Rabu, 28 April 2010

35. Kesultanan Banjar

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Lokasi ibu kota terakhir Kesultanan Banjar tahun 1860 di Kampung Sungai Mesa, Banjarmasin, Kalimantan SelatanBerdiri 1526-1860Didahului oleh Kerajaan Negara Daha
Digantikan oleh PagustianIbu kota Kuin, BanjarmasinMuara Tambangan, MartapuraBatang Banyu, MartapuraKayu Tangi (Karang Intan) Sungai Mesa, Banjarmasin Bahasa :Banjar
AgamaIslam Sunni mazhab Syafi'i (resmi) Kaharingan Konghucu Nasrani

Pemerintahan
-Sultan pertama
-Sultan terakhir Monarki
Sultan Suriansyah (1526-1550)
Sultan Muhammad Seman (1862-1905)

Sejarah
-Didirikan
-Zaman kejayaan
-Krisis suksesi
1526
1626-1857
1857



Profil Bangsawan Banjar sekitar tahun 1850 koleksi Museum Lambung Mangkurat.


Profil gadis Banjar sekitar tahun 1850 koleksi Museum Lambung Mangkurat.
Kesultanan Banjar (24 September 1526 s.d 11 Juni 1860) adalah kesultanan yang terdapat di Kalimantan Selatan. Kesultanan ini semula beribukota di Banjarmasin kemudian dipindahkan ke Martapura dan sekitarnya (kabupaten Banjar). Ketika beribukota di Martapura disebut juga Kerajaan Kayu Tangi.
Ketika ibukotanya masih di Banjarmasin, maka kesultanan ini disebut Kesultanan Banjarmasin. Kesultanan Banjar merupakan penerus dari Kerajaan Negara Daha yaitu kerajaan Hindu yang beribukota di kota Negara, sekarang merupakan ibukota kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan.
Sejarah
Menurut mitologi suku Maanyan suku tertua di Kalimantan Selatan kerajaan pertama adalah Kerajaan Nan Sarunai yang diperkirakan wilayah kekuasaannya terbentang luas mulai dari daerah Tabalong hingga ke daerah Pasir. Keberadaan mitologi Maanyan yang menceritakan tentang masa-masa keemasan Kerajaan Nan Sarunai sebuah kerajaan purba yang dulunya mempersatukan etnis Maanyan di daerah ini dan telah melakukan hubungan dengan pulau Madagaskar. Salah satu peninggalan arkeologis yang berasal dari zaman ini adalah Candi Agung yang terletak di kota Amuntai. Pada tahun 1996, telah dilakukan pengujian C-14 terhadap sampel arang Candi Agung yang menghasilkan angka tahun dengan kisaran 242-226 SM (Kusmartono dan Widianto, 1998:19-20).
Menilik dari angka tahun dimaksud maka Kerajaan Nan Sarunai/Kerajaan Tabalong/Kerajaan Tanjungpuri usianya lebih tua 600 tahun dibandingkan dengan Kerajaan Kutai Martapura di Kalimantan Timur.
Menurut Hikayat Sang Bima, wangsa yang menurunkan raja-raja Banjar adalah Sang Dewa (Sadewa) bersaudara dengan wangsa yang menurunkan raja-raja Bima (Sang Bima), raja-raja Bali, raja-raja Makassar yang terdiri lima bersaudara Pandawa (Sang Bima, Sang Dewa, Sang Kula,..).
Sesuai Tutur Candi (Hikayat Banjar versi II), di Kalimantan Selatan telah berdiri suatu pemerintahan dari dinasti kerajaan (keraton) yang terus menerus berlanjut hingga daerah ini digabungkan ke dalam Hindia Belanda sejak 11 Juni 1860, yaitu :
1. Keraton awal disebut Kerajaan Kuripan
2. Keraton I disebut Kerajaan Negara Dipa
3. Keraton II disebut Kerajaan Negara Daha
4. Keraton III disebut Kesultanan Banjar
5. Keraton IV disebut Kerajaan Martapura/Kayu Tangi
Maharaja Sukarama, Raja Negara Daha telah berwasiat agar penggantinya adalah cucunya Raden Samudera, anak dari putrinya Puteri Galuh Intan Sari. Ayah dari Raden Samudera adalah Raden Manteri Jaya, putra dari Raden Begawan, saudara Sukarama. Wasiat tersebut menyebabkan Raden Samudera terancam keselamatannya karena para Pangeran juga berambisi sebagai pengganti Sukarama yaitu Pangeran Bagalung, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung. Sepeninggal Sukarama, Pangeran Mangkubumi putra Sukarama menjadi Raja Negara Daha, selanjutnya digantikan Pangeran Tumenggung yang juga putra Sukarama. Raden Samudera sebagai kandidat raja dalam wasiat Sukarama terancam keselamatannya, tetapi berkat pertolongan Arya Taranggana, mangkubumi kerajaan Daha, ia berhasil lolos ke hilir sungai Barito, kemudian ia dijemput oleh Patih Masih (Kepala Kampung Banjarmasih) dan dijadikan raja Banjarmasih sebagai upaya melepaskan diri dari Kerajaan Negara Daha dengan mendirikan bandar perdagangan sendiri dan tidak mau lagi membayar upeti. Pangeran Tumenggung, raja terakhir Kerajaan Negara Daha akhirnya menyerahkan regalia kerajaan kepada keponakannya Pangeran Samudera, Raja dari Banjarmasih. Setelah mengalami masa peperangan dimana Banjar mendapat bantuan dari daerah pesisir Kalimantan dan Kesultanan Demak. Hasil akhirnya kekuasaan kerajaan beralih kepada Pangeran Samudera yang menjadi menjadi Sultan Banjar yang pertama, sementara Pangeran Tumenggung mundur ke daerah Alay di pedalaman dengan seribu penduduk.
Kesultanan Banjar mulai mengalami masa kejayaan pada dekade pertama abad ke-17 dengan lada sebagai komoditas dagang, secara praktis barat daya, tenggara dan timur pulau Kalimantan membayar upeti pada kerajaan Banjarmasin. Sebelumnya Kesultanan Banjar membayar upeti kepada Kesultanan Demak, tetapi pada masa Kesultanan Pajang penerus Kesultanan Demak, Kesultanan Banjar tidak lagi mengirim upeti ke Jawa.
Supremasi Jawa terhadap Banjarmasin, dilakukan lagi oleh Tuban pada tahun 1615 untuk menaklukkan Banjarmasin dengan bantuan Madura dan Surabaya, tetapi gagal karena mendapat perlawanan yang sengit.
Sultan Agung dari Mataram (1613–1646), mengembangkan kekuasaannya atas pulau Jawa dengan mengalahkan pelabuhan-pelabuhan pantai utara Jawa seperti Jepara dan Gresik (1610), Tuban (1619), Madura (1924) dan Surabaya (1625). Pada tahun 1622 Mataram kembali merencanakan program penjajahannya terhadap kerajaan sebelah selatan, barat daya dan tenggara pulau Kalimantan, dan Sultan Agung menegaskan kekuasaannya atas Kerajaan Sukadana tahun 1622.
Seiring dengan hal itu, karena merasa telah memiliki kekuatan yang cukup dari aspek militer dan ekonomi untuk menghadapi serbuan dari kerajaan lain, Sultan Banjar mengklaim Sambas, Lawai, Sukadana, Kotawaringin, Pembuang, Sampit, Mendawai, Kahayan Hilir dan Kahayan Hulu, Kutai, Pasir, Pulau Laut, Satui, Asam Asam, Kintap dan Swarangan sebagai vazal dari kerajaan Banjarmasin, hal ini terjadi pada tahun 1636.
Sejak tahun 1631 Banjarmasin bersiap-siap menghadapi serangan Kesultanan Mataram, tetapi karena kekurangan logistik, maka rencana serangan dari Kesultanan Mataram sudah tidak ada lagi. Sesudah tahun 1637 terjadi migrasi dari pulau Jawa secara besar-besaran sebagai akibat dari korban agresi politik Sultan Agung. Kedatangan imigran dari Jawa mempunyai pengaruh yang sangat besar sehingga pelabuhan-pelabuhan di pulau Kalimantan menjadi pusat difusi kebudayaan Jawa.
Disamping menghadapi rencana serbuan-serbuan dari Mataram, kesultanan Banjarmasin juga harus menghadapi kekuatan Belanda.
Sebelum dibagi menjadi beberapa daerah (kerajaan kecil), wilayah asal Kesultanan Banjar meliputi provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Tanjungpura dan sebelah timur berbatasan dengan Kesultanan Pasir. Pada daerah-daerah pecahan tersebut, rajanya bergelar Pangeran, hanya di Kesultanan Banjar yang berhak memakai gelar Sultan. Kesultanan-kesultanan lainnya mengirim upeti kepada Kesultanan Banjar, termasuk Kesultanan Pasir yang ditaklukan tahun 1636 dengan bantuan Belanda.
Wilayah
Kesultanan Banjar bertindak sebagai wakil Kesultanan Demak di Kalimantan, sedangkan Demak adalah penerus Majapahit. Menurut Hikayat Banjar sejak jaman pemerintahan kerajaan Hindu, wilayah yang termasuk mandala Kerajaan Banjar meliputi daerah taklukan paling barat adalah negeri Sambas/Kerajaan Sambas sedangkan wilayah taklukan paling timur adalah negeri Karasikan/Kerajaan Tidung lebih kurang sama dengan wilayah Borneo-Belanda. Dahulu kala batas-batas negeri/kerajaan adalah antara satu tanjung dengan tanjung lainnya sedangkan penduduk daerah pedalaman dianggap takluk kepada kerajaan bandar yang ada di hilir misalnya suku Biaju (rumpun Dayak Barito) merupakan bagian dari rakyat kerajaan Banjar bahkan menjadi tentara kerajaan yang handal. Kerajaan Banjar tidak pernah mengklaim Kalimantan bagian utara, dan sejauh ini juga belum pernah ditemukan catatan bahwa Kesultanan Banjar mengirim upeti kepada Kesultanan Brunei sebagai penguasa wilayah utara Kalimantan. Suku Banjar merupakan kelompok masyarakat Melayu yang terbanyak di Kalimantan, bahkan jika dibanding dengan suku Brunei. Kesultanan Banjar mengalami masa kejayaan pada abad ke-17, yang pada masa itu belum banyak suku pendatang yang mendominasi seperti saat ini seperti suku Jawa, Bugis, Mandar, Arab dan Cina.
Teritorial Kerajaan Banjar pada abad ke-16 dalam tiga wilayah meskipun terminologi ini tidak dipergunakan dalam sistem politik dan pemerintahan dalam kerajaan, yaitu :
1.Negara Agung
2.Mancanegara
3.Pesisir
Wilayah kerajaan Banjar meliputi titik pusat yaitu istana raja di Martapura dan berakhir pada titik luar dari negeri Sambas sampai ke negeri Karasikan. Terminologi wilayah Tanah Seberang, tidak ada dalam Kesultanan Banjar, karena tidak memiliki jajahan di luar pulau, walaupun orang Banjar juga merantau sampai keluar pulau Kalimantan.[1]
Kerajaan Banjar menaungi hingga ke wilayah Sungai Sambas adalah dari awal abad ke-15 M hingga pertengahan abad ke-16 M yaitu pada masa Kerajaan Melayu hindu Sambas yang menguasai wilayah Sungai Sambas. Kerajaan Melayu hindu Sambas ini kemudian runtuh pada pertengahan abad ke-16 M dan dilanjutkan dengan Panembahan Sambas hindu yang merupakan keturunan Bangsawan Majapahit dari Wikramawadhana. Pada saat memerintah Panembahan Sambas hindu ini bernaung dibawah Dipati/Panembahan Sukadana (bawahan Sultan Banjar) sampai awal abad ke-17 M yang kemudian beralih bernaung dibawah Kesultanan Johor. Panembahan Sambas hindu ini kemudian runtuh pada akhir abad ke-17 M dan digantikan dengan Kesultanan Sambas yang didirikan oleh keturunan Sultan Brunei melalui Sultan Tengah pada tahun 1675 M. Sejak berdirinya Kesultanan Sambas hingga seterusnya Kesultanan Sambas adalah berdaulat penuh yaitu tidak pernah bernaung atau membayar upeti kepada pihak manapun kecuali pada tahun 1855 yaitu dikuasai / dikendalikan pemerintahannya oleh Hindia Belanda (seperti juga Kerajaan-Kerajaan lainnya diseluruh Nusantara terutama di Pulau Jawa yang saat itu seluruhnya yang berada dibawah Pemerintah Hindia Belanda di Batavia) yaitu pada masa Sultan Sambas ke-12(Sultan Umar Kamaluddin).
Dalam perjalanan sejarah ketetapan wilayah Kesultanan Banjar tersebut tidak dapat dilihat dengan jelas dengan batas yang tetap karena dipengaruhi oleh keadaan yang tidak stabil dan batas wilayah yang fleksibel disebabkan oleh berkembangnya atau menurunnya kekuasaan Sultan Banjar.
•Daerah Martapura sebagai Kota Raja merupakan wilayah/ring pertama dan pusat pemeritahan Sultan Banjar.
•Wilayah teritorial/ring kedua, Negara Agung terdiri dari :
1.Tabuniau, atau Tanah Laut, daerah laut, kebalikan arah dari "tanah darat".
2.Daerah Banjar Lama dengan Pelabuhan Banjarmasin (Tatas).
3.Banua Ampat artinya banua nang empat: Banua Padang, Banua Halat, Banua Parigi dan Banua Gadung.
4.Margasari
5.Alay
6.Amandit
7.Banua Lima artinya lalawangan nang lima: Negara, Alabio, Sungai Banar, Amuntai dan Kalua
8.Muarabahan (atau Pulau Bakumpai yaitu tebing barat sungai Barito dari muara hingga dekat Mengkatip).
9.Tanah Dusun (daerah hulu sungai Barito, Sultan Tahmidullah II pada 13 Agustus 1787 menyerahkan Dusun Atas menjadi milik VOC tetapi daerah Mengkatip (Dusun Bawah) dan Tamiang Layang (Dusun Timur) dan sekitarnya tetap sebagai wilayah inti Kesultanan Banjar).
Teritorial Negara Agung ini semakin berkurang dan tidak mempunyai akses ke laut Jawa terkepung oleh wilayah Hindia Belanda ketika pada tanggal 4 Mei 1826 Sultan Adam menyerahkan lagi kepada Hindia Belanda : Pulau Tatas, Kuin Selatan, Pulau Bakumpai dan Pulau Burung.
•Teritorial/ring ketiga, yaitu Mancanegara, dengan tambahan kedua wilayah ini teritorial kerajaan semakin meluas disebut Borneo Selatan terdiri dari :
oWilayah Barat (Kalimantan Tengah): Biaju, Kahayan, Sebangau, Mendawai, Sampit, Pembuang, Kotawaringin dan Jelai dalam Hikayat Banjar semua daerah ini dibawah Kotawaringin, pada akhir abad ke-19 Hindia Belanda menjadikannya Afdeeling Tanah Dayak dan Afdeeling Sampit.
oWilayah Timur : Swarangan, Asam-Asam, Kintap, Satui, Laut-Pulau, Pamukan dan Pasir; dalam Hikayat Banjar abad ke-17 semua daerah ini dibawah Pasir, yang kemudian muncul pecahannya Kerajaan Tanah Bumbu (serta Tanah Kusan). Pada akhir abad ke-19 Hindia Belanda menjadikannya Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe dengan 11 swapraja termasuk wilayah Kesultanan Pasir itu sendiri dan bekas kerajaan Tanah Bumbu atau daerah Kalimantan Tenggara pada 1863 berkembang menjadi 10 swapraja : Sabamban, Koensan, Pegatan, Batoe Litjin, Poelau Laoet, Bangkalaan, Tjangtoeng, Sampanahan, Manoenggoel dan Tjingal, sebenarnya ada satu daerah lagi yang sudah dihapuskan yaitu Buntar-Laut.
•Teritorial/ring keempat, yaitu Pesisir, dengan tambahan kedua wilayah ini teritorial kerajaan semakin bertambah luas lebih kurang sama dengan Provinsi Borneo pada masa kolonial Hindia Belanda. Perjanjian Sultan Tamjidullah I dengan VOC pada 20 Oktober 1756 untuk menaklukan kembali Sanggau, Sintang, Lawai, Pasir, Kutai dan Berau. Daerah Pesisir terdiri dari :
oPesisir Timur yang sering disebut tanah yang di atas angin yang wilayahnya lebih kurang sama dengan kawasan Borneo Timur dan jika digabung dengan kawasan Borneo Selatan menjadi Karesidenan Selatan dan Timur Borneo pada masa kolonial Hindia Belanda.
 Wilayah Kesultanan Kutai.
 Wilayah Kesultanan Berau (serta bawahannya Kesultanan Bulungan).
 Wilayah terluar yaitu Karasikan atau Kerajaan Tidung/Kaltara (bawahan Berau) dan pantai sebelah Timur.
o Pesisir Barat yang disebut tanah yang di bawah angin, yang wilayahnya lebih kurang sama dengan Karesidenan Borneo Barat.
 Wilayah Kerajaan Sukadana (serta cabangnya Kerajaan Tayan, Kerajaan Meliau serta Kerajaan Mempawah). Terakhir kalinya Sukadana mengantar upeti tahun 1661, kemudian Sukadana menjadi vazal Kesultanan Banten. Raja Kotawaringin sebagai bawahan langsung Sultan Banjar pernah menaklukan kembali negeri Matan/Sukadana, Lawai dan Jelai, tetapi daerah tersebut kemudian berhasil memerdekakan diri.
 Wilayah Batang Lawai atau sungai Kapuas (Kerajaan Sanggau, Kerajaan Sintang dan Lawai). Negeri Sintang (Kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu), Lawai (Kabupaten Melawi) dan Jelai pada tahun 1826 termasuk daerah yang diserahkan kepada Hindia Belanda.
 Wilayah terluar yaitu Kerajaan Sambas dan pantai sebelah Barat. Menurut Hikayat Banjar, sejak era pemerintahan kerajaan Banjar-Hindu, wilayah Sambas menjadi taklukannya dan terakhir kalinya Dipati/Panembahan Sambas mengantar upeti dua biji intan yang besar yaitu si Misim dan si Giwang kepada Sultan Banjar IV Marhum Panembahan (1595-1638), kemudian mulai tahun 1675 negeri Sambas diperintah oleh Dinasti Brunei dengan nama Kesultanan Sambas. Intan Si Misim kemudian dipersembahkan kepada Sultan Agung dari Mataram. Sultan Banjar Sunan Batu dibantu Raja Kotawaringin telah melancarkan peperangan tetapi tidak berhasil untuk menaklukan negeri Sambas kembali.
Pada abad ke-18 Pangeran Tamjidullah I berhasil memindahkan kekuasaan pemerintahan kepada dinastinya dan menetapkan Pangeran Nata Dilaga sebagai Sultan yang pertama sebagai Panembahan Kaharudin Khalilullah. Pangeran Nata Dilaga yang menjadi raja pertama dinasti Tamjidullah I dalam masa kejayaan kekuasaannya, menyebutkan dirinya Susuhunan Nata Alam pada tahun 1772. Putera dari Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang bernama Pangeran Amir, atau cucu Sultan Hamidullah melarikan diri ke negeri Pasir, dan meminta bantuan pada pamannya yang bernama Arung Tarawe (dan Ratu Dewi). Pangeran Amir kemudian kembali dan menyerbu Kesultanan Banjar dengan pasukan orang Bugis yang besar pada tahun 1757, dan berusaha merebut kembali tahtanya dari Susuhunan Nata Alam. Karena takut kehilangan tahta dan kekuatiran jatuhnya kerajaan di bawah kekuasaan orang Bugis, Susuhunan Nata Alam meminta bantuan kepada VOC. VOC menerima permintaan tersebut dan mengirimkan Kapten Hoffman dengan pasukannya dan berhasil mengalahkan pasukan Bugis itu. Sedangkan Pangeran Amir terpaksa melarikan diri kembali ke negeri Pasir. Beberapa waktu kemudian Pangeran Amir mencoba pula untuk meminta bantuan kepada para bangsawan Banjar di daerah Barito yang tidak senang kepada Belanda, karena di daerah Bakumpai/Barito diserahkan Pangeran Nata kepada VOC. Dalam pertempuran yang kedua ini Pangeran Amir tertangkap dan dibuang ke Sri Langka pada tahun 1787. Sesudah itu diadakan perjanjian antara Kesultanan Banjar dengan VOC, dimana raja-raja Banjar memerintah kerajaan sebagai peminjam tanah VOC. Dalam tahun 1826 diadakan perjanjian kembali antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Adam, berdasarkan perjanjian dengan VOC yang terdahulu, berdasarkan perjanjian ini, maka Belanda dapat mencampuri pengaturan permasalahan mengenai pengangkatan Putra Mahkota dan Mangkubumi, yang mengakibatkan rusaknya adat kerajaan dalam bidang ini, yang kemudian menjadikan salah satu penyebab pecahnya Perang Banjar.
Perjanjian itu terdiri atas 28 pasal dan ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826 atau 26 Ramadhan 1241 H. Selain Sultan Adam al Watsiq Billah, perjanjian itu juga ditandatangani oleh Paduka Pangeran Ratu (Putra Mahkota), Pangeran Mangkubumi, Pangeran Dipati, Pangeran Ahmad dan disaksikan oleh para Pangeran lainnya. Perjanjian inilah yang menjadi dasar hubungan politik dan ekonomi antara Kesultanan Banjar dengan pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Dalam perjanjian tersebut Kerajaan Banjar mengakui suzerinitas atau pertuanan Pemerintah Hindia Belanda dan menjadi sebuah Leenstaat, atau negeri pinjaman. Berdasarkan perjanjian ini maka kedaulatan kerajaan keluar negeri hilang sama sekali, sedangkan kekuasaan ke dalam tetap berkuasa dengan beberapa pembatasan dan Residen berperan sebagai agen politik pemerintah kolonial Hindia Belanda. Isi perjanjian 1826 itu antara lain adalah :
1.Kerajaan Banjar tidak boleh mengadakan hubungan dengan lain kecuali hanya dengan Belanda.
2.Wilayah Kerajaan Banjar menjadi lebih kecil, karena beberapa wilayah menjadi bagian dibawah pemerintahan langsung Hindia Belanda. Wilayah-wilayah itu seperti tersebut dalam Pasal 4 :
1.Pulau Tatas dan Kuwin sampai di seberang kiri Antasan Kecil.
2.Pulau Burung mulai Kuala Banjar seberang kanan sampai di Mantuil,
3.Mantuil seberang Pulau Tatas sampai ke Timur pada Rantau Keliling dengan sungai-sungainya Kelayan Kecil, Kelayan Besar dan kampung di seberang Pulau Tatas.
4.Sungai Mesa di hulu kampung Cina sampai ke darat Sungai Baru sampai Sungai Lumbah.
5.Pulau Bakumpai mulai dari Kuala Banjar seberang kiri mudik sampai di Kuala Anjaman di kiri ke hilir sampai Kuala Lupak.
6.Segala Tanah Dusun semuanya desa-desa kiri kanan mudik ke hulu mulai Mangkatip sampai terus negeri Siang dan hilir sampai di Kuala Marabahan.
7.Tanah Dayak Besar-Kecil dengan semua desa-desanya kiri kanan mulai dari Kuala Dayak mudik ke hulu sampai terus di daratan yang takluk padanya.
8.Tanah Mandawai.
9.Sampit
10.Pambuang semuanya desa-desa dengan segala tanah yang takluk padanya
11.Tanah Kotawaringin, Sintang, Lawai, Jelai dengan desa-desanya.
12.Desa Tabanio dan segala Tanah Laut sampai di Tanjung Selatan dan ke Timur sampai batas dengan Pagatan, ke utara sampai ke Kuala Maluku, mudik sungai Maluku, Selingsing, Liang Anggang, Banyu Irang sampai ke timur Gunung Pamaton sampai perbatasan dengan Tanah Pagatan.
13.Negeri-negeri di pesisir timur: Pagatan, Pulau Laut, Batu Licin, Pasir, Kutai, Berau semuanya dengan yang takluk padanya.
3.Penggantian Pangeran Mangkubumi harus mendapat persetujuan pemerintah Belanda.
4.Belanda menolong Sultan terhadap musuh dari luar kerajaan, dan terhadap musuh dari dalam negeri.
5.Beberapa daerah padang perburuan Sultan yang sudah menjadi tradisi, diserahkan pada Belanda. Semua padang perburuan itu dilarang bagi penduduk sekitarnya untuk berburu menjangan. Padang perburuan itu, meliputi :
1. Padang pulau Lampi sampai ke Batang Banyu Maluka
2. Padang Bajingah
3. Padang Penggantihan
4. Padang Munggu Basung
5. Padang Taluk Batangang
6. Padang Atirak
7. Padang Pacakan
8. Padang Simupuran
9. Padang Ujung Karangan
6. Belanda juga memperoleh pajak penjualan intan sepersepuluh dari harga intan dan sepersepuluhnya untuk Sultan. Kalau ditemukan intan yang lebih dari 4 karat harus dijual pada Sultan. Harga pembelian intan itu, sepersepuluhnya diserahkan pada Belanda.
Gambaran umum abad ke-19 bagi Kesultanan Banjar, bahwa hubungan kerajaan keluar sebagaimana yang pernah dijalankan sebelumnya, terputus khususnya dalam masalah hubungan perdagangan internasional. Tetapi kekuasaan Sultan ke dalam tetap utuh, tetap berdautat menjalani kekuasaan sebagai seorang Sultan.
Sistem Pemerintahan
1.Raja : bergelar Sultan/Panambahan/Ratu/Susuhunan
2.Putra Mahkota : bergelar Ratu Anum/Pangeran Ratu/Sultan Muda
3.Perdana Menteri : disebut Perdana Mantri/Mangkubumi/Wazir, dibawah Mangkubumi : Mantri Panganan, Mantri Pangiwa, Mantri Bumi dan 40 orang Mantri Sikap, setiap Mantri Sikap memiliki 40 orang pengawal.
4.Lalawangan : kepala distrik, kedudukannya sama seperti di masa Hindia Belanda.
5.Sarawasa, Sarabumi dan Sarabraja : Kepala Urusan keraton
6.Mandung dan Raksayuda : Kepala Balai Longsari dan Bangsal dan Benteng
7.Mamagarsari : Pengapit raja duduk di Situluhur
8.Parimala : Kepala urusan dagang dan pekan (pasar). Dibantu Singataka dan Singapati.
9.Sarageni dan Saradipa : Kuasa dalam urusan senjata (tombak, ganjur), duhung, tameng, badik, parang, badil, meriam dll.
10.Puspawana : Kuasa dalam urusan tanaman, hutan, perikanan, ternak, dan berburu
11.Pamarakan dan Rasajiwa : Pengurus umum tentang keperluan pedalaman dan pedusunan
12.Kadang Aji : Ketua Balai petani dan Perumahan. Nanang sebagai Pembantu
13.Wargasari : Pengurus besar tentang persediaan bahan makanan dan lumbung padi, kesejahteraan
14.Anggarmarta : Juru Bandar, Kepala urusan pelabuhan
15.Astaprana : Juru tabuh-tabuhan, kesenian dan kesusasteraan.
16.Kaum Mangkumbara : Kepala urusan upacara
17.Wiramartas : Mantri Dagang, berkuasa mengadakan hubungan dagang dengan luar negeri, dengan persetujuan Sultan.
18.Bujangga : Kepala urusan bangunan rumah, agama dan rumah ibadah
19.Singabana : Kepala ketenteraman umum.
Jabatan-jabatan di masa Panembahan Kacil (Sultan Mustain Billah), terdiri :
1.Mangkubumi
2.Mantri Pangiwa dan Mantri Panganan
3.Mantri Jaksa
4.Tuan Panghulu
5.Tuan Khalifah
6.Khatib
7.Para Dipati
8.Para Pryai
•Masalah-masalah agama Islam dibicarakan dalam rapat/musyawarah oleh Penghulu yang memimpin pembicaraan, dengan anggota terdiri dari : Mangkubumi, Dipati, Jaksa, Khalifah dan Penghulu.
•Masalah-masalah hukum sekuler dibicarakan oleh Jaksa yang memimpin pembicaraan dengan anggota terdiri dari Raja, Mangkubumi, Dipati dan Jaksa.
•Masalah tata urusan kerajaan merupakan pembicaraan antara raja, Mangkubumi dan Dipati.
•Dalam hierarki struktur negara, dibawah Mangkubumi adalah Panghulu, kemudian Jaksa. Urutan dalam suatu sidang negara adalah Raja, Mangkubumi, Panghulu, kemudian Jaksa. Urutan kalau Raja berjalan, diikuti Mangkubumi, kemudian Panghulu dan selanjutnya Jaksa. Kewenangan Panghulu lebih tinggi dari Jaksa, karena Panghulu mengurusi masalah keagamaan, sedangkan Jaksa mengurusi masalah keduniaan.
•Para Dipati, terdiri dari para saudara raja, menemani dan membantu raja, tetapi mereka adalah kedua setelah Mangkubumi.
Sistem pemerintahan mengalami perubahan pada masa pemerintahan Sultan Adam Al-Watsiq Billah. Perubahan itu meliputi jabatan :
1.Mufti : hakim tertinggi, pengawas Pengadilan umum
2.Qadi : kepala urusan hukum agama Islam
3.Penghulu : hakim rendah
4.Lurah : langsung sebagai pembantu Lalawangan (Kepala Distrik) dan mengamati pekerjaan beberapa orang Pambakal (Kepala Kampung) dibantu oleh Khalifah, Bilal dan Kaum.
5.Pambakal : Kepala Kampung yang menguasai beberapa anak kampung.
6.Mantri : pangkat kehormatan untuk orang-orang terkemuka dan berjasa, diantaranya ada yang menjadi kepala desa dalam wilayah yang sama dengan Lalawangan.
7.Tatuha Kampung : orang yang terkemuka di kampung.
8.Panakawan : orang yang menjadi suruhan raja, dibebas dari segala macam pajak dan kewajiban.
•Sebutan Kehormatan
oSultan, disebut : Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan
oGubernur Jenderal VOC : Tuan Yang Maha Bangsawan Gubernur Jenderal.
oPermaisuri disebut Ratu.
oPutra raja bergelar Raden/Raden Aria - Raden yang senior mendapat gelar Pangeran dan jika menjabat Dipati mendapat gelar berganda menjadi Pangeran Dipati.
oPutri Raja bergelar Gusti (= Raden Galuh pada jaman Hindu) - Gusti yang senior mendapat gelar Putri/Ratu. Belakangan Gusti juga dipakai untuk mengganti gelar Raden.
oSeorang Syarif (bangsawan Arab) yang menikah dengan puteri Sultan akan mendapat gelar Pangeran Syarif, sedangkan puteri Sultan tersebut menjadi isteri permaisuri disebut Ratu Serip (Ratu Syarif)......
Sultan Banjar
Daftar penguasa Banjar (Sultan Banjar) :
1.Sultan Suriansyah ( 1520-1546 ) : Nama kecilnya Raden Samudra, Raja Banjar pertama sebagai perampas kekuasaan yang memindahkan pusat pemerintahan di Kampung Banjarmasih (Kuin) menggantikan Maharaja Tumenggung (Raden Panjang), menurutnya dia ahli waris yang sah sesuai wasiat kakeknya Maharaja Sukarama (Raden Paksa) dari Kerajaan Negara Daha. Dibantu mangkubumi Aria Taranggana. Baginda memeluk Islam pada 24 September 1526. Makamnya di Komplek Makam Sultan Suriansyah dengan gelar anumerta Sunan Batu Habang. Dalam agama lama, beliau dianggap hidup membegawan di alam gaib sebagai sangiang digelari Perbata Batu Habang.

2.Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah (1546-1570 ) : Pemerintahannya dibantu mangkubumi Aria Taranggana. Makamnya di Komplek Makam Sultan Suriansyah dengan gelar anumerta Panembahan Batu Putih.

3.Sultan Hidayatullah I bin Sultan Rahmatullah 1570-1595 : Pemerintahannya dibantu mangkubumi Kiai Anggadipa. Makamnya di Komplek Makam Sultan Suriansyah dengan gelar anumerta Panembahan Batu Irang. Trah keturunannya menjadi Raja-raja Taliwang dan Sultan-sultan Sumbawa

4.Sultan Mustain Billah bin Sultan Hidayatullah I 1595-1638 Nama kecilnya Raden
Senapati, diduga ia perampas kekuasaan, sebab ia bukanlah anak dari permaisuri meskipun ia anak tertua. Pemerintahannya dibantu mangkubumi Kiai Jayanagara, dilanjutkan sepupunya Kiai Tumenggung Raksanagara. Gelar lain : Gusti Kacil/Pangeran Senapati/Panembahan Marhum/Raja Maruhum dan gelar yang dimasyhurkan Marhum Panembahan. Beliau memindahkan ibukota ke Martapura. Oleh Suku Dayak yang menghayati Kaharingan baginda dianggap hidup sebagai sangiang di Lewu Tambak Raja dikenal sebagai Raja Helu Maruhum Usang. Trah keturunannya menjadi Raja-raja Kotawaringin, Tanah Bumbu dan Bangkalaan

5.Sultan Inayatullah bin Mustainbillah 1638-1645 : Pemerintahannya dibantu adiknya Pangeran di Darat sebagai mangkubumi. Gelar lain : Ratu Agung/Ratu Lama dimakamkan di Kampung Keraton, Martapura. Adiknya, Pangeran Dipati Anta-Kasuma diangkat menjadi raja muda di wilayah sebelah barat yang disebut Kerajaan Kotawaringin

6.Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah (1645-1660 ) : Nama kecilnya Raden Kasuma Alam. Pemerintahannya dibantu mangkubumi pamannya Panembahan di Darat, dilanjutkan pamannya Pangeran Dipati Anta-Kasuma, terakhir dilanjutkan paman tirinya Pangeran Dipati Mangkubumi (Raden Halit). Gelar lain : Wahidullah/Ratu Anum/Ratu Anumdullah.

7.Sultan Ri'ayatullah/Tahalidullah? bin Sultan Mustainbillah (1660-1663 ) : Nama kecilnya Raden Halit. Menggantikan keponakannya, sebagai Penjabat Sultan dengan gelar dalam khutbah Sultan Rakyatullah (Rakyat Allah). Pemerintahannya dibantu mangkubumi keponakan tirinya Pangeran Mas Dipati. Gelar lain : Pangeran Dipati Tapasena/Pangeran Mangkubumi/Panembahan Sepuh/Tahalidullah/Dipati Halit. Pada tahun 1663 menyerahkan tahta kepada kemenakannya Sultan Amrullah Raden Bagus Kesuma yang merupakan Putra Mahkota anak dari Sultan Saidullah/Ratu Agung.

8.Sultan Amrullah bin Sultan Saidullah (1663) : Nama kecilnya Raden Bagus Kasuma. Atas desakan paman tirinya Pangeran Dipati Anom II (Raden Kasuma Lalana) dan suku Biaju kepada Sultan Rakyatullah (Raden Halit) untuk menyerahkan kekuasaan kepadanya. Nama lain : Panembahan Kuning

9.Sultan Agung/Pangeran Suryanata II bin Sultan Inayatullah (1663-1679 ) Nama kecilnya Raden Kasuma Lalana. Mengkudeta kemenakannya Amirullah Bagus Kasuma dengan bantuan suku Biaju, memindahkan pemerintahan ke Sungai Pangeran (Banjarmasin). Pemerintahannya dibantu mangkubumi sepupunya Pangeran Aria Wiraraja, putera Pangeran Ratu. Sebagai raja muda ditunjuk adik kandungnya, Pangeran Purbanagara. Ia berbagi kekuasaan dengan paman tirinya Pangeran Ratu (Sultan Rakyatullah) yang kembali memegang pemerintahan Martapura sampai mangkatnya pada 1666. Gelar lain : Pangeran Dipati Anom II.

10.Sultan Amrullah/Sultan Tahlilullah (Bagus Kasuma) bin Sultan Saidullah 1679-1700. Sempat lari ke daerah Alay kemudian menyusun kekuatan dan berhasil membinasakan pamannya Sultan Agung/Ratu Lamak beserta anaknya Pangeran Dipati/Ratu Agung (Raja negeri Nagara), kemudian naik tahta kedua kalinya. Saudara tirinya Pangeran Dipati Tuha (Raden Basus) diangkat sebagai Raja negeri Tanah Bumbu dengan wilayah dari Tanjung Silat sampai Tanjung Aru.

11.Sultan Tahmidullah I/Sultan Surya Alam bin Sultan Amrullah 1700-1717. Gelar lain : Panembahan Kuning. Mangkubumi dijabat oleh adiknya Panembahan Kasuma Dilaga

12.Panembahan Kasuma Dilaga bin Sultan Amrullah/Tahlilullah 1717-1730. Sebagai wali Sultan

13.Sultan Hamidullah bin Tahmidullah I 1730-1734. Gelar lain : Sultan Kuning. Panglima perang dari La Madukelleng menyerang Banjarmasin pada tahun 1733

14.Sultan Tamjidullah I bin Sultan Tahlilullah/Sultan Amrullah 1734-1759. Bertindak sebagai wali Putra Mahkota Muhammad Aliuddin Aminullah yang bergelar Ratu Anom yang belum dewasa. Tamjidullah I yang bergelar Sultan Sepuh ini berusaha Sultan Banjar tetap dipegang pada dinasti garis keturunannya. Adiknya Pangeran Nullah dilantik sebagai mangkubumi. Tamjidullah I mangkat 1767

15.Sultan Muhammadillah/Muhammad Aliuddin Aminullah bin Sultan Hamidullah (1759-1761). Menggantikan mertuanya Sultan Tamjidullah I. Gelar lain : Sultan Aminullah/Muhammad Iya'uddin Aminullah/Muhammad Iya'uddin Amir ulatie ketika mangkat anak-anaknya masih belum dewasa, tahta kerajaan kembali dibawah kekuasaan Tamjidillah I tetapi dijalankan oleh anaknya Pangeran Nata Dilaga sebagai wali Putra Mahkota.

16.Sultan Tahmidullah II/Sultan Nata bin Sultan Tamjidullah I (1761-1801 ). Semula sebagai wali Putra Mahkota, tetapi mengangkat dirinya sebagai Panembahan Kaharuddin Halilullah. Pemerintahan dibantu oleh Perdana Menteri/mangkubumi Ratu Anom Ismail. Gelar lain : Susuhunan Nata Alam (1772)/Pangeran Nata Dilaga/Pangeran Wira Nata/Pangeran Nata Negara/Akamuddin Saidullah(1762)/Amirul Mu'minin Abdullah(1762)/Sulaiman Saidullah I(1787)/Panembahan Batu (1797)/Panembahan Anom. Mendapat bantuan VOC untuk menangkap Pangeran Amir bin Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang menuntut tahta dengan bantuan suku Bugis-Paser yang gagal, kemudian menjalin hubungan dengan suku Bakumpai dan akhirnya ditangkap Kompeni Belanda 14 Mei 1787, kemudian diasingkan ke Srilangka. Sebagai balas jasa kepada VOC maka dibuat perjanjian 13 Agustus 1787 yang menyebabkan Kesultanan Banjar menjadi vazal VOC atau daerah protektorat, bahkan pengangkatan Sultan Muda dan mangkubumi harus dengan persetujuan VOC.

17.Sultan Sulaiman al-Mutamidullah/Sultan Sulaiman Saidullah II bin Tahmidullah II (1801-1825). Mendapat gelar Sultan Muda atau Pangeran Ratu Sultan Sulaiman sejak tahun 1767 ketika berusia 6 tahun. Dibantu oleh adiknya Ratu Anum Mangku Dilaga sebagai mangkubumi dilanjutkan puteranya Pangeran Husin Mangkubumi Nata bin Sultan Sulaiman. Sultan Sulaiman digantikan anaknya Sultan Adam. Trah keturunannya menjadi raja di Kerajaan Kusan, Batoe Litjin dan Poelau Laoet. Hindia Belanda jatuh ke tangan Inggris, tetapi Inggris melepaskan kekuasaannya di Banjarmasin. Kemudian Hindia Belanda datang kembali ke Banjarmasin untuk menegaskan kekuasaannya.

18.Sultan Adam Al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman al-Mutamidullah (1825-1857).. Baginda mendapat gelar Sultan Muda sejak tahun 1782. Pemerintahannya dibantu adiknya Pangeran Noh Ratu Anum Mangkubumi Kencana sebagai mangkubumi dan Pangeran Abdur Rahman sebagai Sultan Muda. Ketika mangkatnya terjadi krisis suksesi dengan tiga kandidat penggantinya yaitu Pangeran Prabu Anom, Pangeran Tamjidullah II dan Pangeran Hidayatullah II, Belanda sebelumnya sudah mengangkat Tamjidullah II sebagai Sultan Muda sejak 8 Agustus 1852 juga merangkap jabatan mangkubumi dan kemudian menetapkannya sebagai sultan Banjar, sehari kemudian Pangeran Tamjidillah II menandatangani surat pengasingan kandidat sultan lainnya pamannya sendiri Pangeran Prabu Anom yang diasingkan ke Bandung pada 23 Februari 1858. Sebelumnya Sultan Adam sudah mengutus surat ke Batavia agar pengangkatan Tamjidullah II dibatalkan. Sultan Adam sempat membuat surat wasiat yang menunjuk cucunya Hidayatullah II sebagai Sultan Banjar penggantinya, inilah menjadi dasar perlawanan segenap bangsawan terhadap Hindia Belanda

19.Sultan Tamjidullah II al- Watsiq Billah bin Pangeran Sultan Muda Abdur Rahman bin Sultan Adam (1857-1859). Pada 3 November 1857 Tamjidullah II diangkat Belanda menjadi Sultan Banjar, padahal ia anak selir meskipun ia sebagai anak tertua dan kemudian Belanda mengangkat Hidayatullah II sebagai mangkubumi. Pengangkatan Tamjidullah II ditentang segenap bangsawan karena menurut wasiat semestinya Hidayatullah II sebagai Sultan karena ia anak permaisuri. Pada 25 Juni 1859, Hindia Belanda memakzulkan Tamjidullah II sebagai Sultan Banjar kemudian mengirimnya ke Bogor.

20.Sultan Hidayatullah II bin Pangeran Sultan Muda Abdur Rahman bin Sultan Adam (1859-1862 ). Hidayatullah II satu-satunya pemimpin negeri Banjar sesuai wasiat Sultan Adam, sebelumnya sebagai mangkubumi ia diam-diam menjadi oposisi Tamjidullah II, misalnya dengan mengangkat Adipati Anom Dinding Raja (Jalil) sebagai tandingan Raden Adipati Danu Raja yang berada di pihak Belanda/Sultan Tamjidullah II. Perjuangan Hidayatullah II dibantu oleh tangan kanannya Demang Lehman. Ketika mengunjungi Banua Lima, ia dilantik oleh rakyat Banua Lima sebagai Sultan Banjar, dan Pangeran Wira Kasuma sebagai mangkubumi. Pada tanggal 11 Juni 1860, Residen I.N. Nieuwen Huyzen mengumumkan penghapusan Kesultanan Banjar. Hidayatullah II pada 2 Maret 1862 dibawa dari Martapura dan diasingkan ke Cianjur

21.Pangeran Antasari bin Pangeran Masohut bin Pangeran Amir bin Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah. 1862. Pada 14 Maret 1862, yaitu setelah 11 hari Pangeran Hidayatullah II diasingkan ke Cianjur diproklamasikanlah pengangkatan Pangeran Antasari sebagai pimpinan tertinggi dalam kerajaan Banjar dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin. Khalifah ini dibantu Tumenggung Surapati sebagai panglima perang. Pusat perjuangan di Menawing, pedalaman Barito, Murung Raya, Kalteng. Dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional, wafat 11 Oktober 1862 di kampung Sampirang, Bayan Begak, Puruk Cahu, karena penyakit cacar. Dimakamkan kembali 11 November 1958 di Komplek Makam Pangeran Antasari, Banjarmasin.

22.Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari Panembahan Amiruddin Khalifatul
Mukminin (1862-1905). Sebagai kepala Pemerintahan Pagustian meneruskan perjuangan ayahnya, Pangeran Antasari melawan kolonial Belanda dengan dibantu kakaknya Panembahan Muda/Gusti Muhammad Said sebagai mangkubumi dan Panglima Batur sebagai panglima perang. Ia melantik menantunya Pangeran Perbatasari bin Pangeran Muhammad Said sebagai Sultan Muda. Ia sempat mengirim Bukhari ke Kandangan untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Muhammad Seman gugur pada 24 Januari 1905 ditembak Belanda yang mengakhiri Perang Banjar dan banyak para pahlawan pejuang yang tertangkap tetapi perlawanan terhadap pemerintah kolonial tetap dilanjutkan oleh Gusti Berakit putera Sultan Muhammad Seman. Negeri Banjar menjadi sepenuhnya di bawah pemerintahan Residen Belanda dilanjutkan Gubernur Haga, Pimpinan Pemerintahan Civil, Pangeran Musa Ardi Kesuma (Ridzie Zaman Jepang), Pangeran Muhammad Noor (Gubernur Kalimantan I), sekarang menjadi Provinsi Kalimantan Selatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar