Suatu waktu dalam hidup Sayyid Qutb, ia pernah bimbang. Ia didatangi keraguan. Antara meneruskan menulis atau menghentikannya. Dalam perenungannya ia bertanya tentang manfaat dari makalah-makalahnya yang telah banyak beredar. Tidakkah lebih baik jika ia meletakkan tintanya lalu mengambil peluru untuk menghentikan kezaliman orang-orang yang melampaui batas.
Untunglah saat-saat seperti itu tidak berlangsung lama. Sayyid Qutb memutuskan untuk tetap menggoreskan tintanya. Sayyid Qutb memilih melanjutkan perjuangan menulisnya. Ini setelah Sayyid Qutb membaca kembali tulisan-tulisannya yang lama dan bertemu dengan orang-orang yang membaca tulisannya. Tulisan lama itu ternyata membawa kekuatan untuk menjaga bara api perjuangan Sayyid Qutb tetap menyala. Sementara bagi orang lain yang ditemuinya, tulisan Sayyid Qutb membawa kekuatan motivasi untuk memperjuangkan Islam dalam hidup mereka.
Kelak, keputusan Sayyid Qutb ini terbukti benar dan membawa pengaruh besar. Sayyid Qutb telah lama mati, tapi kekuatan kata-kata dalam setiap tulisannya masih “abadi”. Banyak orang yang kemudian terpanggil memperjuangkan Islam dan bergabung dalam kafilah dakwah setalah membaca tulisannya. Seperti kata KH. Ali Yafie: “Kata-kata yang digunakan oleh al-Ustadz Sayyid Qutb begitu indah dan menyentuh hati sehingga menyemangati saya untuk berislam serta memperjuangkannya.”
Hassan Al-Banna adalah contoh lain dalam hal kekuatan kata-kata. Jika Sayyid Qutb menulis banyak buku dan mentransformasikan kekuatan kata-kata melalui bahasa tulisan, Hasan Al-Banna adalah dai yang langsung menggelorakan semangat dengan orasinya serta menyentuh jiwa melalui pendekatan personal dan untaian bahasanya. Hasan Al-Banna tidak mencetak buku tetapi mencetak kader. Majmuatur Rasail yang dikenal sebagai karya monumental Hasan Al-Banna sebenarnya adalah himpunan risalah, bukan buku. Sementara Haditsu Tsulatsa ditulis Ahmad Isa Asyur untuk meng-“abadi”-kan materi-materi ceramah Hasan Al-Banna yang disampaikannya secara langsung setiap selasa malam di kantor Ikhwan.
Kata-kata Hasan Al-Banna seperti mengandung kekuatan magis yang mampu menarik pendengarnya ke arah dakwahnya. Maka forum-forum dakwah Al-Banna menjadi sangat diminati dan jumlah pesertanya terus meningkat dari hari ke hari. Banyak yang langsung menangis begitu mendengar taujihnya. Lalu mereka pulang dengan semangat keislaman yang membara. Dari sana, lahirlah tokoh-tokoh dakwah dan ulama besar didikan Al-Banna; Sayyid Qutb, Muhammad Qutb, Ali Abdul Halim Mahmud, Muhammad Al-Ghazali, Yusuf Qardhawi, dan lain-lain.
Jika kata-kata menemukan kekuatannya pada Sayyid Qutb, Hasan Al-Banna, dan banyak mujahid dakwah lainnya, mengapa pula banyak dai yang kata-katanya tidak lagi memiliki ruh? Entah kata-kata secara lisan, atau berbentuk tulisan.
Kata-kata yang tak lagi memiliki ruh ini akan terlihat pada atsar-nya. Mulai dari ceramah dai yang hambar dan kosong makna. Tulisan aktifis dakwah yang tidak berkesan dan terasa hampa. Sampai kata-kata murabbi yang tidak berpengaruh dan berbekas pada para mutarabbinya.
Hal pertama yang dapat dipahami adalah kata-kata takkan memiliki ruh jika keluar dari orang yang tidak meyakininya. Seperti orang yang memotivasi orang lain agar optimis menatap masa depan, namun sebenarnya ia sendiri ragu menghadapi hari-hari mendatang.
Kedua, ketika kata-kata yang dikeluarkan lisannya terlebih dulu telah dikhianati hati dan amalnya. Seperti orang yang mengajak qiyamullail dan menjanjikan kemenangan dakwah dengannya, sementara ia sendiri telah memutuskan “sami’na wa’ashaina”: aku mendengar ajakan ini, tetapi aku takkan melakukannya. Sebelum kata-kata itu sampai di telinga mad’u-nya, ruh-nya telah dicabut oleh sikap dainya. Jadilah ia tidak lebih dari rangkaian huruf tanpa makna.
Dua hal ini pembunuh utama ruh kata-kata, sebab ruh itu sesungguhnya dari Allah dan takkan mungkin dianugerahkan kepada orang yang dimurkai-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan. Sungguh besar kemurkaan di sisi Allah jika kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan.” (QS. Ash-Shaf : 2-3)
Ketiga, kurang dekatnya hubungan dengan Allah SWT. Padahal kedekatan kepada Allah, terutama pada waktu malam dengan qiyamullail dan tilawah adalah standar kelayakan kata-kata memiliki ruh; menjadi berbobot atau qaulan tsaqiilaa (QS. Al-Muzammil : 5)
Keempat, menurunnya keimanan dan ketaqwaan. Padahal keduanya berbanding lurus dengan ruh kata-kata; menjadikan nasehat dan taujih benar dan tepat sasaran atau qaulan sadiida (QS. Al-Ahzab : 70)
Kelima, kotornya hati akibat kemaksiatan dan dosa. Sebaliknya, tazkiyatun nafs dan taubat nasuha menjadikan hati cemerlang (qalbun mushoqqolun). Seperti cermin ketika bersih dari debu bisa memantulkan cahaya, hati yang cemerlang menghantarkan kata-kata masuk dalam hati pendengarnya. “Jika bertaubat dan beristighfar, maka cemerlanglah dan cemerlanglah hatinya.” (HR. Ibnu Majah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar