Rabu, 28 April 2010

39. Kerajaan Kotawaringin

Kerajaan Kotawaringin
Lokasi Kerajaan Kotawaringin, Kalimantan Tengah
Berdiri 1637-1948
Didahului oleh tidak diketahui
Digantikan oleh Provinsi Kalimantan Tengah
Ibu kota : Kotawaringin Lama, Pangkalan Bun
Bahasa : Banjar, Dayak Darat
Agama : Islam Sunni mazhab Syafi'i (resmi); Kaharingan
Pemerintahan :
-Raja pertama
-Raja terakhir Monarki
Pangeran Dipati Anta-Kasuma
Pangeran Ratu Anom Alamsyah

Sejarah
-Didirikan
-Zaman kejayaan
-Krisis suksesi
1637
1637-1944

Kerajaan Kotawaringin adalah sebuah kerajaan Islam di wilayah yang menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat saat ini di Kalimantan Tengah yang didirikan pada tahun 1637[1] sesuai dengan Hikayat Banjar dan Kotawaringin (Hikayat Banjar versi I) yang bagian terakhirnya saja ditulis tahun 1663 dan diantara isinya menceritakan tentang Kerajaan Kotawaringin.
Kotawaringin merupakan nama yang disebutkan dalam Hikayat Banjar dan Kakawin Negarakretagama, seringpula disebut Kuta-Ringin, karena dalam bahasa Jawa, ringin berarti beringin.
Negeri Kotawaringin disebutkan sebagai salah daerah di negara bagian Tanjung Nagara (Kalimantan-Filipina) yang tunduk kepada Majapahit. Sebelum diperintah langsung oleh Dinasti Banjarmasin, Kotawaringin menjadi wilayah Kerajaan Tanjungpura yang diperintah oleh orang Melayu. Tanjungpura menguasai wilayah dari Tanjung Dato (Sambas) sampai Tanjung Puting. Menurut suku Dayak yang tinggal di hulu sungai Lamandau, mereka merupakan keturunan Patih Sebatang yang berasal dari Pagaruyung (Minangkabau).
Sejak diperintah Dinasti Banjarmasin, Kotawaringin secara langsung menjadi bagian dari Kesultanan Banjar, sehingga sultan-sultan Kotawaringin selalu memakai gelar Pangeran jika mereka berada di Banjar. Tetapi di dalam lingkungan Kotawaringin sendiri, para Pangeran yang menjadi raja juga disebut dengan Sultan.[2]
Kerajaan Kotawaringin merupakan pecahan kesultanan Banjar pada masa Sultan Banjar IV Mustainbillah yang diberikan kepada puteranya Pangeran Dipati Anta-Kasuma. Sebelumnya Kotawaringin merupakan sebuah kadipaten, yang semula ditugaskan oleh Sultan Mustainbillah sebagai kepala pemerintahan di Kotawaringin adalah Dipati Ngganding (1615)?. Oleh Dipati Ngganding kemudian diserahkan kepada menantunya Pangeran Dipati Anta-Kasuma. Menurut Hikayat Banjar, wilayah Kotawaringin adalah semua desa-desa di sebelah barat Banjar (sungai Banjar = sungai Barito) hingga sungai Jelai.[3] Jadi pada mulanya wilayah Kerajaan Kotawaringin meliputi wilayah paling barat Provinsi Kalimantan Tengah kemudian termasuk pula desa-desa di sebelah barat negeri Banjar yaitu wilayah Provinsi Kalimantan Tengah saat ini kecuali Tanah Dusun (Barito Hulu). Bahkan Kotawaringin sempat menguasai sebagian Kalimantan Barat dengan menjajah negeri Matan dan Lawai atau Pinoh, serta juga menuntut daerah Jelai sebagai wilayahnya.[4]
Sejarah
• Menurut Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebutkan Kota Waringin salah satu negeri di negara bagian Tanjung Nagara (Kalimantan-Filipina) yang berpangkalan/beribukota di Tanjungpura, wilayah yang telah ditaklukan oleh Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit.
• Panembahan Kalahirang dari Kerajaan Sukadana(Tanjungpura) melakukan ekspansi perluasan wilayah kekuasaan yang terbentang dari Tanjung Datok (Sambas) sampai Tanjung Puting (Kotawaringin), tetapi kemudian menurut Hikayat Banjar, negeri Kotawaringin bahkan Sukadana sendiri menjadi taklukan Maharaja Suryanata penguasa daerah Banjar kuno (Negara Dipa).
• Menurut Hikayat Banjar yang bab terakhirnya ditulis pada tahun 1663, sejak masa kekuasaan Maharaja Suryanata/Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa/Raden Suryacipta, seorang pangeran dari Majapahit yang menjadi raja Negara Dipa (= Banjar kuno) yang ke-2 pada masa Hindu, orang besar (penguasa) Kota Waringin sudah menjadi taklukannya, di sini hanya disebutkan orang besar, jadi bukan disebut raja seperti sebutan penguasa negeri lainnya pada masa yang bersamaan. Kota Waringin dalam Hikayat Banjar disebutkan sebagai salah satu tanah yang di bawah angin (= negeri di sebelah barat) yang telah ditaklukan. [3]
• Sebelum berdirinya Kerajaan Kotawaringin, Raja-raja Banjar sebagai penguasa sepanjang pantai selatan dan timur pulau Kalimantan telah mengirim menteri-menteri atau ketua-ketua untuk mengutip upeti yang dipaksa kepada penduduk Kotawaringin. Nenek moyang suku Dayak yang tinggal di hulu-hulu sungai Arut telah memberi kepada Sultan Banjarmasin debu emas sebanyak yang diperlukan untuk membuat sebuah kursi emas. Selepas itu dua orang menteri dari Banjarmasin bernama Majan Laut dan Tongara Mandi telah datang dari Tabanio (Tanah Laut) ke Kumai dan tinggal di situ. Kedua bersaudara inilah yang mula-mula membawa Islam ke wilayah Kotawaringin. Majan Laut kemudian terlibat perseteruan dengan saudaranya dan selanjutnya ia pindah dari Kumai ke Belitung dan tinggal di sana. Tongara Mandi kemudian pindah dari Kumai ke daerah kuala Kotawaringin dimana beliau sebagai pendiri Kotawaringin Lama di pinggir sungai Lamandau. Beliau kemudian meninggalkan tempat ini karena diganggu oleh lanun/perompak dan membuka sebuah kampung baru, lebih jauh ke hulu, di sungai Basarah, salah satu anak sungai di sebelah kiri.[4] Dalam Hikayat Banjar tokoh yang mendapat perintah dari Marhum Panembahan [sultan Banjar IV yang berkuasa 1595-1638] untuk menjabat adipati Kotawaringin [terakhir?] bernama Dipati Ngganding dari golongan Andin dan juga sebagai mertua dari Pangeran Dipati Anta-Kasuma karena menikahi Andin Juluk, puteri dari Dipati Ngganding. Sebelumnya Pangeran Dipati Anta-Kasuma juga menikahi Nyai Tapu puteri dari seorang Mantri Sakai/Kepala Daerah Kahayan. Pada masa sebelumnya Sultan Mustainbillah telah menikahkan Dipati Ngganding dengan Aji Ratna puteri Aji Tunggul (adipati Pasir). Pasangan ini memperoleh dua puteri yaitu Andin Juluk dan Andin Hayu.[3]
• Lebih kurang 15 tahun kemudian, Kiai Gede putera dari Majan Laut datang dari Belitung dan tinggal dengan pamannya, Tongara Mandi. Kiai Gede membujuk pamannya untuk mengkaji keadaan negeri tersebut dan memilih suatu tempat yang lebih sesuai sebagai ibukota. Untuk tujuan ini mereka mula-berjalan menghulu sungai Arut dan tempat tinggal mereka saat itu dekat Pandau. Kemudian mereka membuat perjalanan menghulu sungai Lamandau, hingga ke anak sungai Bulik. Kemudian mereka bermimpi bahwa mereka mestilah menetapkan lokasi yang terpilih pada tempat dimana perahu mereka melanggar sebuah batang pohon pisang, kemudian mereka juga berlayar menuju hilir. Sesuai mimpi tersebut mereka menemukan suatu lokasi yang tepat yang kemudian menjadi lokasi dimana terletak Kotawaringin tersebut. Tetapi lokasi tersebut sudah terdapat suatu kampung Dayak yang besar yang disebut Pangkalan Batu. Penduduk kampung tersebut enggan membenarkan para pendatang ini tinggal di sana. Oleh sebab itu mereka menghalau orang Dayak dari situ dan merampas dari mereka beberapa pucuk cantau (= senapang) Cina dan dua buah belanga (tempayan Cina). Orang Dayak yang kalah tersebut berpindah ke arah barat yaitu tasik Balida di sungai Jelai dan menyebut diri mereka Orang Darat atau Orang Ruku. Oleh karena beliau sudah tua, Tongara Mandi kemudian menyerahkan pemerintahan kepada Kiai Gede. Perlahan-lahan Kiai Gede meluaskan kuasanya kepada suku-suku Dayak dan tetap tergantung pada Kesultanan Banjarmasin (Marhum Panembahan). Kurang lebih 35 tahun selepas pemerintahan Kiai Gede, tibalah di Kotawaringin Pangeran Dipati Anta-Kasuma putera dari Marhum Panembahan (Sultan Banjar IV). Kedatangannya disertai Putri Gilang anaknya. Sebelumnya mereka bersemayam di Kahayan, Mendawai dan Sampit. Kemudian mereka berangkat ke Sembuluh dan Pembuang, di tempat terakhir inilah Pangeran Dipati Anta-Kasuma sempat tertarik dan ingin bersemayam pada lokasi tersebut tetapi dilarang oleh para menterinya. Ia bersumpah bahwa semenjak saat itu tempat tersebut dinamakan Pembuang artinya tempat yang membuang. Dari sana kemudian Pangeran berangkat ke sungai Arut. Disini beliau tinggal beberapa lama di kampung Pandau dan membuat perjanjian persahabatan dengan orang-orang Dayak yang menjanjikan taat setia mereka.[4] Perjanjian ini dibuat pada sebuah batu yang dinamakan Batu Patahan, tempat dikorbankannya dua orang, dimana seorang Banjar yang menghadap ke laut sebagai arah kedatangan orang Banjar dan seorang Dayak yang menghadap ke darat sebagai arah kedatangan orang Dayak, kedua disembelih darahnya disatukan berkorban sebagai materai perjanjian tersebut.[5] Kemudian Pangeran berangkat ke Kotawaringin dimana Kiai Gede mengiktirafkan beliau sebagai raja dan beliau sendiri menjabat sebagai mangkubumi.
• Pada masa ini Pangeran Dipati Anta-Kasuma telah membuat perhubungan dengan seorang putera dari Dipati Sukadana/Ratu Bagus/Giri Kusuma[6], Raja Matan Sukadana, yaitu Murong-Giri Mustafa [4] (= Sultan Muhammad Syafiuddin 1623/7-1677) atau di dalam Hikayat Banjar disebut Raden Saradewa [3] yang telah meminang puteri Pangeran Dipati Anta-Kasuma yaitu Putri Gelang (= Dayang Gilang) untuk dirinya . Baginda dianugerahkan daerah Jelai yang sebelumnya telah ditaklukan oleh Kotawaringin sebagai hadiah perkawinan. Perkawinan tersebut dilaksanakan di Martapura. Dengan adanya perkawinan tersebut maka Marhum Panembahan (Sultan Banjar IV) mengatakan bahwa Dipati Sukadana tidak perlu lagi mengirim upeti setiap tahun seperti zaman dahulu kala kepadanya karena sudah diberikan kepada cucunya Putri Gelang dan jikakalau ia beranak sampai ke anak cucunya. Selepas itu Dipati Ngganding diperintahkan diam di Kotawaringin. Putri Gelang wafat setelah 40 hari melahirkan puteranya. Raden Saradewa pulang ke Sukadana, sedangkan bayi yang dilahirkan Putri Gelang kemudian tinggal dengan Pangeran Dipati Anta-Kasuma di Martapura kemudian dinamai Raden Buyut Kasuma Matan/Pangeran Putra (= ayahanda Sultan Muhammad Zainuddin I?) oleh Marhum Panembahan, yang merupakan salah satu dari tiga cicitnya yang diberi nama buyut, karena ketika itulah Marhum Panembahan pertama kali memiliki tiga orang cicit, yang dalam bahasa Banjar disebut buyut. Raden Buyut Kasuma Matan saudara sepersusuan dengan Raden Buyut Kasuma Banjar putera Raden Kasuma Taruna (= Pangeran Dipati Kasuma Mandura). [3]
• Sultan Banjar V, Inayatullah (= Pangeran Dipati Tuha 1/Ratu Agung), abangnya Pangeran Dipati Anta-Kasuma menganugerahkan gelar Ratu Kota Waringin kepada Pangeran Dipati Anta-Kasuma, kemudian menyerahkan desa-desa di sebelah barat Banjar (= sungai Barito) hingga ke Jelai (sekarang Kalimantan Tengah). Ratu Kota-Waringin kemudian kembali ke Kotawaringin sambil membawa serta Raden Buyut Kasuma Matan. [3] Ratu Kota Waringin sebenarnya tidak bersemayam di dalem (istana) tetapi di atas sebuah rakit besar (= lanting) yang ditambatkan di sana. Ratu Kota-Waringin memperoleh seorang puteri lagi yang dinamai Puteri Lanting, dengan seorang wanita yang dikawininya di sini.[4] Baginda berangkat ke sungai Jelai dan membuka sebuah kampung di pertemuan sungai Bilah dengan sungai Jelai. Daerah ini dinamakan Sukamara karena ada suka dan ada mara (= maju). [3]
• Raja Kotawaringin (Pangeran Antakasuma), Raja Sukadana (Marta Sahary) dan Raja Mempawah menjadi anggota Dewan Mahkota di Kesultanan Banjar pada masa pemerintahan Inayatullah (= Ratu Agung). Dewan Mahkota adalah dewan yang juga mengurusi perdagangan dan ekonomi di wilayah ini dalam berhubungan dengan pihak Belanda (VOC) maupun Inggris. Pada tahun 1638 terjadi pembunuhan terhadap orang-orang VOC dan orang Jepang di loji di Martapura. Atas kejadian tersebut VOC membuat surat ancaman yang ditujukan terhadap Kesultanan Banjarmasin, Kerajaan Kotawaringin dan Kerajaan Sukadana. Kedua kerajaan merupakan sekutu Banjarmasin dan ada hubungan kekeluargaan. Permusuhan berakhir dengan adanya Perjanjian 16 Mei 1661 di masa Sultan Rakyatullah.
• Kemudian selama di Kotawaringin, Pangeran Dipati Anta-Kasuma memperoleh seorang putera dengan seorang wanita yang dinikahinya di sana, putera yang dilahirkan di Kotawaringin ini dinamakan Ratu Amas. Oleh sebab sudah tua beliau menyerahkan tahta kerajaan Kotawaringin kepada puteranya dan berangkat pulang ke Banjarmasin karena beliau berduka atas mangkatnya kakandanya Sultan Inayatullah/Ratu Agung/Pangeran Dipati Tuha I.
• Mendengar kemangkatan Inayatullah/Ratu Agung, Sultan Banjar (1638-1645), Ratu Kota Waringin pulang ke Banjarmasin untuk melantik keponakannya Pangeran Kasuma Alam sebagai Sultan Banjar dengan gelar Sultan Saidullah/Ratu Anom (1645-1660). Ratu Anom kemudian menganugerahkannya gelar Ratu Bagawan artinya raja maha pandita. Selama di Martapura, Ratu Bagawan sempat menduduki jabatan mangkubumi dalam pemerintahan Ratu Anom selama lima tahun, menggantikan adiknya Panembahan di Darat yang meninggal dunia. Ia kemudian mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan mangkubumi kepada adiknya lain ibu, Pangeran Dipati Tapasena (Sultan Rakyatullah). Tidak lama kemudian ia meninggal dunia [3] tahun 1657 dan dimakamkan di Komplek Makam Sultan Suriansyah, Banjarmasin.
• Pada abad ke-18, Ratu Bagawan Muda putera dari Pangeran Panghulu telah membangun sebuah dalem/keraton dengan mengikuti gaya Jawa. Mangkubumi raja ini, Pangeran Prabu, mengepalai beberapa serangan yang berjaya ke negeri Matan dan Lawai atau Pinoh. Pangeran Prabu telah menaklukan sebagian besar wilayah itu hingga jatuh dalam kekuasaan pemerintahan Kotawaringin, tetapi kemudian negeri-negeri itu dapat lepas dari taklukannya. Oleh karena itu Kotawaringin selalu menganggap sebagian besar negeri Pinoh sebagai jajahannya dan juga menuntut daerah Jelai. Beliau juga mengambil sebahagian peperangan yang dilancarkan oleh Pangeran Amir dengan memihak kepada Sunan Batu (= Sultan Tahmidullah II). Beliau telah membantu Sultan Banjar, Sunan Batu dalam peperangan melawan Sultan Sambas. Putera dari Ratu Bagawan Muda yaitu Ratu Anom Kasuma Yuda adalah raja Kotawaringin pertama yang membuat hubungan langsung dengan pemerintah Hindia Belanda. Beliau meminta bantuan Hindia Belanda dalam peperangan melawan Matan dan untuk tujuan ini baginda telah menerima meriam, senapan dan peluru dari Batavia. Ketika Sultan Banjar menyerahkan Kotawaringin dan kawasan-kawasan yang lain kepada Hindia Belanda, maka Ratu Anom Kasumayuda juga menyerahkan tahta kerajaan Kotawaringin kepada Pangeran Imanudin yang bergelar Pangeran Ratu. [4]
• Sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, Kobar merupakan satu wilayah Kesultanan Kotawaringin.[7]
• Ibukota Kesultanan Kotawaringin semula berada di Kotawaringin Lama (hulu Sungai Lamandau). Pada 1814 ibukota kesultanan dipindahkan ke Pangkalan Bun, pada masa pemerintahan Sultan Imanudin dan didirikanlah sebuah istana di Pangkalan Bun sebagai pusat pemerintahan.[7]
• Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, status Kotawaringin menjadi bagian wilayah NKRI dengan status Swapraja/Kewedanan. Selanjutnya berkembang menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Kotawaringin Barat sebagai daerah otonom dengan Pangkalan Bun sebagai ibukota kabupaten yang ditetapkan dengan UU No 27/1959 dan Lembaran Negara No 72/1959.[7]
Selanjutnya Kabupaten Kotawaringin Barat telah dimekarkan menjadi 3 Kabupaten yaitu :
1. Kabupaten Kotawaringin Barat
2. Kabupaten Lamandau
3. Kabupaten Sukamara
Sultan Kotawaringin
Adipati dan Sultan Kotawariingin. Sultan yang pernah memerintah hingga masuknya penjajah Belanda dengan urutan sebagai berikut:
• Tongara Mandi/Dipati Ngganding
• Kiai Gede - keponakan Tongara Mandi
• (1637-1657) Pangeran Dipati Anta-Kasuma/Ratu Bagawan (putera Sultan Banjar IV) - mangkubumi Kiai Gede[8]
• (1657-xxxx) Pangeran Mas Adipati (anak) - mangkubumi Dipati Gading
• (1700-1720) Panembahan Kota Waringin (anak) - mangkubumi Dipati Gading
• (1720-1750) Pangeran Prabu/Panembahan Derut (anak) - mangkubumi Pangeran Dira
• (1750-1770) Pangeran Adipati Muda (anak) - mangkubumi Pangeran Cakra
• (1770-1785) Pangeran Panghulu (anak) - mangkubumi Pangeran Anom
• (1785-1792) Pangeran Ratu Bagawan (anak) - mangkubumi Pangeran Paku Negara
• (1792-1817) Pangeran Ratu Anom Kasuma Yudha (anak)
• (1817-1855) Pangeran Imanudin/Pangeran Ratu Anom (anak)
• (1855-1865) Pangeran Akhmad Hermansyah (anak)
• (1865-1904) Pangeran Ratu Anom Alamsyah I (anak)
• (1905-1913) Pangeran Ratu Sukma Negara (stryj)
• (1913-1939) Pangeran Ratu Sukma Alamsyah (cucu)
• ( 1939-1948) Pangeran Kasuma Anom Alamsyah II (anak)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar