Minggu, 25 April 2010

KONFLIK SOSIAL DARI ASPEK PENEGAKAN HUKUM

Konflik yang dalam bahasa Indonesia acap disebut sebagai
pertentangan atau perselisihan dapat terjadi pada hubungan yang bersifat
individual yang terjadi sebagai akibat perilaku atau perebutan kepentingan
masing-masing individu yang bersangkutan. Kepentingan itu bisa berkenaan
dengan harta, kedudukan atau jabatan, kehormatan, dan lain sebagainya.

Konflik sosial berarti pertentangan antara kelompok-kelompok sosial dalam
masyarakat yang diikat atas dasar suku, ras, gender, kelompok, status
ekonomi, status sosial, bahasa, agama, dan keyakinan politik, dalam suatu
interaksi sosial yang bersifat dinamis. Baik dalam masyarakat homogin maupun
dalam masyarakat majemuk konflik sosial merupakan hal yang biasa terjadi,
bahkan menjadi unsure dinamis yang melahirkan berbagai kreatifitas
masyarakat.

Konflik sosial mustahil dihilangkan sama sekali. Yang harus dicegah
adalah konflik yang menjurus pada pengrusakan dan penghilangan salah satu
pihak atau para pihak yang berkonflik. Oleh karena itu konflik harus
dikendalikan, dikelola, dan diselesaikan melalui hukum. Yang berarti melalui
jalan damai ( konsensus ).

Konflik dapat bersifat laten dan dapat pula bersifat manifest. Konflik
yang bersifat laten adalah pertentangan yang tertutup dan belum mencuat terbuka kepermukaan. Misalnya, kesenjangan dalam pengupahan antara
pekerja perempuan dengan pekerja laki-laki dalam suatu perusahaan yang
berlangsung secara diam-diam tertutup oleh dominasi budaya patrimonial pada
suatu saat meledak dan menjadi konflik terbuka.

Contoh lain misalnya dominasi posisi badan pemerintahan oleh etnis atau ras tertentu dapat mengundang kecemburuan dan kekecewaan etnis lain yang merupakan suatu konflik yang bersifat laten. Suatu konflik laten yang tidak segera diatasi pada ketikanya
akan meletus menjadi perselisihan terbuka.

Konflik sosial dapat terjadi karena berbagai prasangka dan sebab.
Seperti, prasangka-prasangka ras, suku, agama, keyakinan politik atau
ideology, dan lain sebagainya, dan sebab adanya ketidak-adilan dalam akses
pada sumberdaya ekonomi dan politik.

Adanya ketidak-adilan akses pada sumberdaya ekonomi dan politik memperparah berbagai prasangka yang sudah ada di antara kelompok-kelompok sosial. Sejarah Indonesia menunjukkan prasangka yang sudah ada di antara kelompok-kelompok sosial dipertajam dan diperparah oleh kebijakan negara.

Misalnya kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang mengistimewakan golongan Eropa, dan Cina telah mempertajam prasangka rasial antara golongan Melayu ( pribumi ) dengan golongan Cina.

Akses pada sumberdaya ekonomi dan politik yang diberikan oleh pemerintah
kolonial kepada orang Cina terus menimbulkan konflik sosial dari abad ke 18
hingga hari ini. Prasangka atas dasar perbedaan keyakinan politik di antara
kelompok-kelompok sosial dipertajam dan diperparah pula oleh kebijakan
negara.

Misalnya, kebijakan negara yang mendiskriminasi orang-orang komunis atau Darul Islam telah memperparah prasangka yang sudah ada dan pada akhirnya melahirkan konflik antara negara dengan kelompok sosial tersebut. Dengan demikian kebijakan negara justeru menjadi sumber yang melahirkan konflik sosial.
Dalam negara hukum konflik baik itu yang bersifat individual atau sosial
harus diselesaikan melalui jalan hukum. Itu berarti sebuah penolakan terhadap
jalan kekerasan. Hukum berarti aturan main yang tidak hanya bersifat formal,
tetapi lebih daripada itu ia mengandung nilai-nilai keadilan.

Dalam negara demokrasi hukum itu hanya dapat memenuhi syarat legitimsasinya bila ia
dibentuk melalui proses konsensus ( bisa bulat atau melalui suara terbanyak )
wakil-wakil rakyat di parlemen, dan kedua substansi hukum itu memenuhi
tuntutan keadilan masyarakat. Hukum itu kemudian menjadi norma hukum
obyektif yang menjadi dasar bagi tindakan negara. Ia mengatur hubungan
antara negara dengan warga negara dan hu bungan antara badan-badan negara.

Hukum yang dibentuk melalui proses yang memenuhi syarat
legitimasinya itu dijalankan oleh kekuasaan yudisial yang kompeten dan
independen, dalam arti bebas dari berbagai pengaruh yang dapat menciderai
kedaulatan ( otonomi ) hukum.

Kekuasaan yudisial meliputi wewenang penyidikan oleh Polisi, wewenang penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum, dan Pengadilan oleh Hakim. Polisi, Jaksa, dan Hakim inilah merupakan sub-sistem yang membentuk sistem yudisial. Setiap sub-sistem yudisial akan menghadapi kasus konkrit dan dituntut untuk menerapkan norma hukum yang abstrak itu
dalam situasi konkrit.

Disitu masing-masing sub-sistem akan menghadapi kasus nyata dimana dapat terjadi ketegangan antara tuntutan kepastian hukum dan tuntutan keadilan hukum. Dalam menghadapi situasi konkrit itu tidak ada kemutlakan. Yang berarti yang dituntut adalah keseimbangan yang terukur dan akuntable antara kepastian hukum dan keadilan hukum. Itu berarti keputusan yang diambil oleh tiap sub-sistem yudisial harus bernalar dan selalu dapat diuji dan dipertanggungjawabkan secara terbuka.

Dengan cara pendekatan ini akan dapat dihindari praktek penegakan hukum yang sewenang-wenang dan kolutif seperti banyak kita saksikan di masa lalu maupun hari-hari ini. Bila hukum tidak adil dan proses penegakannya kolutif dan abuse sudah dapat dipastikan hukum akan gagal menjalankan fungsinya untuk menyelesaikan konflik dan mengintegrasikan para pihak yang bersengketa. Hukum dan penegakannya
justeru menjadi sumber terjadinya konflik sosial. Sebuah tragedy yang tidak
kita kehendaki.
*Oleh : Abdul Hakim G Nusantara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar