsa-Dwipa. Ini membuktikan bahwa ekspansi Sunda memberi kedudukan yang kokoh untuk jangka waktu yang lama, terutama kontribusinya di dunia perdagangan.
Ikonografi, produk-produk patung, ukiran logam (perunggu), dan gerabah, juga menjadi ciri kuat keterkaitan kesinambungan penetrasi budaya Sunda di berbagai wilayah sebarannya, dalam hal ini di Afrika. Ikonografi patung-patung Afrika yakni ukiran perunggu dari Ife. Model ini pada akhirnya memberikan temuan betapa dekatnya kemiripan akan model-model ketuhanan.
Oppenheimer, yang adalah seorang dokter pedriastis/ahli genetika, justru memberi kontribusi untuk temuan ilmiah, bahwa ekspansi sunda ke barat juga membawa ikutan distribusi penyakit darah yang diturunkan secara genetis, yang dikenal dengan sebutan talasemia.
Jelajah penyebaran talasemia sangat cocok dengan “hipotesa perluasan Sunda”, khususnya DNA tipe B. Talasemia disinyalir menjadi cikal-bakal penyakit malaria.
Sunda berekspansi dan pengaruhnya bertahan lama, tidak lain akibat kepandaian, keberanian dan rasa ingin tahu dalam mencoba hal-hal baru, termasuk bermigrasi. Kecerdasan intelektual yang dipadu dengan kemampuan beradaptasi (kecerdasan emosional dan adversitas), serta keyakinan akan wujud pertolongan Sang Hyang Widi (kecerdasan spiritual), merupakan landasan utama yang membentuk sosok manusia Sunda yang menempatkan diri selaras dengan alam, dan sebagai bagian dari alam. Pengaruh budaya Sunda pada dunia pada akhirnya mendorong dunia menjadi lebih berbudaya, lebih mandiri dan kemudian mampu membudayakan diri sendiri.

KESIMPULAN :
Sunda yang saat ini tereduksi menjadi enam etnis dan kebudayaan yang menempati sebagian kecil wilayah suatu negara, dahulu merupakan sebuah wilayah besar dengan kemajuan peradaban dan pengetahuannya.
Migrasi ke berbagai belahan dunia, berimbas pada penyebaran budaya, keahlian hidup, perilaku (termasuk mitos), perdagangan, pertanian, penyebaran bibit tanaman dan penyakit genetis.
Disadari atau tidak, kontribusi Sunda pada dunia banyak yang masih tetap dipertahankan, salah satunya adalah tradisi sunat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar