Rabu, 28 April 2010

38. Kesultanan Pasir

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kesultanan Pasir yang sebelumnya bernama Kerajaan Sadurangas, berdiri pada tahun 1516 dan dipimpin oleh seorang wanita (Ratu I) yang dinamakan Putri Di Dalam Petung. Wilayah kekuasaan kerajaan Sadurangas meliputi Kabupaten Pasir yang ada sekarang, ditambah dengan Kabupaten Penajam Paser Utara (tanpa Penajam) dan wilayah timur Provinsi Kalimantan Selatan.[1] Tetapi belakangan wilayah Kesultanan Pasir berkurang karena wilayah timur Kalimantan Selatan ini menjadi daerah terpisah yaitu Kerajaan Tanah Bumbu.
Sejarah
• Menurut Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365, Pasir salah satu daerah taklukan Gajah Mada dari Majapahit.
• Menurut Salasilah Kutai, seorang putera dari Maharaja Sakti bin Aji Batara Agung Paduka Nira menjadi raja muda di Pasir. Putera dari raja muda tersebut yang bernama Aji Pangeran Tumenggung Bayabaya kemudian dilantik menjadi Raja Kutai Kartanegara V menggantikan Raja Kutai Kertanegara IV Aji Raja Mandarsyah.
• Menurut Hikayat Banjar yang bab terakhirnya ditulis tahun 1663, sejak masa kekuasaan Rahadyan Putra/Raden Suryacipta yang bergelar Maharaja Suryanata (= Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa), pangeran dari Majapahit yang menjadi raja ke-2 Negara Dipa (= Banjar kuno) pada zaman Hindu, orang besar (penguasa) Pasir sudah menjadi taklukannya. Pasir dalam Hikayat Banjar disebutkan sebagai salah satu tanah yang di atas angin (= negeri di sebelah timur atau utara) yang takluk/menyerahkan upeti kepada Maharaja Suryanata hingga masa Maharaja Sukarama, selanjutnya sampai masa Sultan Suriansyah.[2]
• 1636, Pasir kembali ditaklukan atas bantuan VOC sesuai Perjanjian 4 September 1635, antara Sultan Banjar dengan VOC.
• Menurut Hikayat Banjar, orang besar/adipati Pasir, Aji Tunggul menjadi bawahan Sultan Banjar, Mustainbillah yang berkuasa tahun 1595-1642. Ketika itu keraton Kesultanan Banjar telah dipindahkan dari Banjarmasin ke daerah Batang Banyu karena sebelumnya pada tahun 1612 diserang VOC, tatkala itu Marhum Panembahan (= Mustainbillah) menyuruh Kiai Lurah Cucuk membawa sebuah perahu beserta awak perahu empat puluh orang untuk menjemput Aji Tunggul dengan anak-isteri serta keluarganya. Ketika tiba di keraton Banjar waktu itu berada di daerah Batang Banyu, Aji Ratna puteri Aji Tunggul dinikahkan dengan Dipati Ngganding (adipati Kotawaringin) kemudian memperoleh dua anak, Andin Juluk dan Andin Hayu. Kemudian Andin Juluk menikahi Pangeran Dipati Anta-Kasuma putera Sultan Mustainbillah dengan permaisuri Ratu Agung yaitu yang kelak menjabat adipati/raja Kotawaringin menggantikan Dipati Ngganding. Pasangan Anta-Kasuma dan Andin Juluk ini memperoleh empat anak : Putri Gelang, Raden Tuan, Raden Pamadi dan Raden Nating. Sedangkan Andin Hayu menikahi Pangeran Dipati Tapasena putera Sultan Mustainbillah dari selir orang Jawa, kemudian memperoleh anak Pangeran Aria Wiraraja dan Putri Samut.
• Perkawinan puteri Aji Tunggul yang lainnya, Sri Sukma Dewi yang bergelar Putri di Dalam Petung dengan Abu Mansyur Indra Jaya (pimpinan ekspedisi agama Islam dari Giri) yang dikaruniai empat orang anak, yaitu
1. Aji Mas Pati Indra
2. Aji Putri Mitir,
3. Aji Mas Anom Indra, dan
4. Aji Putri Ratna Beranak
Putri di Dalam Petung merupakan gelar anumerta yang berkaitan dengan mitos putra/putri yang keluar dari buluh betung sebagai cikal bakal dinasti raja-raja yang terdapat dalam mitos Melayu.
• Menurut Hikayat Banjar, beberapa tahun kemudian (1607?), cucu Aji Tunggul yaitu Raden Aria Mandalika (= Aji Mas Pati Indra?) putera dari priyayi dari Giri yang menikah dengan puteri dari Aji Tunggul datang berkunjung ke Kesultanan Banjar ketika keraton berada di Martapura, kemudian Raden Aria Mandalika oleh Sultan Mustainbillah dinikahkan dengan cucunya Putri Limbuk/Dayang Limbuk puteri dari swargi Pangeran Dipati Antasari. Dengan adanya perkawinan ini maka Aji Tunggul tidak lagi diharuskan mengantarkan upeti tiap-tiap tahun seperti zaman dahulu kala, karena upeti tersebut sudah diberikan kepada Putri Limbuk/Dayang Limbuk, kecuali hanya jika ada suruhan dari Marhum Panembahan untuk memintanya atau mengambilnya. Dengan demikian Raden Aria Mandalika menjadi raja muda di Pasir sebagai perwakilan Kesultanan Banjar. Pasangan Aria Mandalika dan Putri Limbuk ini memperoleh anak bernama Raden Kakatang. Setahun setelah kelahiran Raden Kakatang, Sultan Mustainbillah kemudian mangkat. Dengan demikian maka penguasa Pasir kemungkinan masih termasuk trah Sultan Banjar IV Marhum Panembahan, Raja Kutai Kartanegara II Aji Batara Agung Paduka Nira dan bangsawan dari Giri.
• Menurut Hikayat Banjar, Sultan Mustain Billah menyuruh Kiai Martasura ke Makassar (= Gowa) untuk menjalin hubungan bilateral kedua negara pada masa Karaing Patigaloang (= Raja Tallo' yaitu I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang yang menjabat mangkubumi Sultan Malikussaid Raja Gowa 1638-1654), ia meminjam Pasir kepada Marhum Panembahan sebagai tempat berdagang dan bersumpah apabila anak cucunya hendak aniaya dengan negeri Banjar maka akan dibinasakan Allah. Maka diberikan desa namanya Satui, Asam-Asam, Kintap, Swarangan, Banacala, Balang Pasir dan Kutai dan Berau serta Karasikan[2]. Peristiwa pada abad ke-17 ini menunjukkan pengakuan Makassar (Gowa-Tallo) mengenai kekuasaan Kesultanan Banjar terhadap daerah di sepanjang tenggara dan timur pulau Kalimantan. Pada masa itu Sultan Makassar terfokus untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di kawasan timur Nusantara. Tetapi pada abad ke-18 Raja Bugis-Wajo, La Madukelleng menawan daerah Kutai dan Pasir serta berupaya menyerang Banjarmasin.
• 1765, VOC membantu Sultan Banjar Tamjidullah I untuk menaklukan Pasir kembali untuk memungut upeti.
• 1787, Pasir sebagai salah satu vazal Banjarmasin yang diserahkan Sultan Banjar Tahmidullah II kepada VOC dalam Traktat 13 Agustus 1787 ketika Banjar [beserta Kalimantan] menjadi tanah yang dipinjam dari VOC atau sebagai daerah protektorat VOC.
• 1797, Kedaulatan atas Pasir [dan Pulau Laut] diserahkan kembali oleh VOC kepada Sultan Banjar Tahmidullah II. Belanda kemudian digantikan oleh kolonial Inggris.
• 1817, Pasir diserahkan sebagai daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan I pada 1 Januari 1817 antara Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Aernout van Boekholzt. Hal ini terjadi setelah Belanda masuk kembali ke Kalimantan menggantikan Inggris.
• 1823, Pasir menjadi daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan II pada 13 September 1823 antara Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Mr. Tobias.
• 1826, Pasir ditegaskan kembali menjadi daerah pendudukan Hindia Belanda menurut Perjanjian Sultan Adam al-Watsiq Billah dari Banjar dengan Hindia Belanda yang ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826 atau 26 Ramadhan 1241 H.
• 1906-1918, masa perjuangan rakyat Pasir melawan pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
• Hingga 1959, Wilayah Pasir berstatus kawedanan di dalam wilayah Provinsi Kalimantan Selatan.
Penguasa Pasir
• xxxx-1607 - Aji Tunggul?
• 1607-1644 - Aji Mas Anom Indra bin Aji Mas Pati Indra
• 1644-1667 - Aji Anom Singa Amulana bin Aji Mas Anom Indra
• 1667-1680 - Aji Perdana bin Aji Anom Singa Maulana, bergelar Penambahan Sulaiman
• 1680–1730 - Aji Duwo bin Aji Mas Anom Singa Maulana, bergelar Penambahan Adam
• 1703-1738 - Aji Geger bin Aji Anom Singa Maulana, bergelar Sultan Aji Muhammad Alamsyah (Sultan Pasir I)
• 1738-1768 - Aji Negara bin Sultan Aji Muhammad Alamsyah, bergelar Sultan Sepuh Alamsyah (Sultan Pasir II)
• 1768-1799 - Aji Dipati bin Panembahan Adam, bergelar Sultan Dipati Anom Alamsyah (Sultan Pasir III)
• 1799-1811 - Aji Panji bin Ratu Agung, bergelar Sultan Sulaiman Alamsyah (Sultan Pasir IV)
• 1811-1815 - Aji Sembilan bin Aji Muhammad Alamsyah, bergelar Sultan Ibrahim Alamsyah
• 1815-1843 - Aji Karang bin Sultan Sulaiman Alamsyah, bergelar Mahmud Han Alamsyah
• 1843-1853 - Aji Adil bin Sultan Sulaiman Alamsyah, bergelar Sultan Adam Alamsyah
• 1853-1875 - Aji Tenggara bin Aji Kimas bergelar Sultan Sepuh II Alamsyah
• 1875-1890 - Aji Timur Balam diberi gelar Sultan Abdurahman Alamsyah
• 1880-1897 - Sultan Muhammad Ali Alamsyah
• 1897-1898 - Pangeran Nata bin Pangeran Dipati Sulaiman, pada bulan Oktober-Desember diberi gelar Sultan Sulaiman Alamsyah
• 1898-1900 - Pangeran Ratu bin Sultan Adam Alamsyah bergelar Sultan Ratu Raja Besar Alamsyah.
• 1900-1906 - Pengeran Mangku Jaya Kesuma bergelar Sultan Ibrahim Khaliluddin (Sultan Terakhir)
Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe
Kesultanan Pasir merupakan salah satu daerah leenplichtige landschappen dalam Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe menurut Staatblaad tahun 1898 no. 178.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar