Rabu, 21 April 2010

Gajah Mada: Kejanggalan Manifestasi Sumpah Palapa

Tim Wacana Nusantara
6 August 2009

Pararaton yang ditulis pada 1613 M (Padmapuspita, 1966: 91) dan Nagarakretagama ditulis pada 1365 M (Muljana 1979 : 9), menjadi satu pembahasan untuk menerawang Sumpah Palapa dan sistem kesatuan yag diingini Sang Mahapatih, sebab naskah Pararaton menyebut Sumpah Palapa yang terkenal itu, sedangkan Nagarakretagama memuat wilayah negeri yang masuk dalam kekuasaan dan wibawa Majapahit.

Kata “sumpah” itu sendiri tidak terdapat di dalam kitab Pararaton, hanya secara tradisional dan konvensional para ahli Jawa Kuno menyebutnya sebagai Sumpah Palapa. Bunyi selengkapnya teks Sumpah Palapa menurut Pararaton edisi Brandes (1897 : 36) adalah sebagai berikut:

Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa.”

Terjemahannya:
Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasanya. Beliau: “Jika telah mengalahkan Nusantara, saya baru akan melepaskan puasa, jika berhasil mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya baru melepaskan puasa saya.”

Kepulauan Nusantara berada di wilayah peradaban Sindhu, yang oleh pelancong sekaligus sejarawan Cina disebut Shintu, oleh sejarawan Arab disebut Hindu, dan oleh orang-orang barat disebut Indisch, Hindia, Indo.

Dalam perspektif sejarah Indonesia, perjalanan Sumpah Palapa hingga sekarang boleh dikatakan tidak mulus. Sesudah Majapahit tidak berfungsi secara optimal perjalanan sejarah berikutnya sampai dengan saat ini, dipernuhi dengan perpecahan yang mengarah kepada faktor-faktor disintegrasi bangsa, seperti periode-periode Demak, Pajang, Mataram, dan pecahnya Mataram menjadi Yogyakarta dan Surakarta, di mana dalam periode-periode tersebut Nusantara disibukkanoleh konfrontasi budaya antara kaum tradisionalis yang diwakili oleh sisa-sisa kekuatan Majapahit dengan kaum pembaharu yang diwakili oleh kalangan Demak yang bernafaskan Islam, sementara itu disaat yang sama kekuatan VOC masuk, mengail di air yang keruh yang kemudian berubah menjadi penjajah. Tidak hanya itu, di kalangan intern Yogya dan Solo terjadi peperangan yang kompleks, berupa perebutan kekuasaan di antara intern kalangan keraton ditambah dengan campur tangan Belanda untuk memecah belah dengan politik devide et impera-nya. Kejadian yang sama berulang oleh kita sendiri atas bangsa kita sendiri. Sungguh mengerikan!

Pengalaman empat dasawarsa mitos Sumpah Palapa memperlihatkan manifestasi mengerikan ketika bertemu dengan keterlibatan militer dalam kehidupan sosial-politik, sekaligus jalur-jalur ekonomi strategis. Sumpah Palapa yang dicetuskan oleh Mahapatih Gajah Mada mengandung klaim wilayah, bukan klaim penduduk! Gajah Mada bukan tertarik mempersatukan penduduk menjadi rakyat yang sederajat, melainkan untuk meluaskan wilayah kekuasaan kemaharajaannya.

Majapahit mencapai puncak kejayaannya di masa pemerintahan Hayam Wuruk, ketika Gajah Mada menjadi patihnya, tetapi, setelah itu perlahan namun pasti menuju kemunduran, kemerosotan, dan akhirnya hancur-lebur! Kenapa? Karena, landasan yang disiapkan oleh Gajah Mada tidak kuat! Ya, tidak kuat. Kita memang menghormati Sang Mahapatih; kita menghargai pengorbanannya, tetapi kita tidak boleh lupa belajar dari kegagalannya.

Seperti apakah landasan yang disiapkan oleh Sang Mahapatih?

Landasan Kekuatan Militer
Kepulauan Nusantara terdiri atas sekian banyak suku-bangsa. Tidak semua suku bangsa siap bisa menerima “batas-batas wilayah” yang ditentukan oleh Mahapatih. Pertanyaan besarnya adalah: Mengapa mereka harus menyerahkan kedaulatan mereka dan tunduk pada Majapahit? Alhasil, terjadilah letupan-letupan kecil di mana-mana. Majapahit harus menghadapinya dengan kekuatan militer. Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Sang Maha Patih yang menempatkan kesatuan wilayah di atas segalanya, dan at any cost, dengan harga berapa saja.

Ia tidak menjelaskan untuk apa Nusantara harus bersatu. Untuk mempersatukan Kepulauan Nusantara semestinya kekuatan militer tidak digunakan. Itu buka cara yang tepat. Semestinya masyarakat kepulauan disadarkan akan akar budaya mereka yang satu dan sama; akar budaya yang sekaligus mempersatukan mereka dengan yang lainnya sesama kesatuan.

Ekspedisi militer yang dilakukan oleh sang Mahapatih adalah kesalahan besar yang dilakukannya. Niatnya baik, tapi caranya tidak tepat, maka kesatuan yang tercipta sangat rapuh, dan sangat rentan walau pun terhadap sedikit guncangan dari luar. Kesatuan yang tercipta sepenuhnya tergantung pada keperkasaan dan kharisma Gajah Mada beserta kekuatan militernya. Maka yang tercipta adalah ketakutan keterpaksaan dan kebencian.

Nusantara harus dipandang sebagai kumpulan kepulauan yang utuh menyeluruh, walau pun berbeda-beda suku, agama, dan kepercayaannya. Ia membawa berkah bermakna: tidak ada seorang pun yang rela kalau Nusantara dirobek-robek oleh penghuninya sendiri, kecuali oleh orang-orang yang tidak mengerti, yaitu orang-orang yang tidak memiliki jati diri bangsa bersatu.

Kesejahteraan dan Kemakmuran Materi
Tidak ada yang meragukan kekayaan melimpah negeri ini, negeri yang diibaratkan zamrud di khatulistiwa, alur waktu dari dulu telah memberikan bukti nyata akan keberadaaanya, primadona dalam perdagangan dan hasil bumi yang melimpah, penduduk makmur sejahtera slogan-slogan kemakmuran pun berkumandang di seantero negeri ini. Namun, beberapa pihak dengan teliti lagi cerdik memanfaatkan semua itu, memanfaatkan untuk mereka sendiri. Dan sebagian lainnya bekerja dengan keras namun hasilnya hanya keringat. Hanya lelah dan imbalan seperlunya.

Mahapatih Gajah Mada memberikan iming-iming kesejahteraan yang dijamin oleh kerajaan, tanah perdikan hingga penetapan sima di mana-mana. Penarikan upeti dan kesejahteraan sebagai negara bawahan membawa dampak yang buruk dalam mekanisme dan pembangunan mental mandiri.

Landasan ini pun sungguh sangat rapuh. Warga masyarakat dan petinggi negara yang sudah merasa mapan menjadi malas, tak peduli terhadap bangsa dan negara. Keadaan itu semakin diperparah oleh iklim tropis dengan udaranya yang lembab. Mereka yang seharusnya bersuara malah berpikir, “Ah, itu bukan urusanku. Selama aku masih bisa makan, minum dan hidup nyaman, ya sudah!”

Setiap orang hanya memikirkan perut. Setiap orang hanya memikirkan kantongnya sendiri. Pihak-pihak asing yang selalu menunggu kesempatan seperti itu langsung memanfaatkan situasi. Mereka melakukan eksploitasi lebih lanjut. Mereka membawa alat-alat besar mereka supaya penjarahan menjadi lebih afdol!

Penjarahan yang terjadi dulu ibarat “susu seliter dicampur air” sekarang menjadi “air dicampur susu” dengan diberi warna sedikit, sehingga tidak asa yang menyangka bahwa apa yang diminumnya itu bukan susu lagi, air biasa, air berwarna putih tanpa gizi.

Cinta terhadap negara, kepedulian terhadap bangsa, sirna. Keduanya terkalahkan oleh urusan kenikmatan dan kenyamanan. Nilai pengorbanan, kesediaan dan kerelaan untuk mengorbankan jiwa dan raga diganti dengan penyembelihan hewan yang tidak bersalah. Sementara itu, sifat hewani dalam diri kita malah diberi makan dan digemukkan.

Keagamaan
Ritual mengemuka, tapi landasan budi pekerti diabaikan. Esensi agama tidak dipelajari, karena mempelajari esensi berarti menjalaninya pula. Dan untuk menjalani agama, melakoni ajaran agama, dibutuhkan kesadaran, pengorbanan dan nilai-nilai lain yang tinggi. Menjalani ritual jauh lebih mudah. Semua agama dibiarkan berkembang, bahkan perkembangannya didukung oleh negara tanpa batas. Itu bagus. Tapi, bagian apa dari agama? Bagian apa yang seharusnya didukung perkembangannya? Silakan mendukung pembangunan tempat-tempat ibadah “tanpa pilih kasih”. Silakan melaksanakan ritual-ritual keagamaan. Silakan membiayai kegiatan-kegiatan keagamaan. Tetapi, jangan lupa bahwa semua itu hanya memiliki arti jika berhasil mengagamakan jiwa kita, roh kita!

Bangunan- bangunan yang semestinya digunakan untuk kegiatan ibadah malah digunakan untuk menghasut, agar sesama anak bangsa saling membenci. Bangunan-bangunan yang semestinya digunakan untuk kegiatan ibadah malah digunakan untuk memecah belah bangsa ini; bukan untuk mempersatukan; untuk menciptakan konflik, bukan untuk kedamaian; untuk menciptakan kekacauan, bukan ketenangan dan keamanan.

Itu yang terjadi dulu di Majapahit, sehingga seorang anak pun tidak merasa bersalah untuk melawan ayahnya sendiri karena urusan agama. Kemudian lahirlah kebebasan beragama, hingga dalam tatanan pemerintahan diberlakukan kebebasan yang serupa, namun fungsi kontrol negara sangat lemah. Agama dibiarkan merasuki sendi perpolitikan memasuki ranah yang seharusnya tidak tersentuh, menyebar ke dalam urat nadi kehidupan dan jauh dari hakikat agama itu sendiri.

Pembenaran Mencapai Tujuan
Tujuan Sang Mahapatih memang mulia. Ia ingin mempersatukan Kepulauan Nusantara; dan lewat persatuan itu ia hendak menciptakan kedamaian. Jadi, tidak ada yang salah dengan tujuannya. Yang salah adalah cara yang ditempuhnya untuk mencapai tujuannya itu.

Perseteruan yang terjadi antara Pakuan-Pajajaran dengan Majapahit merupakan sebuah implementasi yang salah dari tujuan yang menerabas berbagai cara demi tujuannya itu. Berbagai literatur telah mengisahkan kejadian demi kejadian di Palagan Bubat, titik point-nya hanya satu: ada kesalahpahaman, ada sebuah permainan dan intrik yang telah dimainkan Sang Mahapatih.

Kesatuan dan persatuan dengan caranya, bukan dengan cara bersama yang dulu digadangkan Kertanegara, ambisi dan hilangnya filter sosial telah membutakan Mahapatih. Ia seolah haus akan kekuasaaan tanpa sadar bahwa batasan-batasan yang ada wajib dihormati, tanpa menyadari bahwa kedaulatan atas satu golongan tidak dapat dipaksakan.

Kurang Bersabar
Apa pun yang diinginkannya harus diperoleh dalam waktu sesingkat mungkin. Sifat ini barangkali baik bagi seorang pekerja, namun tidak cocok bagi seorang negarawan. Tidak berarti seorang negarawan harus bersabar terus. Seorang negarawan dituntut untuk bekerja lebih keras dari seorang pekerja biasa. Ia mengabdi pada negara; dan tugas itu adalah pekerjaan purna waktu.

Gajah Mada memang telah menjadikan urusan kenegaraannya sebagai hidupnya, tidak ada yang menyangsikan bahwa ia tidak memiliki perhatian terhadap negara. Namun di balik semua itu, ia hanya mendengar kata yang diucapkan oleh Prapanca beserta orang-orang lainnya yang memujinya setinggi langit; suara Tantular tidak pernah diperhitungkan!

Mpu Tantular menulis Kakawin Sutasoma untuk mengkritik Gajah Mada. Saat itu fondasi yang dipakai oleh Sang Mahapatih guna menyatukan Nusantara begitu rapuh. Deklarator Sumpah Palapa tersebut menggunakan strategi militer, ekonomi, dan agama. Sebagai alternatif, Sang Mpu menawarkan pendekatan budaya untuk mengatasi krisis multidimensi yang mendera Majapahit.

Gajah Mada tidak memahami maksud Sang Mpu. Ia adalah gaja atau gajah yang sedang mada, mabuk!
Julukan itu dia peroleh dari mereka yang mengenal dia dengan baik, “kau betul-betul seperti gajah yang mabuk.” Mereka hendak menyadarkan Sang Mahapatih, “Janganlah kau termabukkan oleh kekuasaan, kekuatan, dan keperkasaan.” Julukan itu dimaksudkan sebagai sindiran, tapi Sang Mahapatih malah menganggapnya sebagai pujian. Ia membiarkan orang memanggilnya dengan sebutan itu. Gajah Mada bukanlah nama asli Sang Mahapatih. Mengalir pula di dalam tubuhnya bukan saja darah Indonesia, tetapi darah Cina. Itu tidak menjadi soal dan memang tidak ada yang mempersoalkan hal itu.

Kawan dan Lawan
Adityawarman adalah seorang sahabat yang telah berjasa bagi Majapahit, namun setelah bantuannya tidak dibutuhkan lagi, Gajah Mada bersikap dingin terhadapnya. Barangkali Gajah Mada merasa dirinya tersaingi oleh Adityawarman, karena selain perkasa, dia juga masih memiliki hubungan darah dengan dinasti Majapahit. Sikap dingin antara mereka berdua memang tidak pernah berubah menjadi permusuhan terbuka, tetapi akhirnya Adityawarman memutuskan untuk kembali ke Tanah Minang.

Di Sumatra ia memosisikan dirinya sebagai datuk. Dan “di atas kertas” walau tetap bernaung di bawah Majapahit, sesungguhnya ia sudah “jalan sendiri”. Akibat dari perpecahan ini kelak dirasakan oleh anak cucu mereka. Mungkin masih ada terdengar keluhan orang Sumatra, “Orang Jawa (Mahapatih Gajah Mada) datang ke pulau kami untuk menjarah. Mereka ingin berkuasa.” Keluhan-keluhan seperti ini tidak jarang berkembang menjadi tuduhan “jawanisasi”.

Tuduhan “jawanisasi” juga dilontarkan oleh pulau-pulau lain, khususnya Sulawesi dan Kalimantan. Padahal, jika kita mempelajari sejarah budaya kita dengan kepala dingin, ada benang merah yang mengikat dan mempertemukan kepulauan kita. “Jawanisasi” adalah mitos yang berkembang dari rasa tidak enak mereka terhadap apa yang telah dilakukan oleh Gajah Mada dahulu yang memberlakukan Nusantara sebagai tanah jajahan, sebagaimana kebencian rakyat Sunda akan kisah serupa.

Sesungguhnya, jika kita memahami jauh lebih bijak catatan sejarah masa lalu, maka arifkah kita masih membenamkan diri kita pada kesalahan masa lalu. Akar budaya kita memang satu dan sama. Adalah suatu kebetulan, jika budaya itu masih hidup, dan oleh karenanya terasa dan terlihat sisa-sisanya di Pulau Jawa. Sementara itu, di tempat lain barangkali sudah sekarat, sekarat… belum mati!

Mempersiapkan Kader
Seperti semasa ia berkuasa, program kaderisasi memang tidak berjalan sama sekali. Dia lupa bahwa dirinya sendiri dipersiapkan oleh Arya Tadah, seorang patih yang kemudian merelakan jabatannya demi dia. Barangkali, ia seorang perfeksionis. Ia merasa dirinya paling hebat, dan orang lain tidak sehebat dirinya. Inilah akibat rasa percaya diri yang berlebihan.

Kesalahan yang sama telah dilakukan oleh setiap mereka yang telah berkuasa. Mereka “lupa” bahwa setiap orang akan mati dan tidak dapat berkuasa untuk selamanya mungkin tidak lupa, tapi tidak mau menerima kenyataan dengan rela. Sementara itu, mekanisme pemerintahan tidak boleh berhenti dan harus berjalan terus menuju kemajuan.

Penutup
Setiap orang memaknai sejarah dalam ruang lingkupnya masing-masing. Kesederhanaan pikiran serta keutamaan membaca sejarah dalam dimensi lain membawa kita dalam arus berlainan. Memaknai bukan berarti hanya dari segi positifnya, karena ada bagian lain yang lebih memberikan pelajaran bagi kita. Bukan berarti mengesampingkan jasa dan pengorbanan yang dilakukan seseorang untuk negeri ini. Akan tetapi, menilai seseorang akan jauh lebih bijak jika dari dekat kemudian menjauhinya untuk menemukan kebenaran dari pandangan orang di kejauhan atas apa yang telah ia lakukan.

Gajah Mada sosok kontroversi di negeri ini. Ia telah membawa banyak perubahan besar, sosok besar yang tercatat dalam literatur sejarah bangsa ini namanya seharum cita-cita sucinya. Peranannya menggaung ke seantero Nusantara, pandangan politiknya yang berorientasi jauh ke depan patut ditiru, kecerdikannya dalam membaca situasi membuat ia selalu sigap akan bahaya yang mengancam kedaulatan negara yang ia bela.

Tulisan ini coba memberikan gambaran dari sejarah masa lalu dalam dimensi lain, sebuah dimensi yang coba mengungkapkan human error karena Gajah Mada bukan sesosok dewa, ia pun manusia biasa. Namun, ada beberapa kekeliruan yang luput dari perhatiannya, sebuah kekeliruan yang menjadikanya sosoknya sebagai bagian dari misteri kekurangan pada diri manusia. Ambisi kekuasaan hingga kearifan dalam bernegara telah tertutupi oleh keinginan kuatnya dalam mempersatukan Nusantara dengan caranya. Ya, dengan caranya!

Niat Gajah Mada mempersatukan bangsa ini sungguh mulia, bahkan sangat mulia ketimbang berbicara pada tataran konseptual saja. Namun, sekali lagi cara yang ia tempuh tidak tepat (mungkin untuk sebagian orang benar), tidak tepat dalam pandangan mengesampingkan kepentingan orang lain karena ada cara yang jauh lebih bijak cara yang telah diungkapkan oleh Mpu Tantular, pendekatan budaya, sebuah kesadaran konseptual yang ditelurkan dalam bait-bait Sutasoma. Ya, karena kita sama dan satu.
Sumber : http://www.wacananusantara.org/4/470/gajah-mada:-kejanggalan-manifestasi-sumpah-palapa
Kepustakaan
Anand, Krisna. 2007. Sandi Sutasoma: Menemukan Kepingan Jiwa Mpu Tantular. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Budya Pradipta. 2004. "Sumpah Palapa Cikal Bakal Gagasan NKRI". Makalah ini disajikan untuk “Seminar Naskah Kuno Nusantara dengan tema Nsakah Kuno sebagai perekat NKRI”, diselenggarakan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia pada Hari Selasa 12 Okotber 2004 di Auditorium Perpustakaan Nasional RI, Jl. Salemba Raya 18, Jakarta Pusat. [online]. http://digilib.pnri.go.id/uploaded_files/k003/normal/Sumpah_Palapa.pdf
Muljana, Slamet. 2006. Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta.
Sultan Hamengku Buwono X. 2008. Merajut Kembali Keindonesiaan Kita. Jakarta : Pt Gramedia Pustaka Utama
Tim Wacana Nusantara. 2009. Pararaton. [online] http://www.wacananusantara.org/content/view/category/2/id/202. 3. Agustus 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar