Sabtu, 24 April 2010

BENCANA KEMANUSIAAN AKIBAT DARWINISME - HARUN YAHYA


PENDAHULUAN
PEMBAWA SENGSARA DI ABAD KE-20


Abad ke-20 yang baru saja kita tinggalkan adalah abad peperangan dan pertikaian yang membawa bencana, penderitaan, pembantaian, kemiskinan, dan kerusakan dahsyat. Jutaan orang terbunuh, terbantai, mati kelaparan, terlantar tanpa rumah, tempat bernaung, perlindungan ataupun uluran tangan. Dan semua ini terjadi tanpa tujuan apapun selain demi membela ideologi-ideologi menyimpang. Jutaan orang diperlakuan secara tidak manusiawi yang bahkan binatangpun tidak pantas mendapatkannya. Hampir di setiap waktu dan tempat muncul para penguasa kejam dan diktator yang bertanggung jawab atas segala penderitaan dan bencana ini. Mereka adalah Stalin, Lenin, Trotsky, Mao, Pol Pot, Hitler, Mussolini, Franco.... Sebagian orang-orang ini berideologi sama, sedangkan sebagian lain adalah musuh bebuyutan bagi yang lain. Hanya karena alasan sederhana seperti pertentangan ideologis, mereka menyeret masyarakat ke jurang pertikaian, menjadikan sesama saudara saling bermusuhan, memicu peperangan di antara mereka, melempar bom, membakar dan merusak mobil, rumah, dan pertokoan, serta menggerakkan demonstrasi yang penuh kekerasan. Mereka mempersenjatai orang-orang yang kemudian menggunakannya tanpa belas kasihan untuk memukul pemuda, orang tua, pria, wanita, dan anak-anak hingga mati, atau memaksa orang berdiri menghadap tembok dan menembaknya... Mereka begitu bengis hingga tega mengarahkan senjata ke kepala orang lain dan, dengan menatap matanya, membunuhnya, lalu menginjak kepalanya dengan kaki mereka, hanya karena orang tersebut mendukung paham lain. Mereka mengusir orang-orang dari rumahnya, tidak peduli apakah mereka wanita, anak-anak atau orang tua...
Inilah gambaran singkat tentang bencana di abad ke-20 yang baru saja kita lewati: orang-orang yang mendukung berbagai ideologi yang saling bertentangan, dan yang menenggelamkan umat manusia dalam penderitaan dan genangan darah, dengan mengatasnamakan berbagai ideologi ini.
Fasisme dan Komunisme berada di barisan terdepan dari beragam ideologi yang telah menyebabkan umat manusia menderita di masa suram tersebut. Keduanya seolah terlihat saling bermusuhan, sebagai paham yang berusaha untuk saling menghancurkan. Namun, terdapat fakta yang sungguh menarik di sini: ideologi-ideologi ini tumbuh dan dibesarkan oleh satu sumber ideologis yang sama, serta mendapatkan pengukuhan dan pembenaran dari sumber tersebut. Dan berkat sumberinilah ideologi-ideologi ini mampu menarik masyarakat untuk berpihak kepada mereka. Pada pandangan pertama, sumber ini tidak pernah menarik perhatian siapapun, senantiasa berada di balik layar hingga sekarang, dan selalu menampakkan diri di hadapan umum dengan wajah tak berdosa mereka. Sumber ini adalah filsafat materialisme, dan DARWINISME, yakni bentuk penerapan filsafat materialisme di alam kehidupan.
Darwinisme muncul di abad ke-19 sebagai penghidupan kembali sebuah mitos yang berasal dari bangsa Sumeria dan Yunani Kuno oleh seorang biologiwan amatir Charles Darwin. Sejak saat tersebut, Darwinisme telah menjadi sumber inspirasi utama di balik semua ideologi yang menghancurkan umat manusia. Dengan berkedok ilmiah, Darwinisme memberi jalan bagi ideologi-ideologi tersebut beserta para pendukungnya untuk melakukan tindakan politis demi mendapatkan sebuah pembenaran palsu.
Dengan pembenaran palsu ini, tak lama kemudian teori evolusi meninggalkan bidang ilmu biologi serta palaeontologi, dan mulai merambah ke hubungan antar manusia hingga ke masalah sejarah, serta mempengaruhi bidang-bidang lain, dari politik hingga ke kehidupan sosial. Karena Darwinisme berisi gagasan tertentu yang mendukung sejumlah aliran pemikiran yang mulai mengarah ke pergerakan dan menunjukkan keberadaannya di abad ke-19, Darwinisme mendapatkan dukungan luas dari kalangan ini. Terutama sekali, orang mulai mencoba menerapkan gagasan bahwa terdapat “perjuangan untuk mempertahankan hidup” di antara mahluk hidup di alam, dan, akibatnya, gagasan bahwa “yang kuat bertahan hidup, sedangkan yang lainnya kalah dan musnah” mulai diterapkan pada pemikiran dan perilaku manusia. Ketika pernyataan Darwinisme tentang “alam adalah arena perjuangan dan pertikaian” mulai diterapkan pada manusia dan masyarakat, maka gagasan Hitler untuk membangun ras manusia pilihan, pernyataan Marx tentang “sejarah umat manusia adalah sejarah perjuangan antarkelas masyarakat”, keyakinan kapitalisme bahwa “ yang kuat tumbuh lebih kuat dengan mengorbankan yang lemah,” penjajahan negara dunia ketiga oleh bangsa-bangsa penjajah seperti Inggris, penderitaan bangsa terjajah akibat perlakuan tak manusiawi dari penjajah, perlakuan rasis dan diskriminasi terhadap orang-orang kulit berwarna, kesemuanya ini mendapatkan semacam pembenaran.
Meskipun seorang evolusionis, Robert Wright, pengarang buku The Moral Animal (Moral Binatang), merangkum berbagai bencana kemanusiaan yang ditimbulkan teori evolusi sebagaimana berikut :
Bagaimanapun juga, teori evolusi memiliki sejarah panjang yang sebagian besarnya kelam pada penerapannya dalam masalah kemanusiaan. Setelah bercampur dengan filsafat politik di sekitar peralihan abad ini untuk membentuk ideologi tidak jelas yang dikenal dengan “Darwinisme sosial”, ideologi ini digunakan oleh kaum rasis, fasis dan kapitalis yang tidak memiliki hati nurani.1
Seperti yang akan diuraikan dalam buku ini beserta bukti-bukti yang ada di dalamnya, Darwinisme bukanlah sekedar teori yang berusaha menjelaskan asal mula kehidupan dan hanya terpaku pada bidang ilmu pengetahuan. Darwinisme adalah sebuah dogma yang masih dengan gigih dan keras kepala dipertahankan oleh para pendukung ideologi tertentu, meskipun telah dibuktikan sama sekali keliru dari sudut pandang ilmiah. Di masa kini, banyak ilmuwan, politikus, dan para pemikir, yang menyadari sisi gelap Darwinisme ataupun tidak, mendukung dogma ini.
Jika setiap orang mengetahui ketidakabsahan ilmiah teori ini, yang telah mengilhami para diktator kejam dan mentalitas serta cara berpikir yang bengis, tidak manusiawi dan mementingkan diri sendiri, maka ini akan mengakhiri riwayat ideologi-ideologi berbahaya tersebut. Mereka yang melakukan dan merencanakan kejahatan tidak akan mampu membenarkan tindakan mereka sendiri dengan mengatakan, “Ini adalah hukum alam.” Mereka tidak akan lagi memiliki apa yang disebut dengan pembenaran ilmiah bagi cara pandang mereka yang mementingkan diri sendiri dan tidak mengenal belas kasih.
Ketika pemikiran Darwinisme yang menjadi akar berbagai ideologi berbahaya pada akhirnya dirobohkan, maka hanya ada satu kebenaran yang tersisa. Yakni kebenaran bahwa semua manusia dan alam semesta diciptakan oleh Allah (Tuhan). Mereka yang memahami hal ini juga akan menyadari bahwa satu-satunya kenyataan dan kebenaran yang ada terdapat dalam kitab suci yang Allah turunkan untuk kita. Ketika sebagian besar manusia menyadari kebenaran ini, penderitaan, kesulitan, pembantaian, bencana, ketidakadilan, dan kemiskinan di dunia akan tergantikan oleh pencerahan, keterbukaan, kemakmuran, ketercukupan, kesehatan, dan keberlimpahan. Karenanya, setiap pemikiran menyimpang yang berbahaya bagi kemanusiaan harus terkalahkan dan tersingkirkan oleh ajaran mulia yang membawa keindahan dan kedamaian dalam kehidupan manusia. Membalas batu dengan batu, pukulan dengan pukulan, dan serangan dengan serangan yang lain bukanlah sebuah pemecahan masalah. Pemecahan masalah yang sesungguhnya adalah menghancurkan pola pikir mereka yang melakukan segala tindakan ini, dan dengan sabar dan santun menjelaskan kepada mereka satu-satunya kebenaran untuk menggantikan kesalahan cara berpikir yang mereka anut.
Tujuan penulisan buku ini adalah menunjukkan kepada mereka yang mempertahankan Darwinisme tanpa memahami sisi gelapnya, sadar ataupun tidak, apa yang sebenarnya mereka dukung, dan untuk menjelaskan apa yang akan menjadi tanggung jawab mereka jika tetap berpaling dari kebenaran ini. Tujuan lainnya adalah untuk menyadarkan dan memberi peringatan kepada mereka yang tidak mempercayai Darwinisme, akan tetapi pada saat yang sama tidak juga melihatnya sebagai ancaman bagi kemanusiaan.


SEJARAH SINGKAT DARWINISME



Sebelum menelaah berbagai penderitaan dan bencana yang ditimpakan Darwinisme kepada dunia, marilah kita mempelajari sejarah Darwinisme secara sekilas. Banyak orang percaya bahwa teori evolusi yang pertama kali dicetuskan oleh Charles Darwin adalah teori yang didasarkan atas bukti, pengkajian dan percobaan ilmiah yang dapat dipercaya. Namun, pencetus awal teori evolusi ternyata bukanlah Darwin, dan, oleh karenanya, asal mula teori ini bukanlah didasarkan atas bukti ilmiah.
Pada suatu masa di Mesopotamia, saat agama penyembah berhala diyakini masyarakat luas, terdapat banyak takhayul dan mitos tentang asal-usul kehidupan dan alam semesta. Salah satunya adalah kepercayaan tentang “evolusi”. Menurut legenda Enuma-Elish yang berasal dari zaman Sumeria, suatu ketika pernah terjadi banjir besar di suatu tempat, dan dari banjir ini tiba-tiba muncul tuhan-tuhan yang disebut Lahmu dan Lahamu. Menurut takhayyul yang ada waktu itu, para tuhan ini pertama-tama menciptakan diri mereka sendiri. Setelah itu mereka melingkupi keseluruhan alam semesta dan kemudian membentuk seluruh materi lain dan makhluk hidup. Dengan kata lain, menurut mitos bangsa Sumeria, kehidupan terbentuk secara tiba-tiba dari benda tak hidup, yakni dari kekacauan dalam air, yang kemudian berevolusi dan berkembang.
Kita dapat memahami betapa kepercayaan ini berkaitan erat dengan pernyataan teori evolusi: “makhluk hidup berkembang dan berevolusi dari benda tak hidup.” Dari sini kita dapat memahami bahwa gagasan evolusi bukanlah diawali oleh Darwin, tetapi berasal dari bangsa Sumeria penyembah berhala.
Di kemudian hari, mitos evolusi tumbuh subur di peradaban penyembah berhala lainnya, yakni Yunani Kuno. Filsuf materialis Yunani kuno menganggap materi sebagai keberadaan satu-satunya. Mereka menggunakan mitos evolusi, yang merupakan warisan bangsa Sumeria, untuk menjelaskan bagaimana makhluk hidup muncul menjadi ada. Demikianlah, filsafat materialis dan mitos evolusi muncul dan berjalan beriringan di Yunani Kuno. Dari sini, mitos tersebut terbawa hingga ke peradaban Romawi.
Kedua pemikiran tersebut, yang masing-masing berasal dari kebudayaan penyembahan berhala ini, muncul lagi di dunia modern pada abad ke-18. Sejumlah pemikir Eropa yang mempelajari karya-karya bangsa Yunani kuno mulai tertarik dengan materialisme. Para pemikir ini memiliki kesamaan: mereka adalah para penentang agama.
Demikianlah, dan yang pertama kali mengulas teori evolusi secara lebih rinci adalah biologiwan Prancis, Jean Baptiste Lamarck. Dalam teorinya, yang di kemudian hari diketahui keliru, Lamarck mengemukakan bahwa semua mahluk hidup berevolusi dari satu ke yang lain melalui perubahan-perubahan kecil selama hidupnya. Orang yang mengulang pernyataan Lamark dengan cara yang sedikit berbeda adalah Charles Darwin.
Darwin mengemukakan teori tersebut dalam bukunya The Origin of Species, yang terbit di Inggris pada tahun 1859. Dalam buku ini, mitos evolusi, yang diwariskan oleh peradaban Sumeria kuno, dipaparkan lebih rinci. Dia berpendapat bahwa semua spesies makhluk hidup berasal dari satu nenek moyang, yang muncul di air secara kebetulan, dan mereka tumbuh berbeda satu dari yang lain melalui perubahan-perubahan kecil yang terjadi secara kebetulan.
Pernyataan Darwin tidak banyak diterima oleh para tokoh ilmu pengetahuan di masanya. Para ahli fosil, khususnya, menyadari pernyataan Darwin sebagai hasil khayalan belaka. Meskipun demikian, seiring berjalannya waktu, teori Darwin mulai mendapatkan banyak dukungan dari berbagai kalangan. Hal ini disebabkan Darwin dan teorinya telah memberikan landasan berpijak ilmiah – yang dahulunya belum diketemukan– bagi kekuatan yang berkuasa pada abad ke-19.


Alasan Ideologis Penerimaan Darwinisme

Ketika Darwin menerbitkan buku The Origin of Species dan memunculkan teori evolusinya, ilmu pengetahuan kala itu masih sangat terbelakang. Misalnya, sel, yang kini diketahui memiliki sistem teramat rumit, hanya tampak seperti bintik noda melalui mikroskop sederhana waktu itu. Karenanya, Darwin merasa tidak ada yang salah ketika menyatakan bahwa kehidupan muncul secara kebetulan dari materi tak hidup.
Demikian pula, catatan fosil yang tidak lengkap waktu itu memberi celah bagi penyataan bahwa mahluk hidup telah terbentuk dari satu spesies ke spesies yang lain melalui perubahan sedikit demi sedikit. Sebaliknya, kini telah jelas bahwa catatan fosil, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tidak memberikan secuil bukti apapun yang mendukung pernyataan Darwin bahwa suatu makhluk hidup muncul dari perkembangan makhluk hidup lain yang telah ada sebelumnya. Hingga baru-baru ini, para evolusionis terbiasa mengelak dari kebuntuan yang menghadang mereka tersebut dengan berdalih, “Ini akan ditemukan suatu saat di masa mendatang.” Tetapi, mereka sekarang tidak lagi mendapatkan tempat bersembunyi di balik penjelasan ini (Untuk lebih lengkapnya, silahkan membaca Bab “Kekeliruan Teori Evolusi”)
Apapun yang terjadi, keyakinan para Darwinis terhadap teori evolusi tidak berubah sedikitpun. Para pendukung Darwin telah datang dan hadir hingga zaman kita dan, layaknya harta warisan, mereka melimpahkan kesetiaan kepada Darwin ke generasi selanjutnya secara turun-temurun selama 150 tahun terakhir.
Jika demikian, apakah yang menjadikan Darwinisme diminati sejumlah kalangan dan disebarlu-askan melalui propaganda besar-besaran, padahal fakta tentang ketidakabsahan ilmiahnya kini telah nampak jelas?
Yang paling menonjol dari teori Darwin adalah pengingkarannya terhadap keberadaan Pencipta. Menurut teori evolusi, kehidupan membentuk dirinya sendiri tanpa sengaja dari bahan-bahan pembentuknya yang telah ada di alam. Pernyataan Darwin ini memberikan pembenaran ilmiah palsu bagi semua filsafat kaum anti Tuhan, dimulai dari filsafat kaum materialis. Sebab, hingga abad ke-19, sebagian besar para ilmuwan melihat ilmu pengetahuan sebagai sarana mempelajari dan menemukan ciptaan Allah. Karena keyakinan ini tersebar luas, filsafat atheis dan materialis tidak menemukan lahan subur untuk tumbuh berkembang. Namun, pengingkarannya terhadap keberadaan Pencipta dan dukungan ‘ilmiah’ yang diberikannya kepada keyakinan atheis dan materialis menjadikan teori Evolusi sebagai kesempatan emas bagi mereka. Karena alasan ini, kedua filsafat tersebut berpihak kepada Darwinisme dan menyelaraskan teori ini dengan ideologi mereka sendiri.
Selain penyangkalan Darwinisme terhadap keberadaan Tuhan, terdapat pernyataan lainnya mendukung berbagai ideologi materialistis abad ke-19: “Perkembangan makhluk hidup dipengaruhi oleh perjuangan untuk mempertahankan hidup di alam. Perseteruan ini dimenangkan oleh yang terkuat. Yang lemah akan kalah dan punah.”
Kaitan erat Darwinisme dengan ideologi-ideologi yang telah menimpakan penderitaan dan bencana terhadap dunia diungkap dengan jelas dalam bagian ini.


Darwinisme Sosial : Penerapan Hukum Rimba Dalam 
                                    Kehidupan Manusia

Salah satu pernyataan terpenting teori evolusi adalah “perjuangan untuk mempertahankan hidup” sebagai pendorong utama terjadinya perkembangan makhluk hidup di alam. Menurut Darwin, di alam terjadi perkelahian tanpa mengenal belas kasih demi mempertahankan hidup, ini adalah sebuah pertikaian abadi. Yang kuat selalu mengalahkan yang lemah, dan ini mendorong terjadinya perkembangan. Judul tambahan buku The Origin of Species merangkum pandangan ini. “The Origin of Species by Means of Natural Selection or the Preservation of Favoured Races in the Struggle for Life” (“Asal-Usul Spesies melalui Seleksi Alam atau Pelestarian Ras-Ras Pilihan dalam Perjuangan untuk Mempertahankan Hidup.”)
Yang mengilhami Darwin tentang hal ini adalah buku karya ekonom Inggris, Thomas Malthus: An Essay on The Principle of Population. Buku ini memperkirakan masa depan yang cukup suram bagi umat manusia. Menurut perhitungan Malthus, jika dibiarkan, populasi manusia akan meningkat dengan sangat cepat. Jumlahnya akan berlipat dua setiap 25 tahun. Namun, persediaan makanan tidak akan bertambah pada laju yang sama. Dalam keadaan ini, manusia menghadapi bahaya kelaparan yang tiada henti. Yang mampu menekan jumlah populasi ini adalah bencana, seperti perang, kelaparan, dan penyakit. Singkatnya, agar sebagian orang tetap bertahan hidup, maka sebagian yang lain perlu mati. Kelangsungan hidup berarti “perang tanpa henti”.
Menurut Darwin buku Malthuslah yang mejadikannya berpikir tentang perjuangan demi mempertahankan hidup:
Dalam bulan Oktober 1838, yakni 15 bulan setelah saya memulai pengkajian sistematis saya, saya kebetulan membaca buku Malthus tentang kependudukan sekedar untuk hiburan, dan setelah sebelumnya memahami bahwa perjuangan untuk mempertahankan hidup yang terjadi di mana-mana, berdasarkan pengamatan berulang-ulang terhadap kebiasaan pada binatang dan tumbuhan, saya seketika tersadarkan bahwa keadaan ini mendorong variasi menguntungkan untuk cenderung lestari dan yang tidak menguntungkan akan musnah. Hasilnya adalah pembentukan spesies baru. Di sinilah saya pada akhirnya menemukan sebuah teori yang dapat saya pakai.2
Pada abad ke-19, gagasan Malthus telah diterima oleh masyarakat luas. Sejumlah kalangan intelektual Eropa kelas atas secara khusus mendukung gagasan Malthus ini. Perhatian besar yang diberikan Eropa abad ke-19 kepada pemikiran Malthus tentang populasi tercantum dalam artikel The Scientific Background of the Nazi “Race Purification” Programme (Latar Belakang Ilmiah Program “Pemurnian Ras” oleh Nazi ) :
Pada paruh pertama abad ke-19, di seluruh Eropa, para anggota kalangan yang berkuasa berkumpul membicarakan “masalah kependudukan” yang baru ditemukan, dan untuk merumuskan cara menerapkan anjuran Malthus untuk meningkatkan laju kematian orang-orang miskin: “Sebagai ganti ajakan hidup bersih kepada orang-orang miskin, kita harus menganjurkan kebiasaan hidup yang sebaliknya. Di kota-kota kita, kita hendaknya menjadikan jalanan semakin sempit, menjejali lebih banyak orang yang tinggal dalam rumah, dan mendorong munculnya kembali wabah penyakit. Di negeri ini kita harus membangun desa-desa di dekat tempat genangan air, dan secara khusus menganjurkan pemukiman di semua tempat basah rentan banjir dan tidak sehat,” dan seterusnya, dan seterusnya.3
Akibat kebijakan biadab ini, yang kuat akan mengalahkan yang lemah dalam perseteruan untuk mempertahankan hidup, dan dengan demikian laju pertumbuhan penduduk yang cepat akan dapat ditekan. Di Inggris pada abad ke-19, program “penjejalan orang-orang miskin” ini telah benar-benar diterapkan. Sebuah sistem industri didirikan sebagai tempat di mana anak-anak berusia delapan atau sembilan tahun bekerja selama 16 jam sehari di pertambangan batubara, di mana ribuan dari mereka meninggal akibat keadaan yang buruk tersebut. Gagasan tentang “perjuangan untuk mempertahankan hidup” yang dianggap penting dalam teori Malthus, telah mengakibatkan jutaan orang miskin di Inggris menjalani hidup penuh penderitaan.
Darwin, yang terpengaruh pemikiran Malthus, menerapkan cara pandang ini ke seluruh alam kehidupan, dan mengatakan bahwa peperangan ini, yang benar-benar ada, akan dimenangkan oleh yang terkuat dan yang paling layak hidup. Pernyataan Darwin tersebut berlaku pada semua tanaman, binatang, dan manusia. Ia juga menekankan bahwa perseteruan untuk mempertahankan hidup ini adalah hukum alam yang senantiasa ada dan tak pernah berubah. Dengan menolak adanya penciptaan, ia mengajak orang-orang menanggalkan keyakinan agama mereka dan dengan demikian berarti pula seruan untuk meninggalkan segala prinsip etika yang dapat menjadi penghalang bagi kebiadaban dalam “perjuangan untuk mempertahankan hidup.”
Karena alasan inilah teori Darwin mendapatkan dukungan dari kalangan yang berkuasa, bahkan sejak teori tersebut baru saja didengar, awalnya di Inggris dan selanjutnya di negeri Barat secara keseluruhan. Kaum imperialis, kapitalis, dan materialis lainnya yang menyambut hangat teori ini, yang memberikan pembenaran ilmiah bagi sistem politik dan sosial yang mereka dirikan, tidak kehilangan waktu untuk segera menerimanya. Dalam waktu singkat, teori evolusi telah dijadikan satu-satunya patokan utama dalam berbagai bidang yang menjadi kepentingan masyarakat, dari sosiologi hingga sejarah, dari psikologi hingga politik. Di setiap pokok bahasan, gagasan yang mendasari adalah semboyan “perjuangan untuk bertahan hidup” dan “kelangsungan hidup bagi yang terkuat”; dan partai politik, bangsa, pemerintahan, perusahaan dagang, dan perorangan mulai menjalani kegiatan atau kehidupannya dengan berpedomankan semboyan ini. Karena ideologi-ideologi yang berpengaruh di masyarakat telah menyelaraskan diri dengan Darwinisme, propaganda Darwinisme mulai dilakukan di segala bidang, dari pendidikan hingga seni, dari politik hingga sejarah. Terdapat upaya untuk menghubung-hubungkan setiap bidang yang ada dengan Darwinisme, dan untuk memberikan penjelasan pada tiap bidang tersebut dari sudut pandang Darwinisme. Akibatnya, meskipun orang-orang tidak memahami Darwinisme, berbagai pola masyarakat yang menjalani kehidupan sebagaimana perkiraan Darwinisme mulai terbentuk.





 

 


RASISME DAN KOLONIALISME DARWIN



Teman dekat Darwin, Profesor Adam Sedgwick, termasuk salah seorang yang melihat bahaya yang akan dimunculkan teori evolusi di masa mendatang. Setelah membaca dan menyelami isi The Origin of Species, ia mengatakan: “Jika buku ini diterima masyarakat luas, maka buku ini akan memunculkan kebiadaban terhadap ras manusia yang belum pernah tersaksikan sebelumnya.”7 Dan ternyata waktu menunjukkan bahwa kekhawatiran Sedgwick terbukti benar. Abad ke-20 telah tercatat dalam sejarah sebagai zaman kegelapan di mana manusia melakukan pembunuhan masal terhadap sesamanya hanya karena ras atau suku bangsa mereka.
Dalam sejarah manusia, diskriminasi dan pembantaian dengan alasan yang sama tersebut memang telah terjadi sejak sebelum Darwin. Namun Darwinisme telah memberikan alasan ilmiah dan pembenaran palsu atas tindakan tersebut.

“Pelestarian Ras-Ras Pilihan...”
Kebanyakan para pendukung Darwinisme di zaman kita menyatakan bahwa Darwin tidak pernah berpandangan rasis, akan tetapi para rasislah yang mengemukakan pemikiran Darwin secara salah untuk disesuaikan dengan pandangan mereka sendiri. Mereka menegaskan bahwa kalimat “By the Preservation of Favoured Races” (Dengan Pelestarian Ras-Ras Pilihan) yang merupakan judul tambahan dari The Origin of Species hanya berlaku pada binatang. Tetapi, mereka telah mengabaikan perkataan Darwin tentang ras-ras manusia dalam bukunya.
Menurut pandangan yang dikemukakan Darwin dalam buku ini, ras-ras manusia berada pada tahap evolusi yang berbeda, dan sejumlah ras telah berevolusi dan mengalami perkembangan yang lebih cepat dibanding ras-ras lain. Sebaliknya, beberapa dari mereka hampir setingkat dengan kera.
Darwin menyatakan bahwa “perjuangan untuk mempertahankan hidup” juga terjadi antar ras-ras manusia. “Ras-ras pilihan” muncul sebagai pemenang dalam pertarungan ini. Menurut Darwin, ras-ras terpilih adalah bangsa kulit putih Eropa. Sementara ras Asia dan Afrika telah tertinggal dalam perjuangan untuk mempertahankan hidup. Darwin bahkan melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa ras-ras ini tak lama lagi akan kalah dalam pertarungan untuk mempertahankan hidup di seluruh dunia, dan kemudian musnah. Menurutnya:
Di masa mendatang, tidak sampai berabad-abad lagi, ras-ras menusia beradab hampir dipastikan akan memusnahkan dan menggantikan ras-ras biadab di seluruh dunia. Pada saat yang sama, kera-kera mirip manusia …tidak diragukan lagi akan dimusnahkan, selanjutnya jarak antara manusia dengan padanan terdekatnya akan lebih lebar, karena jarak ini akan memisahkan manusia dalam keadaan yang lebih beradab, sebagaimana yang kita harapkan, dari Kaukasian sekalipun, dengan jenis-jenis kera serendah babon, tidak seperti sekarang yang hanya memisahkan negro atau penduduk asli Australia dengan gorila. 8
Di bagian lain dari buku The Origin of Species, Darwin kembali menyatakan keharusan ras-ras rendah untuk musnah dan tidak perlunya orang-orang lebih maju untuk melindungi dan menjaga mereka agar tetap hidup. Ia membandingkan hal ini dengan orang-orang yang membiakkan binatang ternak:
Orang-orang biadab yang memiliki kelemahan pada tubuh dan akal dengan segera akan terhapuskan; dan mereka yang bertahan hidup biasanya memperlihatkan kondisi kesehatan yang prima. Sebaliknya, kita manusia-manusia beradab justru berusaha keras untuk menghentikan proses penghapusan ini; kita bangun rumah-rumah perawatan bagi orang-orang berpenyakit jiwa, cacat dan sakit; kita terapkan undang-undang bagi kaum miskin; dan para pekerja medis kita berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan nyawa setiap manusia hingga detik yang terakhir. Ada alasan yang memang dapat dipercaya bahwa vaksinasi telah menyelamatkan ribuan orang, yang jika kondisi kesehatannya lemah akan terserang penyakit cacar. Dengan demikian, orang-orang lemah dari masyarakat beradab mampu terus melangsungkan keturunan mereka. Tak seorang pun yang pernah mengetahui cara pembiakan hewan-hewan piaraan akan ragu bahwa tindakan ini pasti sangat merugikan bagi ras manusia. 9
Sebagaimana telah kita ketahui, dalam bukunya The Origin of Species Darwin menganggap masyarakat pribumi Australia dan Negro berada pada tingkatan yang sama dengan gorila, dan menyatakan bahwa ras-ras ini akan lenyap. Sedangkan terhadap ras-ras lain yang dianggapnya ras “rendah”, ia berpendapat perlunya mencegah mereka beranak-pinak demi menghantarkan ras-ras ini pada kepunahan. Demikianlah, jejak rasisme dan diskriminasi yang masih kita jumpai di masa kini mendapatkan restu dan pembenaran dari Darwin.
Sedangkan tugas bagi “orang yang beradab” , menurut pandangan rasis Darwin, adalah untuk sedikit mempercepat masa evolusi, sebagaimana akan kita bahas lebih rinci pada bagian selanjutnya. Dalam keadaan seperti ini, tidak ada keberatan dari sudut pandang “ilmiah” terhadap tindakan pemusnahan ras-ras rendah ini sekarang juga; sebab bagaimanapun juga mereka pada akhirnya akan segera lenyap.
Pandangan rasis Darwin berdampak nyata di banyak tulisan dan hasil pengamatannya. Sebagai contoh, ia secara terbuka memperlihatkan pandangan rasisnya ketika menggambarkan keadaan masyarakat pribumi Teirra del Furo yang disaksikannya selama pelayaran jauh yang ia ikuti sejak tahun 1871. Ia menggambar-kan pribumi tersebut sebagai makhluk hidup yang “sepenuhnya telanjang, seluruh tubuhnya dipenuhi zat warna, memakan apa saja yang mereka temukan layaknya binatang liar, sulit diatur, kejam terhadap siapapun yang bukan sukunya, merasa senang ketika menyiksa musuh, mempersembahkan kurban berdarah, membunuh anak-anak mereka sendiri, memperlakukan istri dengan kasar, meyakini banyak takhayul yang aneh.” Sebaliknya, seorang peneliti, W.P. Snow, yang sepuluh tahun sebelumnya telah mengunjungi wilayah yang sama, mengemukakan pemandangan yang sangat berbeda. Menurut Snow, penduduk Tiera Del Fuego adalah “orang-orang yang terlihat sehat dan kuat; sangat mencintai anak-anak mereka; sejumlah barang mereka dibuat dengan sangat ahli; mereka mengenal semacam hak kepemilikan terhadap sesuatu; dan mereka memberikan wewenang dan kuasa kepada beberapa perempuan yang dituakan.” 10
 
Kolonialisme Inggris dan Darwinisme

Negara yang paling banyak diuntungkan oleh pandangan rasis Darwin adalah tanah air Darwin sendiri, Inggris. Di tahun-tahun ketika Darwin mengemukakan teorinya, Inggris Raya tengah mendirikan imperium kolonialis nomor satu di dunia. Seluruh sumber kekayaan alam dari India hingga Amerika Latin dikeruk oleh Imperium Inggris. Orang “kulit putih” ini sedang menjarah dunia untuk kepentingannya sendiri.
Dipelopori oleh Inggris, tentunya tidak ada negara kolonialis yang mau dianggap sebagai “penjarah”, dan tercatat dalam sejarah dengan julukan semacam ini. Karenanya, mereka mencari alasan untuk menunjukkan bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar. Salah satu alasan yang mungkin adalah dengan menampilkan rakyat terjajah sebagai “masyarakat primitif” atau “makhluk mirip binatang”. Dengan cara seperti ini, mereka yang dibantai dan diperlakukan dengan tidak manusiawi dapat dipandang bukan sebagai manusia, melainkan makhluk separuh manusia separuh binatang. Dengan demikian, perlakuan buruk terhadap mereka tidak dapat dikatakan sebagai bentuk kejahatan.
Sesungguhnya, alasan yang dicari-cari seperti ini bukanlah barang baru. Tersebarnya kolonialisme di dunia telah bermula sejak abad ke-15 dan ke-16. Pernyataan bahwa sejumlah ras memiliki sebagian sifat binatang pertama kali dikemukakan oleh Christopher Columbus dalam penjelajahannya ke benua Amerika. Menurut pernyataan ini, penduduk asli Amerika bukanlah manusia, akan tetapi sejenis binatang yang telah berkembang. Oleh karenanya, mereka dapat dijadikan pelayan bagi para penjajah Spanyol.
Meskipun Columbus digambarkan dalam sejumlah film tentang penemuan benua Amerika sebagai orang yang memiliki rasa persahabatan dan kemanusiaan terhadap penduduk asli, kenyataan membuktikan bahwa Columbus tidak menganggap para penduduk asli tersebut sebagai manusia.19
Christopher Columbus adalah yang pertama kali melakukan pembantaian besar-besaran. Columbus mendirikan daerah jajahan Spanyol di wilayah-wilayah yang ia temukan, dan memperbudak penduduk pribumi. Ia bertanggung jawab atas dimulainya perdagangan budak. Para “penjajah” Spanyol menyaksikan kebijakan penindasan dan pemerasan yang dijalankan Columbus, dan melanjutkan hal yang sama. Akibatnya, pembantaian yang dilakukan mencapai batas yang sulit dipercaya. Misalnya, penduduk sebuah pulau yang pada saat pertama kali dikunjungi Colum bus berjumlah 200.000, setelah 20 tahun berkurang menjadi 50.000, dan pada tahun 1540 hanya 1.000 orang yang masih tersisa. Saat seorang penjajah Spanyol terkenal, Cortes, menginjakkan kakinya untuk pertama kali di Meksiko di bulan Februari 1519, keseluruhan penduduk aslinya berjumlah 25 juta, namun di tahun 1605 jumlah ini berkurang menjadi 1 juta. Di Pulau Hispaniola, jumlah penduduk yang tadinya 7-8 juta pada tahun 1492, menjadi 4 juta jiwa pada tahun 1496, dan hanya tersisa 125 orang pada tahun 1570. Berdasarkan angka para sejarawan, dalam waktu kurang dari seabad setelah Columbus pertama kali menginjakkan kakinya di benua tersebut, 95 juta manusia dibantai oleh para penjajah. Ketika Columbus menemukan Amerika, 30 juta penduduk asli mendiami benua tersebut. Akibat pembantaian yang terjadi di masa lalu dan masa kini, mereka telah menjadi ras punah dan kurang dari 2 juta orang saja yang masih tersisa.
Yang menyebabkan pembantaian tersebut mencapai tingkat yang sungguh sangat biadab ini adalah anggapan bahwa para penduduk asli tersebut bukanlah manusia sejati, melainkan binatang.

Kebencian Darwin terhadap Bangsa Turki

Sasaran paling utama bagi penjajahan Inggris di akhir abad ke-19 adalah Kekhalifahan Utsmaniyyah.
Di masa itu, imperium Utsmaniyyah memerintah wilayah sangat luas yang terbentang dari Yaman hingga Bosnia-Herzegovina. Namun hingga saat itu, wilayah yang sebelumnya damai, tentram dan stabil tersebut menjadi sulit untuk diatur. Penduduk Kristen yang berjumlah sedikit mulai melakukan pemberontakan dengan dalih ingin merdeka, dan kekuatan militer raksasa seperti Rusia mulai mengancam kedaulatan Kekhalifahan Utsmaniyyah.
Di seperempat terakhir abad ke-19, Inggris dan Prancis bersekutu dengan sejumlah kekuatan yang ingin menyerang Kekhalifahan Utsmaniyyah. Inggris secara khusus mengincar propinsi-propinsi di bagian selatan Kekhalifahan Utsmaniyyah. Perjanjian Berlin, yang ditandatangani pada tahun 1878, adalah wujud keinginan para penjajah Eropa untuk memecah belah wilayah Utsmaniyyah. Lima tahun kemudian, yakni pada tahun 1882, Inggris menduduki Mesir, yang masih merupakan wilayah Kekhalifahan Utsmaniyyah. Inggris mulai melancarkan siasatnya untuk mengambil alih wilayah kekuasaan Utsmaniyyah di Timur Tengah di kemudian hari.
Seperti biasanya, Inggris mendasarkan politik penjajahan ini pada paham rasisme. Pemerintah Inggris dengan sengaja berusaha menampilkan bangsa Turki, yang menjadi bagian utama penduduk Utsmaniyyah, dan negara Utsmaniyyah secara khusus, sebagai bangsa “terbelakang”.
Perdana Menteri Inggris William Ewart Gladstone secara terbuka mengatakan bahwa orang-orang Turki mewakili bagian dari umat manusia yang bukan manusia, dan demi kepentingan peradaban mereka, mereka harus digiring kembali ke padang rumput Asia dan dihapuskan dari Anatolia.23
Perkataan ini, dan semisalnya, digunakan selama puluhan tahun oleh pemerintah Inggris sebagai alat propaganda melawan bangsa Utsmaniyyah. Inggris berupaya menampilkan Turki sebagai bangsa terbelakang yang harus tunduk kepada ras-ras Eropa yang lebih maju.
Yang menjadi “landasan ilmiah” bagi propaganda ini adalah Charles Darwin!
Sejumlah pernyataan Darwin tentang bangsa Turki muncul dalam buku berjudul The Life and Letters of Charles Darwin yang terbit pada tahun 1888. Darwin mengemukakan bahwa dengan menghapuskan “ras-ras terbelakang” seleksi alam akan mampu berperan dalam pembangunan peradaban, dan kemudian menuturkan perkataan yang sama persis sebagaimana berikut ini tentang bangsa Turki:
Saya dapat menunjukkan bahwa peperangan dalam rangka seleksi alam telah dan masih lebih memberikan manfaat bagi kemajuan peradaban daripada yang tampaknya cenderung anda akui. Ingatlah bahaya yang harus dialami bangsa-bangsa Eropa, tak sampai berabad-abad yang lalu, karena dikalahkan oleh orang-orang Turki, dan betapa bodohnya jika pandangan seperti ini sekarang masih ada! Ras-ras ‘Kaukasia’ yang lebih beradab telah mengalahkan bangsa Turki hingga tak berdaya dalam peperangan untuk mempertahankan hidup. Melihat dunia masa depan yang tidak begitu lama lagi, betapa tak terhitung jumlah ras-ras rendah yang akan dimusnahkan oleh ras-ras lebih tinggi dan berperadaban di seluruh dunia.24
Pernyataan Darwin yang tidak masuk akal ini adalah alat propaganda tertulis untuk mendukung politik Inggris yang ingin menghancurkan Kekhalifahan Utsmaniyyah. Dan alat propaganda ini ternyata cukup ampuh. Perkataan Darwin yang pada intinya berarti “Bangsa Turki akan segera musnah, ini adalah hukum evolusi” memberi semacam ‘pembenaran ilmiah’ bagi propaganda Inggris dengan tujuan menciptakan kebencian terhadap orang-orang Turki.
Keinginan Inggris untuk mewujudkan ramalan Darwin pada intinya terpenuhi dalam Perang Dunia Pertama. Perang besar ini, yang dimulai pada tahun 1914, terjadi akibat perang kepentingan antara Jerman dan Austria-Hongaria di satu pihak, dan persekutuan antara Ingggris, Prancis, dan Rusia di pihak lain. Namun satu hal terpenting dalam perang ini adalah tujuan untuk menghancurkan dan memecah belah Kekhalifahan Utsmaniyyah.
Inggris menyerang Kekhalifahan Utsmaniyyah dari dua arah yang terpisah. Yang pertama adalah melalui arah terusan Suez di Mesir, Palestina, dan Irak, yang akan dibuka dengan maksud merebut wilayah Utsmaniyyah di Timur Tengah. Yang kedua adalah melalui Gallipoli, salah satu medan pertempuran paling berdarah pada Perang Dunia Pertama. Pasukan Turki di Çanakkale bertempur dengan gagah berani dan kehilangan 250.000 tentaranya saat melawan kekuatan musuh yang dihimpun Inggris. Sedangkan Inggris, daripada mengerahkan pasukannya sendiri, lebih suka mengirimkan tambahan pasukan India dan kesatuan Anzac yang mereka himpun dari daerah jajahannya seperti Australia dan Selandia Baru, yang mereka pandang sebagai “ras terbelakang”, untuk memerangi tentara Turki.
Permusuhan Darwin terhadap rakyat Turki terus berlanjut hingga setelah Perang Dunia Pertama. Kelompok-kelompok Neo-Nazi Eropa yang menyerang warga Turki di Eropa masih saja mengambil pembenaran dari pernyataan Darwin yang tidak masuk akal tentang bangsa Turki. Ucapan Darwin tentang bangsa Turki masih dapat ditemukan di situs-situs internet yang dikelola para rasis yang memusuhi orang Turki tersebut. (Lihat bab tentang Kaitan Erat antara Darwin dan Hitler.)

 Rasisme dan Darwinisme Sosial di Amerika

Tidak hanya di Inggris, Darwinisme sosial juga memberikan dukungan bagi kaum rasis dan imperialis di negara-negara lain. Karenanya, paham ini tersebar dengan cepat ke seluruh dunia. Yang terdepan di antara para penganut teori tersebut adalah presiden Amerika Serikat, Theodore Roosevelt. Roosevelt adalah pendukung terkemuka dan tokoh yang menerapkan program pembersihan etnis terhadap penduduk asli Amerika dengan dalih “pemindahan paksa”. Dalam buku The Winning of the West, ia merumuskan ideologi pembantaian, dan mengatakan bahwa peperangan antar ras hingga titik penghabisan melawan suku Indian sungguh tidak terelakkan.25 Yang menjadi sandaran utamanya adalah Darwinisme, yang telah memberikan dalih baginya untuk menganggap penduduk asli sebagai spesies terbelakang.
Sebagaimana perkiraan Roosevelt, tak satupun perjanjian dengan penduduk asli Amerika yang dihormati, dan ini pun mendapatkan pembenaran palsu dari teori “ras terbelakang”. Pada tahun 1871, Konggres mengabaikan semua perjanjian yang dibuat dengan penduduk asli Amerika dan memutuskan untuk membuang mereka ke daerah tandus, tempat mereka menunggu-nunggu saat datangnya kematian. Jika pihak lain tidak dianggap sebagai manusia, bagaimana mungkin perjanjian yang dibuat dengan mereka memiliki keabsahan?
Roosevelt juga mengemukakan bahwa peperangan antar ras sebagaimana disebutkan di atas merupakan tanda keberhasilan tersebarnya orang-orang berbahasa Inggris (Anglo-Saxons) ke seluruh dunia.26
Salah seorang pendukung utama rasisme Anglo-Saxon, pendeta evolusionis Protestan asal Amerika, Josiah Strong, memiliki jalan berpikir yang sama. Ia menulis perkataan berikut:
Kemudian dunia benar-benar akan memasuki babak baru dalam sejarahnya – kompetisi akhir di antara ras-ras di mana ras Anglo-Saxon tengah menjalani pelatihan untuk menghadapinya. Jika perkiraan saya tidak keliru, ras kuat ini akan bergerak memasuki Meksiko, Amerika Tengah dan Selatan, bergerak keluar memasuki pulau-pulau yang ada di lautan, ke seberang memasuki Afrika dan seterusnya, dan menguasai semua wilayah. Dan adakah yang meragukan bahwa hasil kompetisi ini adalah “kelangsungan hidup bagi yang terkuat?”.27
Kaum rasis terkemuka yang menggunakan Darwinisme Sosial sebagai dalih adalah mereka yang memusuhi ras kulit hitam. Mereka mengelompokkan ras menjadi beberapa tingkatan, menempatkan ras kulit putih sebagai yang paling unggul dan kulit hitam sebagai yang paling primitif. Teori-teori rasis mereka ini sangat bersesuaian dengan teori evolusi.28
Salah seorang pakar teori rasis evolusionis terkemuka, Henry Fairfield Osborn, menulis dalam sebuah artikel berjudul The Evolution of Human Races bahwa “kecerdasan standar rata-rata orang Negro dewasa setara dengan anak muda Homo sapiens berusia sebelas tahun”29
Berdasarkan cara berpikir ini, orang-orang kulit hitam sama sekali bukan tergolong manusia. Pendukung gagasan rasis evolusionis yang terkenal lainnya, Carleton Coon, mengemuka-kan dalam bukunya The Origins of Race yang terbit pada tahun 1962 bahwa ras kulit hitam dan ras kulit putih adalah dua spesies berbeda yang telah berpisah satu sama lain pada zaman Homo erectus. Menurut Coon, ras kulit putih berevolusi lebih maju setelah pemisahan ini. Para pendukung diskriminasi terhadap ras kulit hitam telah menggunakan penjelasan ‘ilmiah’ ini sejak lama.
Keberadaan teori ilmiah yang mendu-kungnya telah meningkatkan pertumbuhan rasisme di Amerika dengan pesat. W.E. Dubois, yang dikenal sebagai penentang diskriminasi ras, menyatakan bahwa “permasalahan abad ke-20 adalah permasalahan tentang diskrimi-nasi warna kulit”. Menurutnya, kemunculan masalah rasisme yang sedemikian meluas di sebuah negara yang ingin menjadi paling demokratis di dunia, yang dalam beberapa hal tampak berhasil mencapainya, merupakan suatu keanehan yang cukup penting. Penghapusan perbudakan belumlah cukup untuk membangun persaudaraan di antara orang-orang kulit hitam dan kulit putih. Ia berpendapat bahwa diskriminasi resmi, yang dahulunya pernah diberlakukan dalam waktu singkat, pada masa sekarang telah menjadi suatu kenyataan dan keadaan yang sah secara hukum, yang jalan keluarnya masih dalam pencarian30
Kemunculan undang-undang diskriminasi ras pertama, yang dikenal sebagai “Undang-Undang Jim Crow” (Jim Crow digunakan oleh warga kulit putih sebagai salah satu nama celaan untuk orang kulit hitam) juga terjadi pada masa itu. Ras kulit hitam benar-benar tidak diperlakukan sebagaimana layaknya manusia, dipandang rendah dan diperlakukan dengan hina di mana-mana. Terlebih lagi, ini bukanlah sikap segelintir rasis secara orang per orang, namun telah ditetapkan sebagai kebijakan resmi negara Amerika dengan undang-undangnya tersendiri. Segera setelah dikeluarkannya undang-undang pertama yang menyetujui pemisahan ras pada kereta api dan trem di Tennessee pada tahun 1875, seluruh negara bagian di Selatan menerapkan pemisahan ini pada kereta api mereka. Tanda bertuliskan “Whites Only” (“Hanya Untuk Kulit Putih”) dan “Blacks” (“Kulit Hitam”) tergantung di mana-mana. Sebenarnya, semua ini hanyalah pemberian status resmi pada keadaan yang sebelumnya telah ada. Pernikahan antar ras yang berbeda dilarang. Menurut undang-undang yang berlaku, pemisahan ras wajib dilaksanakan di rumah sakit, penjara, dan tempat pemakaman. Pada penerapannya, peraturan ini juga merambah ke hotel, gedung pertunjukan, perpustakaan, bahkan lift dan gereja. Tempat di mana terjadi pemisahan ras paling jelas adalah sekolah. Penerapan kebijakan ini berdampak paling besar terhadap warga kulit hitam, dan merupakan penghalang utama bagi kemajuan peradaban mereka.
Penerapan kebijakan pemisahan ras diwarnai dengan gelombang kekerasan. Terjadi peningkatan tajam pada jumlah orang kulit hitam yang dihukum mati tanpa melalui proses pengadilan. Antara tahun 1890 dan 1901, sekitar 1.300 orang kulit hitam dihukum mati. Akibat perlakuan ini, orang-orang kulit hitam melakukan perlawanan di beberapa negara bagian.
Gagasan dan teori rasis mewarnai masa-masa tersebut. Tak lama kemudian, rasisme biologis Amerika diterapkan sebagaimana hasil penelitian yang dicapai R. B. Bean melalui metoda pengukuran tengkoraknya, dan dengan dalih melindungi penduduk benua baru tersebut dari gelombang migrasi tak terkendali, muncullah rasisme Amerika gaya . Madison Grant, pengarang buku The Passing of the Great Race (1916) menulis bahwa percampuran dua ras tersebut akan menyebabkan munculnya ras yang lebih primitif dibanding spesies berkelas rendah, dan ia menghendaki pelarangan atas perkawinan antar ras. 31
Rasisme telah ada di Amerika sebelum Darwin, sebagaimana halnya di seluruh dunia. Namun, seperti yang telah kita ketahui, Darwinisme memberikan dukungan nyata terhadap pandangan dan kebijakan rasis di paruh kedua abad ke-19. Sebagai contoh, sebagaimana yang telah kita pahami dalam bab ini, ketika para pendukung rasisme melontarkan pandangan mereka, mereka menggunakan pernyataan Darwinisme sebagai dalih. Gagasan yang dianggap biadab sebelum masa Darwin, kini mulai diterima sebagai hukum alam.

 Kebijakan Biadab Pendukung Rasisme-Darwinisme
Pemusnahan Warga Aborigin

Penduduk asli benua Australia dikenal dengan sebutan Aborigin. Orang-orang yang telah mendiami benua tersebut selama ribuan tahun mengalami salah satu pemusnahan terbesar sepanjang sejarah seiring dengan penyebaran para pendatang Eropa di benua tersebut. Alasan ideologis pemusnahan ini adalah Darwinisme. Pandangan para ideolog Darwinis tentang suku aborigin telah memunculkan teori kebiadaban yang harus diderita mereka.
Pada tahun 1870, Max Muller, seorang antropolog evolusionis dari London Anthropological Review, membagi ras manusia menjadi tujuh tingkatan. Aborigin berada di urutan terbawah, dan ras Arya, yaitu orang kulit putih Eropa, di urutan teratas. H.K. Rusden, seorang Darwinis Sosial terkenal, mengemukakan pendapat-nya tentang suku aborigin pada tahun 1876 sebagaimana berikut:
Kelangsungan hidup bagi yang terkuat memiliki arti: kekuatan adalah kebenaran. Dan dengan demikian kita gunakan hukum seleksi alam yang tidak pernah berubah tersebut dan menerapkannya tanpa perasaan belas kasih ketika memus-nahkan ras-ras terbelakang Australia dan Maori...dan kita rampas warisan leluhur mereka tanpa merasa bersalah. 32
Pada tahun 1890, Wakil Presiden Royal Society of Tasmania, James Barnard, menulis: “proses pemusnahan adalah sebuah aksioma hukum evolusi dan keberlangsungan hidup bagi yang terkuat.” Oleh sebab itu, ia menyimpulkan, tidak ada alasan untuk menganggap bahwa “ada tindakan yang patut dicela” dalam pembunuhan dan perampasan terhadap warga aborigin Australia.33
Akibat pandangan rasis, yang tak mengenal belas kasih, dan biadab yang dikemukakan Darwin, pembantaian dasyat dimulai dengan tujuan memusnahkan warga aborigin. Kepala orang-orang aborigin dipasang menggunakan paku di atas pintu-pintu stasiun. Roti beracun diberikan kepada para keluarga aborigin. Di banyak wilayah di Australia, areal pemukiman aborigin musnah dengan cara biadab dalam waktu 50 tahun.34
Kebijakan yang ditujukan terhadap aborigin tidak berakhir dengan pembantaian. Banyak dari ras ini yang diperlakukan layaknya hewan percobaan. The Smithsonian Institute di Washington D.C. menyimpan 15.000 sisa mayat manusia dari berbagai ras. Sejumlah 10.000 warga aborigin Australia dikirim melalui kapal ke Musium Inggris dengan tujuan untuk mengetahui apakah benar mereka adalah “mata rantai yang hilang” dalam peralihan bentuk binatang ke bentuk manusia.
Musium tidak hanya tertarik dengan tulang-belulang, pada saat yang sama mereka menyimpan otak orang-orang aborigin dan menjualnya dengan harga mahal. Terdapat pula bukti bahwa warga aborigin Australia dibunuh untuk digunakan sebagai bahan percobaan. Kenyataan sebagaimana dipaparkan di bawah ini adalah saksi kekejaman tersebut:
Sebuah catatan akhir hayat dari Korah Wills, yang menjadi mayor Bowen, Queensland pada tahun 1866, secara jelas menggambarkan bagaimana ia membunuh dan memotong-motong tubuh seorang anggota suku setempat pada tahun 1865 untuk menyediakan bahan percobaan ilmiah.
Edward Ramsay, kepala Musium Australia di Sydney selama 20 tahun sejak 1874, terlibat secara khusus. Ia menerbitkan sebuah buku saku Musium yang memasukkan aborigin dalam golongan “binatang-binatang Australia”. Buku kecil tersebut itu juga memberikan petunjuk tidak hanya tentang cara bagaimana merampok kuburan, namun juga bagaimana menutup luka akibat peluru pada “spesimen” yang baru terbunuh.
Evolusionis Jerman, Amalie Dietrich (yang dijuluki ‘Angel of Black Death’ atau ‘Malaikat Kematian si Hitam’) datang ke Australia untuk meminta kepada para pemilik areal pertanian sejumlah orang Aborigin untuk ditembak dan digunakan sebagai spesimen, terutama kulitnya untuk diisi dengan bahan tertentu untuk kemudian dipajang, untuk diberikan kepada atasannya di Museumnya. Meskipun barang-barangnya telah dirampas, ia dengan segera balik ke negaranya sambil membawa sejumlah spesimennya.
Misionaris New South wales adalah saksi yang merasa ngeri terhadap pembantaian yang dilakukan oleh polisi berkuda terhadap sekelompok yang beranggotakan lusinan orang aborigin, perempuan dan anak-anak. Empat puluh lima kepala kemudian direbus dan 10 tengkorak terbaiknya dibungkus dan di kirim ke luar negeri. 35
Pemusnahan suku aborigin berlanjut hingga abad ke-20. Di antara cara yang dipergunakan dalam pemusnahan ini adalah pengambilan paksa anak-anak aborigin dari keluarga mereka. Kisah baru oleh Alan Thornhill, yang muncul di Philadelphia Daily News edisi 28 April 1997, mengisahkan perlakuan terhadap suku aborigin sebagai berikut:

KISAH PENCULIKAN KELUARGA ABORIGIN


Associated Press – Warga aborigin yang tinggal di gurun pasir terpencil Australia di sebelah barat laut terbiasa mencorengkan arang pada kulit anak-anak mereka yang berwarna terang, dengan maksud mencegah para petugas kesejahteraan negara membawa mereka pergi. “Para petugas kesejahteraan tersebut menangkap anda begitu saja ketika mereka menemukan anda,” ujar seorang anak yang pernah diculik, bertahun-tahun kemudian. “Warga kami akan menyembunyikan kami dengan mewarnai kami menggunakan arang.”
“Saya dibawa ke Moola Bulla”, ucap salah seorang pekerja yang diculik ketika masih kanak-kanak. “Saat itu kami berusia sekitar 5 atau 6 tahun.” Kisahnya ini adalah satu di antara ribuan yang didengar oleh Australia’s Human Rights And Equal Opportunity Commission (Komisi Hak Asasi Manusia Australia) selama pemeriksaan yang memilukan tentang “generasi yang dicuri”. Dari tahun 1910 hingga 1970-an sekitar 100.000 anak-anak aborigin diambil dari para orang tua mereka... Anak-anak berkulit terang dirampas dan diserahkan kepada keluarga kulit putih untuk dijadikan anak angkat. Anak-anak berkulit gelap ditempatkan di panti asuhan. 36
 Inilah alasan mengapa penemuan manusia

Piltdown membangkit-kan kegembiraaan luar biasa di Inggris. Koran-koran menampilkannya sebagai judul utama, dan kerumunan masyarakat bersuka cita merayakan penemuan tersebut. Pemerintah Inggris bahkan memberi gelar kesatria kepada Arthur Keith untuk penemuannya.
Ahli paleontologi evolusionis terkenal, Don Johanson, menjelaskan kaitan antara manusia Piltdown dan imperialisme Inggris:
Penemuan Piltdown sangat Eurosentris. Tidak hanya otaknya yang memiliki “keunggulan”, tapi bangsa Inggris juga memiliki keunggulan.*
Inspirasi yang didapatkan Inggris dari penemuan manusia Piltdown berlangsung hanya hingga tahun 1953, ketika Kenneth Oakley, ilmuwan yang memeriksa ulang fosil tersebut dengan lebih teliti, mengungkapnya sebagai pemalsuan terbesar abad ke-20. Fosil tersebut dibuat dengan merekatkan rahang orang utan pada tengkorak manusia.
*Don Johnson, In Search of Human Origins, 1994 WHGB Educational Foundation
 
Pertunjukan Manusia dan Kera Tidak Direstui Kalangan Pendeta

Pdt. Dr. MacArthur Menganggap Pertunjukan Tersebut Merendahkan Martabat
“Orang yang bertanggung jawab atas tontonan ini telah merendahkan martabat dirinya sendiri sebagaimana perlakuaannya terhadap orang Afrika tersebut,” kata Dr. MacArthur, “Daripada memperlakukan saudara kecil ini sebagai seekor binatang, ia sepatutnya dimasukkan ke sekolah untuk mengembangkan kemampuan sebagaimana yang telah Tuhan karuniakan kepadanya”.
Dr.Gilbert mengatakan dirinya telah memutuskan bahwa tontonan tersebut merupakan bentuk kebiadaban dan bahwa ia dan para pastur lainnya akan bergabung dengan Dr. MacArthur demi memperjuangkan agar Ota Benga dibebaskan dari kandang kera dan diletakkan di tempat lain.41
Akhir dari segala perlakuan tidak manusiawi ini adalah tindakan bunuh diri Ota Benga. Tetapi di sini, permasalahannya lebih besar dari sekedar hilangnya nyawa seorang manusia. Kejadian ini merupakan contoh nyata dari kekejaman dan kebiadaban yang dimunculkan dalam kehidupan oleh rasisme para pendukung Darwinisme.

KEMULIAAN BERSUMBER DARI AKHLAK, DAN BUKAN DARI RAS ATAU KETURUNAN


Darwin menggambarkan manusia sebagai spesies binatang yang berkembang. Ia juga mengemukakan bahwa sejumlah ras belum menyempurnakan perkembangan mereka, dan sebagai spesies yang lebih dekat kepada binatang. Dalam sejarah umat manusia, semua gagasan ini terbukti sangat berbahaya dan bersifat menghancurkan. Mereka yang telah menjadikan pernyataan Darwin sebagai pedoman hidup mereka telah menindas ras-ras lain tanpa belas kasih, memaksa mereka hidup dalam keadaan yang sangat sulit, dan bahkan memusnakan mereka.
Bryan Appleyard, penulis buku Brave New Worlds, menjelaskan sifat bengis yang mendasari rasisme, beserta akibatnya, sebagaimana berikut:
Intinya adalah bahwa sekali orang menganggap anda sebagai makhluk yang rendah dengan dalih apapun, entah takhayul atau ilmiah, tampaknya tidak ada batas sekejam apa tindakan yang mungkin mereka lakukan terhadap anda. Dan mereka sangat mungkin akan melakukan kekejaman tersebut setelah merasa mendapatkan pembenaran secara penuh, karena ini merupakan tahapan kecil dari meyakini manusia lain sebagai kelas rendah kepada meyakini bahwa ia buruk, berbahaya, atau merupakan ancaman terhadap manusia kelas ‘unggul’. Bahkan, sebagian orang mungkin memberlakukan hal ini secara lebih umum dan menegaskan bahwa semua yang tergolong ‘rendah’ adalah berbahaya karena mengancam kehidupan atau kesehatan seluruh ras manusia. Lalu mereka dapat menganjurkan sterilisasi, pembatasan perkawinan, atau bahkan pembunuhan demi mencegah ancaman dari orang-orang yang tersingkir ini terhadap keutuhan spesies tersebut. 42
Sesungguhnya, semua manusia diciptakan sama. Setiap orang diciptakan oleh Allah (Tuhan). Alquran menjelaskan penciptaan manusia sebagaimana berikut:

Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur! (QS. As Sajdah, 32:7-9)

Sebagaimana diungkap dalam ayat di atas, manusia memiliki ruh yang Allah tiupkan ke dalam diri mereka. Setiap manusia dari ras manapun berpikir, merasakan, mencintai, menderita, merasakan kegembiraan, memahami perasaan cinta, kasih sayang, dan haru. Setiap orang juga mengetahui kekejaman, kehinaan, dan kesusahan. Dengan demikian, sepanjang sejarah, mereka yang memyakini manusia dari ras-ras lain sebagai binatang yang belum sepenuhnya berkembang dan menganiaya mereka; mereka yang menyakiti, menindas, memeras walau hanya satu orang; dan mereka yang mendukung segala tindakan ini dengan bukti dan teori palsu yang mereka buat telah melakukan dosa besar dikarenakan kebodohan mereka.
Di masa kini masih terdapat budaya dari masyarakat manusia yang relatif belum berkembang. Orang-orang ini memiliki seluruh sifat kemanusiaan, akan tetapi mereka tidak memiliki ciri-ciri yang, dipandang dari sisi teknik dan budaya, umumnya berlaku di seluruh dunia. Iklim dan kondisi alam di mana mereka tinggal telah menyebabkan banyak masyarakat hidup terisolasi dari masyarakat dunia pada umumnya, dan mereka telah membangun budaya yang sangat berbeda. Tetapi pada setiap masyarakat ini terdapat semua ciri, adat-istiadat, dan kebiasaan yang secara umum berlaku bagi seluruh umat manusia. Mereka yang memiliki rencana tersembunyi, dan yang diuntungkan dengan adanya rasisme, bersemangat dalam mengimani teori Darwin. Mereka menganggap orang-orang yang terisolasi tersebut, yang sebenarnya tidak berbeda dengan manusia-manusia lainnya, sebagai anggota ras rendah, bahkan sebagai binatang. Akibat berpandangan seperti ini, bahkan di masa kita, muncullah orang-orang yang menindas dan memandang hina manusia serta masyarakat terbelakang dengan berdalih bahwa mereka belum cukup berevolusi.
Akan tetapi Allah benar-benar mengharamkan rasisme. Allah menciptakan setiap manusia dengan warna kulit dan bahasanya yang berbeda-beda. Ini adalah tanda kesempurnaan dan keberagaman ciptaan Allah:

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. (QS. Ar Ruum, 30:22)

Dalam pandangan Allah, satu-satunya keunggulan dan kemuliaan manusia terletak pada sifat, kemampuannya menghindari segala bentuk perbuatan dosa, kedurhakaan, kebejatan dan perilaku menyimpang, dan akhlak mulia yang bersumber pada ketakwaannya. Selain ketakwaan, tak seorang manusiapun dapat memiliki.


KAITAN ERAT ANTARA DARWIN DAN FASISME



Aliansi Berdarah Antara Darwin dan Hitler

N azisme lahir di tengah kekacauan di Jerman yang menderita kekalahan dalam perang dunia pertama. Pemimpin partai ini adalah Adolf Hitler, sosok pemarah dan agresif. Rasisme melandasi cara pandang Hitler terhadap dunia. Ia meyakini Arya, yang merupakan ras utama bangsa Jerman, sebagai ras paling unggul di atas semua ras lain, sehingga sudah sepatutnya memimpin mereka. Ia memimpikan bahwa ras Arya akan mendirikan imperium dunia yang akan bertahan selama 1000 tahun.
Landasan ilmiah yang digunakan Hitler bagi teori rasis ini adalah teori evolusi Darwin. Tokoh utama yang mempengaruhi pemikiran Hitler, yakni sejarawan rasis Jerman Herinrich Von Treitschke, sangat dipengaruhi teori evolusi Darwin dan mendasarkan pandangan rasisnya pada Darwinisme. Ia sering berkata, “Bangsa-bangsa hanya mampu berkembang melalui persaingan sengit sebagaimana gagasan Darwin tentang kelangsungan hidup bagi yang terkuat,” dan memaklumkan bahwa ini berarti peperangan tanpa henti yang tak terhindarkan. Ia berpandangan bahwa, “Penaklukan dengan pedang adalah cara untuk membangun peradaban dari kebiadaban dan ilmu pengetahuan dari kebodohan.” Ia berpendapat, “Ras-ras kuning tidak memahami ketrampilan seni dan kebebasan politik. Sudah menjadi takdir ras-ras hitam untuk melayani bangsa kulit putih dan menjadi sasaran kebencian orang kulit putih untuk selamanya...”43
Saat membangun teorinya, Hitler, sebagaimana Treitschke, mendapatkan ilham dari Darwin, terutama gagasan Darwin tentang perjuangan untuk bertahan hidup. Judul bukunya yang terkenal, yakni Mein Kampf (Perjuangan Saya), telah terilhami oleh gagasan tersebut. Seperti halnya Darwin, Hitler memberikan status kera pada ras selain Eropa, dan mengatakan, “Singkirkan bangsa Jerman Nordik dan tidak ada yang tersisa kecuali tarian para kera”.44
   Dalam rapat umum partai pada tahun 1933 di Nuremberg, Hitler mengatakan bahwa, “ras yang lebih tinggi menjajah ras yang lebih rendah…sebuah kebenaran yang kita saksikan di alam dan yang dapat dianggap sebagai satu-satunya kebenaran yang mungkin,” karena didasarkan pada ilmu pengetahuan.45
Hitler, yang meyakini keunggulan ras Arya, mempercayai keunggulan tersebut sebagai pemberian alam. Dalam buku Mein Kampf ia menulis sebagai berikut:
Orang-orang Yahudi membentuk ras pesaing lebih rendah di bawah manusia, yang telah ditakdirkan oleh warisan biologis mereka sebagai yang terhina, sebagaimana ras Nordik telah dinobatkan sebagai yang terhormat… Sejarah akan berpuncak pada sebuah imperium milenium baru dengan kemegahan yang tiada tara, yang berlandaskan pada hirarki baru berdasarkan ras sebagaimana ketentuan alam itu sendiri.46
Hitler, yang menganggap manusia sebagai jenis binatang yang sangat maju, percaya bahwa untuk mengatur proses evolusi, diperlukan pengambil-alihan kendali proses tersebut ke tangannya sendiri dalam rangka membangun ras manusia Arya, daripada membiarkannya diatur oleh kekuatan alam dan peristiwa kebetulan. Dan inilah tujuan akhir pergerakan Nazi. Untuk mewujudkan tujuan ini, langkah awalnya adalah memisahkan, dan mengucilkan ras-ras lebih rendah dari ras Arya yang dianggap paling unggul.
Di sinilah Nazi mulai menerapkan Darwinisme dengan mengambil contoh dari “teori eugenika” yang bersumber pada Darwinisme.


Teori Eugenika Didasarkan pada Gagasan Darwin

Teori eugenika muncul di pertengahan awal abad ke-20. Eugenika berarti membuang orang-orang berpenyakit dan cacat, serta “memperbaiki” ras manusia dengan memperbanyak jumlah individu sehat. Sebagaimana hewan jenis unggul dapat dibiakkan dengan mengawinkan induk-induk hewan yang sehat, maka berdasarkan teori ini ras manusia pun dapat diperbaiki melalui cara yang sama.
Seperti telah diduga, yang memunculkan program eugenika adalah para Darwinis. Para pemuka pergerakan eugenika di Inggris adalah sepupu Charles Darwin, Francis Galton, dan anaknya Leonard Darwin.
Telah jelas bahwa gagasan eugenika merupakan akibat alamiah Darwinisme. Bahkan, kebenaran tentang eugenika ini mendapatkan tempat istimewa dalam berbagai penerbitan yang mendukung eugenika, “Eugenika adalah pengaturan mandiri evolusi manusia”, bunyi salah satu tulisan tersebut.
Kenneth Ludmerer, ahli sejarah kedokteran di Washington University, mengemukakan bahwa gagasan eugenika seusia dengan gagasan Republik Plato, tapi ia juga menambahkan bahwa Darwinisme merupakan penyebab munculnya ketertarikan terhadap gagasan eugenika di abad ke-19:
…pemikiran eugenika modern muncul hanya pada abad ke-19. Adanya ketertarikan terhadap eugenika selama abad itu disebabkan oleh banyak hal. Di antara yang terpenting adalah teori evolusi, sebab gagasan Francis Galton tentang eugenika – dan dialah yang menciptakan istilah eugenika – adalah akibat logis langsung dari doktrin ilmiah yang dikemukakan sepupunya, Charles Darwin.47
Di Jerman, orang pertama yang terpengaruh dan kemudian menyebarkan teori eugenika adalah ahli biologi evolusionis terkenal Ernst Haeckel. Haeckel adalah teman dekat sekaligus pendukung Darwin. Untuk mendukung teori evolusi, ia mengemukakan teori “rekapitulasi”, yang menyatakan bahwa embrio dari berbagai makhluk hidup menyerupai satu sama lain. Di kemudian hari diketahui ternyata Haeckel telah memalsukan data ketika memunculkan pendapatnya ini.
Selain membuat pemalsuan ilmiah, Haeckel juga menyebarkan propaganda eugenika. Ia menyarankan agar bayi cacat yang baru lahir segera dibunuh karena hal ini akan mempercepat evolusi pada masyarakat manusia. Ia bahkan melangkah lebih jauh dengan mengatakan para penderita lepra dan kanker serta yang berpenyakit mental harus dibunuh dengan tanpa ada masalah, sebab jika tidak, mereka akan membebani masyarakat dan memperlambat evolusi.
Peneliti Amerika George Stein berkesimpulan tentang dukungan buta Haeckel terhadap teori evolusi dalam artikelnya di majalah American Scientist sebagai berikut:
…[Haeckel] berpendapat bahwa Darwin benar…manusia, tanpa perlu dipertanyakan lagi, berevolusi dari dunia hewan. Demikianlah, dari sini langkah maut telah diambil saat Haeckel pertama kali mengemukakan Darwinisme ke seluruh penjuru Jerman, keberadaan manusia secara sosial dan politik dikendalikan oleh hukum-hukum evolusi, seleksi alam, dan biologi, sebagaimana dikemukakan secara jelas oleh Darwin. Untuk berpendapat sebaliknya adalah pandangan takhayyul yang ketinggalan zaman.48


DARWINISME: SUMBER KEKEJAMAN KOMUNIS



A bad yang baru saja kita tinggalkan dipenuhi dengan berbagai tindak kekerasan dan kebiadaban. Tidak diragukan lagi, ideologi pembawa bencana terbesar bagi umat manusia di abad tersebut adalah Komunisme, paham yang paling tersebar luas di seluruh dunia. Komunisme, yang mencapai puncak sejarahnya melalui dua tokoh filsuf Jerman, Karl Mark dan Friedrich Engels pada abad ke-19, telah begitu banyak menumpahkan darah di berbagai belahan bumi, melebihi apa yang dilakukan oleh kaum Nazi dan para penjajah. Paham ini telah merenggut nyawa orang-orang yang tidak berdosa, memunculkan gelombang kekerasan, dan menebarkan rasa ketakutan serta putus asa di kalangan umat manusia. Bahkan kini, ketika orang menyebut-nyebut negara Tirai Besi dan Rusia, segera muncul gambaran tentang masyarakat yang terselimuti kegelapan, kabut, rasa putus asa, beragam persoalan, dan ketakutan; serta jalanan yang tidak menampakkan tanda-tanda kehidupan. Tidak menjadi soal, seberapa dahsyat Komunisme dianggap telah hancur di tahun 1991, puing-puing yang ditinggalkannya masih tetap ada. Tak peduli, meskipun orang-orang Komunis dan Marxis yang “tak pernah jera” tersebut telah menjadi “liberal”, filsafat materialis, yang merupakan sisi gelap Komunisme dan Maxisme, dan yang memalingkan manusia dari agama dan nilai-nilai akhlak, masih tetap berpengaruh pada mereka.
Ideologi yang menebarkan ketakutan ke seluruh penjuru dunia ini sebenarnya mewakili pemikiran yang telah ada sejak zaman dahulu kala. Dialektika meyakini bahwa seluruh perkembangan di jagat raya terjadi akibat adanya konflik. Berdasarkan kepercayaan ini, Marx dan Engels melakukan pengkajian terhadap sejarah dunia. Marx menyatakan bahwa sejarah manusia adalah berupa konflik, dan konflik yang ada sekarang adalah antara kaum buruh dan kaum kapitalis. Para buruh ini akan segera bangkit dan memunculkan revolusi Komunis.
Sebagaimana orang-orang materialis, kedua pendiri komunisme ini memendam kebencian yang mendalam terhadap agama. Marx dan Engels, keduanya adalah atheis tulen yang memandang perlunya menghapuskan keyakinan terhadap agama dilihat dari sudut pandang Komunisme.
Tetapi, ada satu hal yang belum dimiliki Marx dan Engels: agar dapat menarik pengikut di kalangan masyarakat secara lebih luas, mereka perlu membungkus ideologi mereka dengan penampakan ilmiah. Inilah awal dari terbentuknya ideologi gabungan berbahaya yang kemudian memunculkan penderitaan, kekacauan, pembunuhan masal, pertikaian sesama saudara, dan perpecahan di abad ke-20. Darwin mengemukakan teorinya tentang evolusi dalam bukunya The Origin of Species. Dan sungguh menarik bahwa pernyataan utama yang ia kemukakan adalah penjelasan yang sedang dicari-cari oleh Marx dan Engels. Darwin menyatakan bahwa makhluk hidup muncul menjadi ada sebagai hasil dari “perjuangan untuk mempertahankan hidup” atau “konflik dialektika”. Lebih dari itu, ia mengingkari penciptaan dan menolak keyakinan terhadap agama. Bagi Marx dan Engels hal ini merupakan kesempatan yang tidak boleh disia-siakan.




Kekaguman Marx dan Engels terhadap Darwin

Sedemikian pentingnya Darwinisme bagi komunisme sehingga hanya beberapa bulan setelah buku Darwin terbit, Engels menulis kepada Marx, “Darwin, yang (bukunya) kini sedang saya baca, sungguh mengagumkan.”78
Marx menjawab tulisan Engels pada tanggal 19 Desember 1860, dengan mengatakan, “Ini adalah buku yang berisi dasar berpijak pada sejarah alam bagi pandangan kita.”79


Kekaguman Pengikut Marx dan Engels terhadap Darwin

Para pengikut Marx dan Engels, yang bertanggung jawab atas kematian jutaan orang dan ratusan juta lainnya yang hidup dalam penderitaan, ketakutan, dan kekerasan, menyambut hangat teori evolusi dengan penuh kegembiraan.
John N. Moore berbicara mengenai kaitan antara evolusi dan para pemimpin Uni Soviet yang menerapkan gagasan Marx dan Engels di Rusia:
Pemikiran para pemimpin Uni Soviet berakar kuat pada cara pandang evolusi.88
Adalah Lenin yang menjadikan proyek revolusi Komunis Marx sebagai kenyataan. Lenin, pemimpin pergerakan Bolshevik Komunis di Rusia, bertujuan menjatuhkan rezim Tsar di Rusia dengan kekuatan bersenjata. Kekacauan pasca Perang Dunia I memberi kesempatan yang selama ini dinanti-nantikan kaum Bolshevik. Di bawah pimpinan Lenin, kaum Komunis merebut kekuasaan melalui perjuangan bersenjata dalam bulan Oktober 1917. Menyusul revolusi ini, Rusia menjadi ajang perang sipil berdarah selama 3 tahun antara pihak Komunis melawan para pendukung Tsar.
Seperti para pemimpin Komunis lainnya, Lenin seringkali menegaskan bahwa teori Darwin merupakan landasan berpijak yang sangat penting bagi filsafat materialis dialektika.
Salah satu pernyataannya mengungkap pandangannya tentang Darwinisme:
Darwin mengakhiri keyakinan bahwa spesies binatang dan tumbuhan tidak berkaitan satu sama lain, kecuali secara kebetulan, dan bahwa mereka diciptakan oleh Tuhan, dan karenanya tidak mengalami perubahan.89
Trotsky, yang dianggap tokoh paling penting dalam revolusi Bolshevik setelah Lenin, kembali menekankan pentingnya Darwinisme. Ia menyatakan kekagumannya atas Darwin sebagaimana berikut:
Penemuan Darwin adalah kemenangan terbesar dialektika di segala bidang kehidupan.90
Menyusul kematian Lenin di tahun 1924, Stalin, yang dikenal luas sebagai diktator paling berdarah sepanjang sejarah dunia, menggantikannya menduduki jabatan pemimpin Partai Komunis. Selama 30 tahun masa pemerintahannya, apa yang dilakukan Stalin hanyalah pembuktian atas kekejaman sistem Komunisme.
Kebijakan penting Stalin yang pertama adalah mengambil alih lahan-lahan milik petani yang berjumlah 80% dari keseluruhan penduduk Rusia atas nama negara. Atas nama kebijakan pengambilalihan dan pengumpulan tanah ini, yang ditujukan untuk menghilangkan kepemilikan pribadi, semua hasil panen para petani Rusia dikumpulkan oleh aparat bersenjata. Akibat yang ditimbulkan adalah bencana kelaparan yang mengenaskan. Jutaan wanita, anak-anak dan orang tua yang tidak mampu mendapatkan apapun untuk dimakan, terpaksa menggeliat kelaparan hingga meninggal. Korban meninggal di Kaukasus saja mencapai 1 juta jiwa.
Stalin mengirim ratusan ribu orang yang mencoba melawan kebijakan ini ke kamp-kamp kerja paksa Siberia yang mengerikan. Kamp-kamp ini, di mana para tahanan dipekerjakan hingga mati, menjadi kuburan bagi kebanyakan mereka. Selain itu, puluhan ribu orang dibunuh oleh polisi rahasia Stalin. Jutaan orang dipaksa mengungsi ke daerah-daerah terpencil di Rusia, termasuk warga Krimea dan Turki Turkestan.


Sang Darwinis Mao Tse Tung dan
Pembantaian yang Dilakukannya

Pemimpin Komunis Cina, Mao, memiliki dua orang panutan: Darwin dan Stalin. Kedua nama ini, yang menyatu dalam kepribadian Mao, telah menyebabkan bencana besar dan meninggalkan jejak mereka pada masa kegelapan yang cukup lama dalam sejarah Cina. Sekitar 6 hingga10 juta orang dibunuh secara langsung di bawah arahan Mao Tse Tung. Puluhan juta para penentang revolusi menghabiskan sebagian besar masa hidup mereka di penjara, di mana 20 juta di antaranya meninggal. Antara 20 dan 40 juta orang meninggal karena kelaparan pada tahun 1959-1961, dalam masa yang dinamakan “Lompatan Besar ke Depan,” akibat kebijakan kejam Mao. Pembantaian di lapangan Tianamen pada bulan Juni 1989 (yang menewaskan sekitar 1.000 orang) memberikan satu gambaran tentang apa yang dialami Cina dalam sejarah masa kininya. Pembunuhan dan pembersihan etnis terhadap penduduk Turki Mus lim di Turkistan Timur masih terus berlangsung.
Kebiadaban dahsyat dan hal-hal yang suilt dipercaya terjadi ketika revolusi Komunis berlangsung di Cina. Rakyatnya, yang berada dalam pengaruh hipnotisme massal, mendukung segala jenis pembantaian dan menunjukkan dukungan mereka dengan berteriak-teriak saat menyaksikan pembunuhan. Buku Le Livre Noir du Communisme (Buku Hitam Komunisme), yang disusun oleh sekelompok sejarawan dan pengajar, menjelaskan tindakan biadab Komunisme sebagai berikut:
Seluruh warga diundang untuk menghadiri pengadilan terbuka terhadap “orang-orang yang menentang revolusi,” yang hampir dipastikan akan dihukum mati. Setiap orang turut serta menghadiri hukuman mati tersebut, dan berteriak “bunuh, bunuh” kepada Pasukan Penjaga Merah yang tugasnya memotong-motong tubuh korban. Kadang potongan-potongan ini dimasak dan dimakan, atau secara paksa diberikan untuk dimakan oleh anggota keluarga korban yang masih hidup dan yang menyaksikan peristiwa tersebut. Setiap orang kemudian diundang dalam sebuah perjamuan, di mana hati dan jantung dari para bekas pemilik tanah dimakan secara bersama-sama, dan ke pertemuan di mana para pembicaranya akan beridato di hadapan barisan potongan kepala yang masih tertancap segar di atas tiang-tiang. Kesenangan pada kanibalisme kejam ini, yang di kemudian hari menjadi sesuatu yang lazim di bawah rezim Pol Pot, seolah menghidupkan kembali sosok pemimpin dari Asia Tenggara yang hidup di masa silam yang seringkali muncul di saat-saat terjadinya malapetaka dalam sejarah Cina.115 

Kesimpulan: Komunisme adalah Kebiadaban
akibat Berpaling dari Agama

Siapapun yang mencermati pembantaian, pembunuhan, dan penderitaan yang sengaja ditimpakan terhadap manusia oleh orang-orang Komunis, Nazi, atau Kolonialis, akan bertanya-tanya bagaimana para pendukung berbagai paham ini dapat menjauhkan diri mereka sendiri dari sifat-sifat yang umumnya ada dalam diri manusia. Alasan satu-satunya dari kebiadaban dan penindasan yang dilakukan oleh para pemimpin ini adalah hilangnya agama dalam diri mereka dan ketiadaan rasa takut kepada Tuhan. Manusia yang takut kepada Tuhan dan memiliki keimanan yang mantap kepada hari akhir, sudah pasti tidak akan mampu melakukan segala bentuk penindasan, kejahatan, ketidakadilan, dan pembunuhan sebagaimana yang telah kami paparkan. Selain itu, betapapun ia dipengaruhi, seseorang yang beriman kepada Tuhan dan hari akhir tidak akan pernah terseret untuk mengikuti ideologi yang sedemikian menyesatkan.
Namun orang yang tidak beragama dan tidak memiliki rasa takut kepada Tuhan tidak mengenal batas apapun. Seseorang yang meyakini bahwa ia dan makhluk hidup lainnya berevolusi secara kebetulan dari materi tak hidup, yang percaya bahwa nenek moyangnya adalah binatang, dan yang menerima bahwa tiada sesuatu pun selain materi, dapat dengan mudah dipengaruhi untuk melakukan segala bentuk kekejaman. Pada pandangan pertama, orang-orang ini mungkin tampak tidak akan menyakiti siapapun. Namun, pada keadaan tertentu mereka dapat berubah menjadi seorang jagal yang melakukan pembantaian. Mereka mampu menjelma menjadi sosok pembunuh yang memukul atau menjadikan orang-orang kelaparan hanya karena tidak mau mengikuti paham mereka. Mereka dapat berubah menjadi orang-orang yang dipenuhi rasa kebencian, muak, dan permusuhan. Ini dikarenakan cara pandang mereka terhadap dunia mengharuskan hal yang demikian ini terjadi.
Pada tahun 1983, Alexander I. Solzhenitsyn, pemenang hadiah Nobel tahun 1970 untuk bidang literatur, memberikan pidato di London di mana ia berusaha menjelaskan mengapa banyak sekali malapetaka buruk yang telah menimpa rakyatnya:
Lebih dari setengah abad yang lalu, ketika saya masih kecil, saya teringat saat mendengarkan sejumlah orang-orang tua memberikan penjelasan berikut ini atas bencana dahsyat yang menimpa Rusia: “Manusia telah melupakan Tuhan; itulah mengapa semua ini terjadi.”
Sejak saat itu saya menghabiskan hampir 50 tahun untuk menulis tentang sejarah revolusi kami; dalam proses tersebut saya telah membaca ratusan buku, mengumpukan ratusan kesaksian dari orang-orang, dan telah menyumbangkan delapan jilid karya saya dalam upaya membersihkan puing-puing reruntuhan yang tertinggal akibat petaka tersebut. Tapi, jika sekarang saya diminta untuk mengatakan seringkas mungkin penyebab utama revolusi yang menghancurkan tersebut, yang menelan sekitar 60 juta rakyat kami, saya tidak mampu mengungkapkannya dengan lebih tepat kecuali mengulang perkataan: “Manusia telah melupakan Tuhan; itulah mengapa semua ini terjadi.”118
Kesimpulan Solzhenitsyn di atas benar-benar sungguh tepat. Sungguh, satu-satunya hal yang mampu menenggelamkan masyarakat ke jurang kebiadaban sedalam itu, yang menjadikan mereka berpaling dari berbagai bentuk penindasan dan tidak mau berbuat apa-apa, adalah berpalingnya mereka dari Tuhan. Sementara Tuhan tidak pernah lupa dan tidak pernah berbuat salah. Para pemimpin Komunis yang bengis tersebut menyangka bahwa mereka telah membangun sistem mereka sendiri untuk mengatur masyarakat dunia. Mereka beranggapan bahwa mereka memiliki kekuasaan dan kekuatan yang luar biasa. Mereka bahkan mengadakan berbagai pertemuan rahasia, di mana meraka berbisik satu sama lain tentang kebiadaban berikutnya yang akan mereka lakukan terhadap rakyat guna memperbesar kekuasaan dan kekuatan mereka. Namun ketika mereka melakukan semua ini, Tuhan mengetahuinya, dan Dia akan memberikan balasan terhadap apa yang telah mereka perbuat. Dia menyatakan hal ini dalam Alquran:

Pada hari ketika mereka dibangkitkan Allah semuanya, lalu diberitakan-Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya.Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. Tidakkan kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya.Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di manapun mereka berada.Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al Mujaadilah, 58:6-7)

Kemudian terdapat golongan orang-orang yang mengikuti para pemimpin kejam ini, yang menjilat dibelakang mereka. Keadaan mereka ini dinyatakan dalam Alquran dalam ayat

“Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri. (QS.Yuunus, 10:44).

Dengan kata lain, orang-orang ini menzalimi dirinya sendiri dengan melalaikan ajaran Allah dan mengikuti pemimpin-pemimpin Darwinis. Di ayat Alquran lainnya dinyatakan bahwa manusia sendirilah yang sebenarnya memunculkan bencana kejahatan dan kerusakan yang terjadi di dunia:

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar-Ruum, 30:41)

Satu-satunya cara guna mencegah bencana ini agar tidak terulang lagi adalah agar manusia menjalani hidup dengan beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, dan tanpa melupakan bahwa mereka akan mempertanggungjawabkan segala yang telah mereka perbuat. Dan agar manusia hidup di bawah cahaya Alquran, yang Allah turunkan untuk seluruh manusia agar mereka menjadi manusia yang memiliki akhlak mulia seperti cinta, kasih sayang, kedermawanan, dan kesetiaan, sebagaimana diperintahkan dalam Alquran.
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl, 16:97)

KAPITALISME DAN PERJUANGAN UNTUK MEMPERTAHANKAN HIDUP DI
BIDANG EKONOMI


İ stilah kapitalisme berarti kedaulatan kapital atau modal, yakni sistem ekonomi bebas tanpa batas yang didasarkan secara penuh pada keuntungan, di mana masyarakat bersaing atau berkompetisi dalam batasan-batasan ini. Terdapat tiga unsur penting dalam kapitalisme: individualisme, persaingan (kompetisi) dan perolehan keuntungan. Individualisme penting dalam kapitalisme sebab manusia melihat diri mereka sendiri bukan sebagai bagian dari masyarakat, tetapi sebagai “individu-individu” yang berdiri sendiri di atas kedua kakinya dan harus memenuhi kebutuhan pribadi dengan kerja kerasnya sendiri. “Masyarakat kapitalis” adalah arena dimana para individu bersaing satu sama lain dalam lingkungan yang keras dan tanpa belas kasih. Ini adalah arena yang persis sebagaimana penjelasan Darwin, yang menempatkan hanya yang kuat yang tetap hidup, sedangkan kaum lemah dan tak berdaya akan terinjak-injak dan tersingkirkan; ini juga tempat di mana kompetisi sengit merajalela.
Menurut pola pikir yang dijadikan dasar berpijak kapitalisme, setiap individu – dan ini dapat berupa perorangan, sebuah perusahaan atau suatu bangsa – harus berjuang demi kemajuan dan kepentingannya sendiri. Hal terpenting dalam peperangan ini adalah produksi. Produsen terbaik akan bertahan hidup, sedangkan yang lemah dan tidak cakap akan tersingkir dan lenyap. Beginilah sosok sistem kapitalisme, yang telah melupakan kenyataan bahwa yang tersingkirkan dalam peperangan sengit ini, yang terinjak-injak dan jatuh miskin adalah “manusia”. Yang menjadi pusat perhatian kapitalisme bukanlah manusia, akan tetapi pertumbuhan ekonomi, dan barang, yakni hasil dari pertumbuhan ekonomi ini. Karena alasan tersebut, pola pikir kapitalis tidak lagi merasakan tanggung jawab etis atau memiliki hati nurani terhadap orang-orang yang terinjak di bawah kakinya, yang harus mengalami berbagai kesulitan hidup. Ini adalah Darwinisme yang diterapkan secara menyeluruh pada masyarakat di bidang ekonomi
Dengan menyatakan perlunya mendorong kompetisi di berbagai bidang kehidupan, dan memaklumkan tidak perlunya menyediakan kesempatan atau bantuan bagi golongan masyarakat lemah dalam hal apapun, baik di bidang kesehatan hingga ekonomi, para perumus Darwinisme Sosial terkemuka telah memberikan dukungan “filosofis” dan “ilmiah” bagi kapitalisme. Misalnya, menurut Tille, sosok terkemuka yang mewakili mentalitas kapitalis-Darwinis, adalah kesalahan besar untuk mencegah kemiskinan dengan cara membantu “kelompok-kelompok yang tersingkirkan”, sebab ini berarti turut mencampuri seleksi alam yang mendorong terjadinya evolusi.119
Dalam pandangan Herbert Spencer, perumus utama teori Darwiniwme Sosial, yang memasukkan ajaran pokok Darwinisme ke dalam kehidupan masyarakat, jika seseorang miskin maka ini adalah kesalahannya sendiri; orang lain tidak sepatutnya menolong agar ia bangkit. Jika seseorang kaya, bahkan jika ia mendapatkan kekayaannya melalui cara yang tidak bermoral, maka ini adalah berkat kecakapannya. Oleh karena itu, orang kaya akan bertahan hidup, sedangkan yang miskin akan lenyap. Ini adalah pemandangan yang telah berlaku hampir secara menyeluruh pada masyarakat sekarang dan gambaran ringkas tentang moralitas kapitalis-Darwinis.
Spencer, yang mendukung moralitas ini, menyelesaikan karyanya Social Statistics pada tahun 1850, dan menolak segala bentuk bantuan bagi masyarakat yang diusulkan oleh negara, seperti program pencegahan untuk melindungi kesehatan, sekolah-sekolah negeri, dan vaksinasi wajib. Sebab menurut Darwinisme Sosial, tatanan kemasyarakatan terbangun berdasarkan keberlangsungan hidup bagi yang kuat. Pemberdayaan masyarakat lemah yang menjadikan mereka mampu bertahan hidup adalah pelanggaran terhadap asas ini. Si kaya adalah kaya karena mereka lebih layak hidup; sebagian bangsa menjajah sebagian yang lain dikarenakan pihak penjajah lebih unggul dari pihak terjajah, manusia dengan ras-ras tertentu menjadi bawahan dari ras-ras lain karena tingkat kecerdasannya yang lebih tinggi. Spencer menerapkan doktrin ini dengan sungguh-sungguh pada masyarakat manusia, “Jika mereka benar-benar layak untuk hidup, mereka akan hidup, dan memang sebaiknya mereka harus hidup. Jika mereka benar-benar tidak layak untuk hidup, mereka akan mati, dan adalah yang terbaik jika mereka harus mati”120
Graham Sumner, Professor Ilmu Politik dan Sosial di Universitas Yale, adalah juru bicara Darwinisme Sosial di Amerika. Dalam salah satu tulisannya, ia merangkum pandangannya tentang masyarakat manusia sebagai berikut:
...jika kita mengangkat seseorang ke atas kita harus memiliki tumpuan, yakni titik reaksi. Dalam masyarakat ini berarti bahwa untuk mengangkat seseorang ke atas maka kita harus mendorong seseorang yang lain ke bawah.121
Richard Milner, editor senior pada Majalah Natural History terbitan American Museum of Natural History, New York, menulis:
Salah satu juru bicara terkemuka Darwinisme Sosial, William Graham Sumner dari Princeton, berpandangan bahwa kaum jutawan adalah individu-individu ‘paling cakap’ dalam masyarakat dan berhak mendapatkan perlakuan istimewa. Mereka “secara alamiah telah terseleksi di arena kompetisi”122
Sebagaimana telah kita ketahui dari pernyataan ini, para pendukung Darwinisme Sosial menggunakan teori evolusi Darwin sebagai pernyataan “ilmiah” bagi masyarakat kapitalis. Akibat dari hal ini, masyarakat telah kehilangan akhlak mulia yang diajarkan agama seperti saling membantu, kedermawanan, dan kerjasama. Sebaliknya, ajaran ini telah tergantikan oleh sifat mementingkan diri sendiri, kikir dan oportunisme. Menurut salah seorang perumus teori Darwinisme Sosial terkemuka, Profesor E.A. Ross asal Amerika, “Bantuan kemanusiaan yang dikelola kaum Kristiani sebagai sarana amal kebajikan telah memunculkan tempat berlindung di mana orang-orang dungu tumbuh dan berkembang biak.” Lagi menurut Ross, “Negara mengumpulkan orang bisu dan tuli di tempat-tempat penampungannya, dan ras manusia bisu dan tuli sedang dalam proses pembentukan.” Ross menolak semua ini karena dianggap mencegah kemajuan proses evolusi di alam dan berkata, “Jalan paling pintas untuk menjadikan dunia ini surga adalah dengan membiarkan mereka yang tergesa-gesa cenderung ingin ke neraka berjalan dalam langkah mereka sendiri.”123
Sebagaimana telah kita pahami, Darwinisme telah membangun dasar filosofis bagi semua sistem ekonomi kapitalis di dunia dan sistem politik yang terwarnai oleh sistem ekonomi ini.
Inilah alasan mengapa para pendukung utama Darwinisme Sosial adalah para pemilik modal. Kemenangan pihak kuat dengan menginjak-injak golongan lemah dan penerapan kebijakan ekonomi yang sangat jauh dari rasa kasih sayang, saling membantu dan mencintai tidak lagi menjadi perbuatan yang terkutuk. Sebab perilaku seperti ini dianggap sejalan dengan “penjelasan ilmiah” dan “hukum alam”.
Menurut Richard Hofstadter, penulis buku Social Darwinism in American Thought, yang juga seorang pengusaha besar kereta api di abad ke-19 Chauncey Depew mengatakan bahwa kalangan yang meraih ketenaran, keberuntungan dan kekuasaan di kota New York mewakili prinsip kelangsungan hidup bagi yang terkuat, melalui keahlian unggul mereka, kemampuan berpikir ke depan dan kemampuan beradaptasi.”124 Raja perkeretaapian yang lain, James J. Hill, mengatakan bahwa “keberuntungan perusahaan-perusahaan kereta api ditentukan oleh hukum kelangsungan hidup bagi yang terkuat”125
Dalam biografinya, Andrew Carnegie, pemilik modal terkemuka lainnya di Amerika, menyatakan keyakinannya terhadap evolusi dengan mengatakan, “Saya telah menemukan kebenaran evolusi.”126 Di bagian lain ia menuliskan perkataan berikut ini:
(Hukum kompetisi) itu berlaku di sini; kita tidak dapat menghindarinya; teori yang dapat menggantikannya belum ditemukan; dan kendatipun hukum ini mungkin terkadang terasa berat bagi individu, namun ini yang terbaik bagi ras, sebab hal ini menjamin kelangsungan hidup bagi yang paling kuat di segala bidang (kehidupan). 127 
Dalam artikelnya Darwin’s Three Mistakes, ilmuwan evolusionis Kenneth J. Hsü, mengungkap pemikiran Darwinis kaum kapitalis Amerika terkemuka:
Darwinisme juga dijadikan pembenaran bagi individualisme kompetitif dan dampak alamiahnya di bidang ekonomi berupa kapitalisme bebas di Inggris dan di Amerika. Andrew Carnegie menulis bahwa “hukum kompetisi, secara sehat ataupun tidak, berlangsung dalam kehidupan ini; dan kita tidak dapat menghindarkannya”. Rockefeller melangkah lebih jauh ketika menyatakan bahwa “pertumbuhan bisnis besar hanyalah keberlangsungan hidup bagi yang terkuat; ini sekedar cara kerja hukum alam.”128
Sungguh sangat menarik, di Amerika, lembaga-lembaga seperti Rockefeller Foundation dan the Carnegie Institution, yang didanai oleh kerajaan kapitalis seperti Rockefeller dan Carnegie, memberikan bantuan dana cukup besar untuk penelitian di bidang evolusi.
Sebagaimana telah dipahami dari uraian di atas, kapitalisme telah menyeret manusia untuk menyembah hanya uang dan kekuatan yang bersumber dari uang. Dengan sama sekali tidak mengindahkan nilai agama dan etika, masyarakat yang terpengaruh pemikiran evolusi akan lebih mengutamakan materi, dan menjadi semakin jauh dari perasaan seperti cinta, kasih sayang dan pengorbanan.
Akhlak kapitalis ini telah merajalela hampir di seluruh lapisan masyarakat sekarang. Akibatnya, kaum miskin, lemah dan tak berdaya tidak mendapatkan bantuan, perhatian ataupun perlindungan. Bahkan jika mereka menderita penyakit parah dan mematikan, mereka tidak mampu mendapatkan seseorang yang bersedia membantu mengobati mereka. Kaum papa terlantar begitu saja hingga sakit dan meninggal. Di banyak negara, seringkali dijumpai ketidakadilan dan perilaku tidak manusiawi seperti anak-anak di bawah umur yang dipaksa bekerja dan diterlantarkan tanpa mendapatkan hak mereka secara wajar.
Kini, alasan mengapa negara-negara seperti Etiopia menderita bencana kekeringan dan kelaparan adalah merajalelanya moral kapitalis ini. Kendatipun bantuan dan dukungan dari banyak negara sebenarnya mampu menyelamatkan penduduk yang kelaparan ini, mereka tetap saja dibiarkan kelaparan dan miskin begitu saja.
Ciri masyarakat kapitalis lainnya adalah tersebarnya kekayaan dengan tidak adil dan merata. Dalam masyarakat seperti ini, perbedaan antara si kaya dan si miskin semakin hari semakin melebar. Ketika si miskin semakin miskin, harta kekayaan si kaya semakin bertambah. Munculnya jutaan tuna wisma yang hidup terlantar dan sangat memprihatinkan, bahkan di Amerika yang merupakan negara paling maju di dunia, merupakan akibat dari moralitas kapitalis. Sudah pasti masyarakat Amerika cukup kaya untuk memberi bantuan dan perlindungan kepada semua orang ini, termasuk memberi mereka pekerjaan. Tetapi karena mentalitas yang berlaku bukanlah memberi kesempatan kaum miskin untuk bangkit, tapi untuk tumbuh berkembang dengan menginjak si miskin, maka jalan keluar tidak diberikan bagi kaum miskin ini. Inilah hasil penerapan ajaran Darwinisme Sosial yang menyatakan bahwa “Untuk tumbuh berkembang, diperlukan suatu batu loncatan bagi seseorang untuk berpijak”.

KEHANCURAN MORAL AKIBAT DARWINISME


T idak diragukan lagi, bencana terbesar yang diakibatkan Darwinisme terhadap umat manusia adalah pemalingan manusia dari agama. Kehancuran moral dan spiritual yang dasyat berlangsung dengan cepat pada masyarakat yang jauh dari agama. Contoh seperti ini banyak dijumpai dalam masyarakat sekarang.
Sejumlah orang berkata bahwa Darwinisme tidak dapat dipersalahkan bagi jauhnya masyarakat dari agama. Sebab, sebagian besar mereka yang tidak menjalankan agama belum pernah mendengar tentang paham Darwinisme. Kalimat kedua dari pernyataan ini adalah benar adanya. Saat ini, mereka yang mendukung Darwinisme dengan pemahaman yang baik berjumlah sangat sedikit. Tapi perlu diingat, mereka yang sedikit inilah yang mengarahkan dan mengendalikan pola pikir masyarakat di sebagian besar bidang kehidupan. Pengaruh yang mereka bangun terhadap masyarakat mencapai jumlah yang tak terhitung. Mereka mampu menancapkan pola pikir mereka pada sebagian besar masyarakat. Misalnya, para profesor dari universitas terkenal, sebagian besar direktur film ternama, dan para editor penerbitan, surat kabar dan majalah terkenal di dunia, sebagian besarnya adalah para evolusionis, dan sudah barang tentu atheis. Oleh sebab itu, bagian masyarakat yang menjadi garapan mereka terpengaruh oleh media masa beserta pemikiran evolusi dan anti-agama mereka. Hasilnya, muncullah masyarakat yang menerima gagasan menyimpang ini secara luas.
Ernst Mayr, ahli biologi Universitas Harvard yang juga seorang evolusionis terkemuka di dunia, menjelaskan kedudukan teori evolusi dalam kehidupan masyarakat sebagai berikut:
Sejak Darwin, setiap orang yang berpengetahuan setuju bahwa manusia berasal dari kera... Evolusi berpengaruh pada setiap aspek pemikiran manusia: filsafatnya, metafisiknya, etikanya...131
Pengaruh luas Darwinisme dalam kehidupan masyarakat bekerja layaknya kekuatan “sihir”. Sebagian besar generasi muda khususnya, dengan pengalaman hidup yang belum matang untuk membangun pola pikir yang sangat sederhana sekalipun, mudah terpedaya oleh gagasan semacam ini. Yang jauh lebih mudah lagi adalah mengarahkan mereka berpola pikir sebagaimana yang diinginkan melalui majalah yang mereka baca, film, permainan atau klip musik yang mereka tonton, dan, yang terpenting dari semua ini, melalui pendidikan yang mereka terima di sekolah. Sebab, pengaruh inilah yang menjadikan manusia mempercayai teori evolusi sebagai kebenaran selama 150 tahun, meskipun kebohongan dan ketidakilmiahannya telah terbukti.
Jika anda cermati, kini propaganda anti agama jarang dilakukan secara terang-terangan. Tak seorangpun secara terbuka mengajak orang lain untuk meninggalkan beragama. Namun, cara tersembunyi untuk melakukan hal ini diterapkan, meski tidak nampak pada awalnya. Penghinaan terhadap agama atau hal yang berhubungan dengannya, terhadap para agamawan, penggunaan kata yang memiliki arti pengingkaran terhadap Tuhan, takdir, dan agama dalam syair-syair lagu, novel, film, judul utama surat kabar, dan lelucon, hanyalah sedikit contoh cara tersembunyi tersebut.
Akan tetapi, pokok bahasan seputar Darwinisme merupakan alat yang paling umum digunakan untuk propaganda anti agama. Bahkan dalam pokok bahasan yang sangat tidak berkaitan, kebohongan bahwa nenek moyang kita adalah kera tetap ditegaskan. Pernyataan tentang teori evolusi bahkan tercantum secara tersirat dalam analisis psikologi manusia. Akibatnya, muncullah masyarakat manusia yang tidak begitu menaruh perhatian pada agama, kehidupan akhirat, dan tanggung jawab moral; yang tidak berpikir, yang tidak takut kepada Tuhan, dan yang sungguh tidak beriman kepada-Nya meski saat ditanya mereka menyatakan beriman kepada Tuhan dan agama. Manusia yang tidak beriman dan takut kepada Allah tidak merasa dibatasi dan diatur dalam hal apapun. Mereka hidup layaknya binatang yang mereka anggap sebagai nenek moyang mereka.
Misalnya, seseorang yang tidak berhati-hati dalam menjaga diri dan tidak takut kepada Allah, tidak dapat diharapkan untuk menjaga kesucian dirinya karena ia merasa tidak ada batasan yang harus dipatuhinya. Ia tergiur untuk melakukan berbagai tindakan tak bermoral selama dapat melakukannya di luar sepengetahuan manusia. Sebagaimana yang kini terjadi, terutama di kalangan tertentu dan kaum muda, batasan yang semakin lama semakin longgar, semakin tidak dihiraukannya nilai moral dan larangan Tuhan, dan berpalingnya masyarakat dari agama akibat gagasan Darwinisme, adalah salah satu akibat dari semua ini. Manusia yang memandang diri mereka sama sekali tak terikat oleh aturan dan tidak akan bertanggung jawab kepada siapapun, akan berperilaku melampaui batas dari hari ke hari. Kaum muda-mudi berani mengisahkan kepada surat kabar tentang kehidupan sex mereka hingga bagian-bagiannya yang terkecil. Surat kabar pun memuatnya sementara para pembaca tidak berkeberatan membacanya. Media masa memuji dan membahas perzinahan dengan penuh semangat, bahkan menganjurkan agar setiap orang melakukannya. Begitulah, zina telah menjadi perbuatan yang tidak lagi dipandang tidak wajar. Jika dicermati dengan seksama, di balik pembunuhan, perzinahan, kecurangan, penipuan, memberi dan menerima suap, dan kebohongan; singkatnya, yang menjadi biang segala perbuatan bejat ini adalah jauhnya masyarakat dari ajaran agama. Cara paling ampuh untuk menciptakan keadaan ini secara luas adalah pengaruh kuat kebohongan Darwinisme yang menyatakan bahwa “manusia muncul menjadi ada akibat peristiwa kebetulan belaka “
Ken Ham, penulis buku The Lie: Evolusion, membahas berkurangnya keyakinan terhadap agama akibat pengaruh Darwinisme sebagai sebuah pokok bahasan dan mengatakan:
Jika Anda mengingkari Tuhan dan mengganti-Nya dengan keyakinan lain yang menempatkan kebetulan, proses yang berlangsung secara acak sebagai ganti Tuhan, maka tidak ada patokan yang menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Peraturan tergantung bagaimana kita ingin membuatnya. Tidak ada sesuatu yang mutlak – tidak ada patokan-patokan yang wajib dipatuhi. Manusia akan membuat peraturan mereka sendiri.132
Evolusionist terkenal Theodious Dobzhansky menyetujui pendapat yang menyatakan bahwa gagasan “seleksi alam”, yang menjadi landasan bagi Darwinisme, telah menyebabkan munculnya masyarakat yang berakhlak buruk:
Seleksi alam cenderung dapat memunculkan sikap mementingkan diri sendiri, hedonisme, ketakutan sebagai ganti keberanian, kecurangan dan pemerasan. Sebaliknya, etika kebersamaan yang pada dasarnya ada di seluruh masyarakat cenderung menentang atau melarang perilaku ‘alami’ seperti itu, dan memuji kebalikannya: kebajikan, kedermawanan, dan bahkan pengorbanan diri demi kemaslahatan untuk sesama, untuk suku atau untuk bangsa dan bahkan untuk seluruh umat manusia.133
Jika kita amati sekeliling kita saat ini, kita akan segera menyadari jejak-jejak kehancuran paling parah yang diakibatkan oleh moralitas Darwinisme. Gagasan bahwa kemajuan, pembangunan, dan peradaban dihasilkan oleh manusia yang hidup terpisah satu dari yang lain dan tanpa ikatan untuk saling memberikan pertolongan, kesetiaan, penghormatan, dan belas kasih, telah dipaksakan kepada masyarakat. Pernyataan bahwa keadaan ini hendaknya diterima demi kemajuan dan tingkat produksi yang lebih besar seringkali dikemukakan. Padahal, ini merupakan akibat ulah manusia sendiri yang menempatkan diri mereka pada “status binatang”, dan tidak dapat dikatakan sebagai kemajuan ataupun peradaban.
Sungguh, manusia bukanlah spesies binatang dan ia tidak muncul menjadi ada sebagai keturunan dari binatang manapun. Manusia, yang Allah ciptakan dengan kelengkapan akal, kecerdasan, hati nurani, dan ruh, adalah makhluk yang sama sekali berbeda dengan makhluk lain dikarenakan berbagai beragam keistimewaannya ini. Namun, akibat pengaruh sihir Darwinisme-materialisme, manusia melupakan keistimewaan tersebut dan tenggelam dalam kepicikan, akhlak buruk, dan hati nurani serta nalar yang tidak berfungsi, yang bahkan tidak dijumpai pada binatang. Kemudian mereka berkata, “Kita pun keturunan binatang, sehingga masih terdapat warisan genetis dari mereka,” dan membuat dalih ilmiah untuk menutupi kemalasan dan kebebalan mereka.
Banyak ilmuwan yang mendalami masalah perilaku manusia, yang juga pengikut Darwinisme, menjadikan alur berpikir ini sebagai dasar berpijak, dan menyatakan bahwa kecenderungan manusia kepada tindak kejahatan merupakan warisan perilaku nenek moyang binatangnya. Dalam bukunya Ever Since Darwin, evolusionis terkemuka Stephen Jay Gould mengemukakan pernyataan, yang awalnya dikemukakan oleh fisikawan Italia Lombroso:
Teori-teori biologi tentang kriminalitas bukanlah barang baru, tapi Lombroso memberikan penjelasan baru yang berkaitan dengan evolusi. Terlahir sebagai penjahat bukan berarti menderita kegilaan atau berpenyakit; mereka, secara harfiah, terlempar kembali ke tangga evolusi sebelumnya. Sifat-sifat genetis nenek moyang kita yang primitif dan mirip kera masih tersisa dalam perbendaharaan genetik kita. Sejumlah orang yang kurang beruntung terlahir dengan sejumlah besar sifat-sifat nenek moyang ini, yang di luar kewajaran. Perilaku mereka mungkin dapat diterima dalam masyarakat biadab masa lalu; namun kini, kita menjulukinya sebagai tindakan kriminal. Kita mungkin merasa kasihan terhadap mereka yang terlahir sebagai kriminal, dikarenakan mereka tidak dapat menghindarinya; namun kita tidak dapat membiarkan tindakan mereka begitu saja.134
Menurut anggapan para Darwinis, dengan kata lain pembunuhan seseorang terhadap orang lain, penderitaan yang ditimpakan kepadanya, pencurian, dan perkelahian, merupakan warisan yang secara genetis diturunkan dari nenek moyangnya yang mirip kera. Berdasarkan alasan tersebut, berbagai tindak kejahatan ini bukanlah berasal dari dalam diri orang tersebut dan, karenanya, dipandang sebagai suatu yang dapat dimaklumi.
Sebagaimana dapat dipahami dari pernyataan-pernyataan ini, pola pikir Darwinis memandang nurani manusia dan kemampuannya untuk berkehendak, bernalar dan menilai sesuatu sebagai hal yang tidak bermakna, dan meyakini manusia sebagai makhluk yang tidak memiliki kecerdasan, yang berperilaku menuruti instingnya, persis sebagaimana binatang. Menurut pandangan ini, layaknya singa liar yang tidak mampu menahan perilaku agresif dalam dirinya dan tidak dapat memperlihatkan perilaku arif seperti menahan amarah, atau memberi maaf dan bersabar, maka manusia pun berperilaku sama. Sudah pasti, ketiadaan rasa damai dan aman, kekacauan, pertikaian, dan perkelahian akan terjadi dalam masyarakat yang di dalamnya terdapat manusia semacam ini.
 
Kesengsaraan dan Keputus-asaan Akibat Darwinisme

Menurut kaum Darwinis dan materialis, keseluruhan alam raya, termasuk manusia, terbentuk sebagai hasil peristiwa acak dan kebetulan. Berkembangnya pengaruh pandangan ini dalam masyarakat memunculkan sosok-sosok manusia tak bertanggung jawab yang sama sekali merasa tidak terikat oleh aturan apapun.
Seseorang yang tidak memiliki tujuan hidup tidak akan berpikir, tidak mampu memberikan arahan bagi pengembangan diri mereka sendiri, tidak memiliki kepedulian, suka mencela, tidak berperasaan, tidak memiliki kepekaan, tidak mampu menggunakan hati nuraninya, dan tidak mengenal aturan atau batasan. Ia tidak memiliki sifat mulia atau akhlak terpuji. Dalam pandangannya yang menyimpang, dirinya adalah sosok hewan yang telah berkembang dan maju. Karenanya, dalam hidupnya di dunia ini, ia harus mencari makan dan berkembang biak sebagaimana makhluk hidup lainnya. Setelah kebutuhan pokoknya terpenuhi, ia hendaknya mencari hiburan dan kesenangan sepuas-puasnya, dan menunggu hingga saat kematian tiba. Begitulah, di sini kita pahami bahwa meskipun kebanyakan orang tidak memiliki pengetahuan tentang seluk-beluk Darwinisme, mereka menjalani kehidupan sebagai umat manusia sebagaimana yang dikemukakan oleh Darwin.
Karena mereka menjalani kehidupan yang penuh dengan kekerasan, sebuah kehidupan yang suatu saat akan berakhir, maka orang-orang ini mudah terbawa oleh perasaan yang sangat menekan dan rasa keputusasaan. Keyakinan bahwa segalanya akan berakhir dengan kematian, dan tidak ada sesuatu pun setelah kematian, menjadikan hidup mereka tidak bahagia. Salah satu penyebab tindakan bunuh diri, gangguan jiwa, dan tekanan batin adalah pengaruh buruk sihir Darwinisme dalam diri manusia.
Richard Dawkins, salah seorang evolusionis terkemuka masa kini, mengungkap satu contoh kasus ini. Dawkins menyatakan manusia sebagai mesin gen, dan satu-satunya tujuan keberadaan manusia di dunia adalah untuk mewariskan gen ini ke generasi berikutnya. Dalam pandangan Dawkins, tidak ada tujuan lain bagi keberadaan manusia atau alam semesta. Seluruh jagat raya dan manusia terbentuk sebagai hasil peristiwa acak dan kebetulan.
Mereka yang terpedaya untuk meyakini pernyataan ini akan mudah merasa tertekan dan kehilangan harapan. Manusia yang mempercayai tujuan hidup hanyalah untuk mewariskan gen, bahwa segalanya berakhir dengan kematian dan tak satupun yang ia lakukan di dunia ini memiliki makna, dan yang menganggap persahabatan, cinta kasih, kebajikan, dan keindahan tidak memiliki arti, akan menganggap kehidupan ini begitu kejam dan tidak berguna. Mereka tidak akan mampu mendapatkan kebahagiaan dari apapun yang ada. Dalam kata pengantar bukunya Unweaving the Rainbow, Dawkins mengakui pengaruh negatif dan perasaan putus asa yang dialami oleh mereka yang telah membaca pernyataannya tentang tujuan hidup manusia:
Sebuah penerbitan asing yang menerbitkan buku pertama saya mengaku bahwa ia tidak dapat tidur selama tiga malam setelah membacanya, ia merasa sangat terganggu dengan apa yang ia anggap sebagai pesan yang dingin, dan mendorong rasa putus asa dalam buku tersebut. Beberapa orang yang lain bertanya kepada saya bagaimana saya masih sanggup bangun di pagi hari. Seorang guru dari sebuah negeri yang jauh menulis kepada saya dengan nada menyalahkan bahwa seorang murid datang kepadanya sambil menangis setelah membaca buku yang sama, karena buku tersebut telah mendorongnya beranggapan bahwa hidup ini hampa dan tidak memiliki tujuan. Ia menganjurkannya agar tidak memperlihatkan buku tersebut kepada teman-temannya karena khawatir akan mengotori mereka dengan pemikiran pesimisme nihilistik yang sama. Tuduhan serupa tentang kehampaan hidup, menyebarkan pesan yang gersang dan tidak membahagiakan, seringkali terlontar dalam ilmu pengetahuan secara umum, dan para ilmuwan mudah sekali menjadikan mereka terpengaruh. Rekan saya Peter Atkins memulai bukunya The Second Law (1984) dengan pernyataan serupa:
Kita adalah anak-anak yang hidup dalam dunia yang tidak memiliki tujuan, dan segalanya mengalami perubahan yang mengarah ke kerusakan. Pada dasarnya, yang ada hanyalah kerusakan dan kekacauan. Semua tujuan telah sirna; segala yang tertinggal hanyalah arah. Saat kita menyelami lebih jauh di kedalaman alam semesta, kita akan mendapati ketiadaan makna dan ini adalah sesuatu yang harus kita terima.135
Pendukung Darwinisme lainnya adalah Nietzshe, seorang filsuf Jerman yang menyatakan kehidupan ini tidak bermakna apapun, dan yang menjadikan orang-orang memandang hidup ini secara pesimis. Tesisnya tentang keunggulan ras memberikan dukungan filosofis bagi Hitler. Pemikiran yang ia kemukakan, yang dikenal sebagai “nihilisme” dan “nothingisme”, pada intinya adalah: Manusia hendaknya memiliki tujuan untuk hidup. Namun tujuan ini, menurut Nietzsche yang tidak mengakui keberadaan Tuhan, tidak ada kaitannya dengan Tuhan yang telah menciptakan manusia. Karenanya, dalam pemahaman Nietzsche, manusia terus-menerus mencari tujuan hidup ini, akan tetapi tidak mampu menemukannya. Akibatnya, ia mengalami pesimisme dan keputusasaan.
Yang benar sesungguhnya adalah mencari tujuan di balik keberadaan atau penciptaan manusia. Namun, sebagaimana yang dikemukakan Nietzsche, jika seseorang sama sekali tidak mau menerima tujuan utama keberadaan dirinya, dan berusaha sendiri untuk mencari tujuan selain yang ada dalam batasan kebenaran ini, maka ia pasti tak akan mampu menemukannya. Dan perlu kami kemukakan di sini bahwa Nietzsche meninggal dalam keadaan gila.
Masyarakat yang melupakan penciptaan diri mereka oleh Tuhan, yang telah menciptakan untuk sebuah tujuan, akan benar-benar mengalami kehancuran moral dan spiritual. Kekayaan, kemakmuran, dan kemajuan ekonomi tidak akan memberikan kedamaian dan rasa aman bagi orang-orang ini. Manusia yang tidak mau menuruti akal sehat dan suara hati nuraninya, yang merasa tidak terikat oleh aturan apapun dan tidak memiliki tujuan hidup, akan menderita kesedihan dan keputusasaan. Mereka yang beranggapan bahwa kehidupan mereka di dunia akan berakhir dengan kematian, akan mengalami kesedihan, kesengsaraan, dan keputusasaan saat mereka menjalani kehidupan sesungguhnya setelah kematiannya.
Sebaliknya orang yang beriman kepada Tuhan dan hari akhir memahami tujuan penting dari kehidupannya. Ia selalu merasakan kebahagiaan dan berharap akan ampunan, kasih sayang Allah beserta surga-Nya. Apapun yang terjadi, ia akan senantiasa bersyukur kepada Tuhan. Karenanya, ia tidak pernah terpedaya untuk berprasangka buruk dan berputus asa.
KESIMPULAN:
HARUSKAH DARWINISME DIBIARKAN HIDUP?


S epanjang sejarah telah terjadi peperangan, penindasan, pembunuhan dan pertikaian. Namun alasan mengapa jumlah dan cakupan dari semua bencana yang terjadi di abad yang lalu ini begitu besar adalah karena pembenaran ilmiah keliru yang diberikan Darwinisme terhadap pembunuhan, penindasan dan pertikaian tersebut. Karena pernyataan Darwinisme yang sama sekali keliru tentang alam sejalan dengan ideologi-ideologi ini, para pembunuh, diktator, dan ideolog bengis mampu menjelaskan bahwa kebijakan yang mereka terapkan adalah benar dengan mengatakan “hukum alam juga berlaku pada msyarakat manusia.”
Di masa kini, teori evolusi masih saja dipertahankan karena alasan filosofis dan ideologis. Kolonialisme yang merebak dengan adanya teori evolusi di abad ke-19, Jerman Nazi, dan Uni Siviet adalah potret masa lalu. Namun filsafat Darwinsime-materialisme, yang merupakan pondasi utama mereka, masih dengan kuat dibela oleh kalangan tertentu, dan dampak merusak dari filsafat ini masih terus dirasakan di seluruh dunia.
Walaupun sebagai seorang evolusionis, Kenneth J. Hsü telah menulis tentang bencana yang diakibatkan Darwinisme terhadap umat manusia sebagai berikut:
Kita adalah korban dari ideologi sosial yang kejam yang menganggap persaingan antar individu, kelas, bangsa dan ras sebagai kondisi alami kehidupan, dan juga merupakan sesuatu yang wajar (alami) jika yang kuat menindas yang lemah... Hukum Seleksi alam, menurut pendapat saya, bukanlah ilmu pengetahuan. Ini adalah sebuah ideologi, dan sebuah ideologi yang jahat...136
Tentu saja tindakan pencegahan secara hukum dan kekuatan bersenjata harus dilakukan. Namun tindakan ini hanya dapat menutup luka akibat ideologi-ideologi ini. Pemecahan masalah yang permanen adalah dengan gerakan budaya dan ilmiah. Keruntuhan Darwinisme melalui budaya dan ilmu pengetahuan akan juga menghempaskan filsafat-filsafat yang mendapatkan pengukuhan dari Dariwnisme , dan ini berarti menghapuskan penindasan yang terjadi di dunia.
Dengan alasan ini, tanggung jawab yang berat berada di pundak mereka yang memiliki hati nurani, keimanan, dan pemahaman tentang nilai-nilai spiritual. Tidak pada tempatnya seseorang mengabaikan atau menganggap ringan bencana yang ditimbulkan Darwinisme kepada dunia, khususnya di abad yang lalu, serta penderitaan yang dialami orang-orang waktu itu. Siapa pun yang memahami pentingnya masalah ini hendaknya melakukan apa yang ia mampu untuk mengakhiri penipuan ini, yang telah berlangsung selama 150 tahun, melalui jalur kultural.
Satu-satunya yang dapat mengakhiri kebohongan ini dalam arti yang sebenarnya, yang dapat memberikan jawaban tuntas atas pertanyaan mendasar dalam hidup manusia, adalah ajaran Al Qur’an. Berbagai bencana ini akan berakhir jika orang-orang mulai beralih ke agama yang benar. Yakni ketika keindahan, cinta, kasih sayang, keadilan, kesetiaan, kebersamaan, dan sikap saling menghargai yang diajarkan Al Qur’an kepada manusia dijalankan dalam kehidupan. Sebagaimana ayat Allah yang menyatakan, “kebenaran akan datang “ dan “kebatilan akan lenyap:”

Dan katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap. (QS. Al Israa’, 17:81)


Daftar Pustaka


1. Robert Wright, The Moral Animal, Vintage Books, New York: 1994, hal.7
2. Anton Pannekoek, Marxism and Darwinism, Translated by Nathan Weiser, Chicago, Charles H. Kerr &Company, 1912, http://csf.colorado.edu/psn/marx/Other/Pannekoek/Archive/1912-Darwin/
3. Theodore D. Hall, The Scientific Background of the Nazi “Race Purification” Program, http://www.trufax.org/avoid/nazi.html
4. Francis Darwin, The Life and Letters of Charles Darwin, D. Appleton and Co., 1896, vol. 2, hal.294
5. Stephen Jay Gould, The Mismeasure of Man, W.W. Norton and Company, New York, 1981, hal. 72
6. Jacques Barzun, Darwin, Marx, Wagner, Garden City, N.Y.: Doubleday, 1958, hal.94-95, cited in Henry M. Morris, The Long war Against God, Baker Book House, 1989, hal. 70
7. A.E. Wilder-Smith, Man’s Origin Man’s Destiny, The Word for Today Publishing, 1993, hal.166
8. Charles Darwin, The Descent of Man, 2nd edition, New York, A L. Burt Co., 1874, hal. 178
9. Charles Darwin, The Descent of Man, 2nd edition, New York, A L. Burt Co., 1874, hal. 171
10. Godfrey Lienhardt, Social Anthropology, Oxford University Press, hal. 11
11. Benjamin Farrington, What Darwin Really Said, London: Sphere Books, 1971, hal. 54-56
12. James Ferguson, “The Laboratory of Racism”, New Scientist, vol. 103, (September 1984, hal. 18)
13. Lalita Prasad Vidyarthi, Racism, Science and Pseudo-Science, Unesco, France, Vendôme, 1983. hal. 54
14. David N. Menton, Ph.D., The Religion of Nature: Social Darwinism, St. Louis MetroVoice, September 1994, Vol. 4, No. 9
15. Stephen Jay Gould, Ever Since Darwin, W. W. Norton & Company, New York 1992, hal. 217
16. Stephen Jay Gould, Ever Since Darwin, W. W. Norton & Company, New York 1992, hal. 220
17. Alaeddin Şenel, Irk ve Irkçılık Düşüncesi (The Idea of Race and Racism), Ankara:Bilim ve Sanat Yayınları, 1993, hal. 67-68
18. Thomas Gossett, Race: The History of an Idea in America, Dallas: Southern Methodist University Press, 1963, hal.81 cited in Alaeddin Şenel, Irk ve Irkçılık Düşüncesi (The Idea of Race and Racism), Ankara:Bilim ve Sanat Yayınları, 1993, hal. 68
19. Jacques Attali, 1492, Librairie Arthème Fayard, 1991, hal.197
20. François de Fontette, Le Racisme (Racism), 6th ed. Presses Universitaires de France, 1988, hal. 40-41
21. James Joll, Europe Since 1870: An International History, Penguin Books, Middlesex, 1990, hal. 102-103
22. Kenneth J. Hsü., reply to comment on “Darwin’s Three Mistakes”, Geology, vol. 15, April 1987, hal. 377
23. Süleyman Kocabaş, Hindistan Yolu ve Petrol Uğruna Yapılanlar: Türkiye ve İngiltere (The Road to India and What Has Been Done for the Sake of Oil: Turkey and Britain), 1.baskı, İstanbul: Vatan Yayınları, 1985, s. 231
24. Francis Darwin, The Life and Letters of Charles Darwin, Vol.I, 1888. New York D. Appleton and Company, hal.285-286
25. Henry M. Morris, The Long War Against God, Baker Book House, 1989, hal. 70
26. Henry M. Morris, The Long War Against God, Baker Book House, 1989, hal. 71
27. Thomas Gossett, Race: The History of an Idea in America, Dallas: Southern Methodist University Press, 1963, hal.188
28. Alaeddin Şenel, Irk ve Irkçılık Düşüncesi (The Idea of Race and Racism), Ankara:Bilim ve Sanat Yayınları, 1993, hal. 85-90
29. Henry Fairfield Osborn, “The Evolution of Human Races”, Natural History, April 1980, hal. 129 – reprinted from January/February 1926 issue
30. François de Fontette, Le Racisme (Racism), 6th ed. Presses Universitaires de France, 1988, hal. 101
31. François de Fontette, Le Racisme (Racism), 6th ed. Presses Universitaires de France, 1988, hal. 105
32. Jani Roberts, How New-Darwinism Justified Taking Land From Aborigines and Murdering Them in Australia, http://www.gn.apc.org/inquirer/ausrace.html
33. Jani Roberts, How New-Darwinism Justified Taking Land From Aborigines and Murdering Them in Australia, http://www.gn.apc.org/inquirer/ausrace.html
34. Jani Robert, How New-Darwinism Justified Taking Land From Aborigines and Murdering Them in Australia, http://www.gn.apc.org/inquirer/ausrace.html
35. Creation Ex Nihilo, Vol 14, No. 2, March-May 1992, hal. 17
36. Philadelphia Daily News, 28 April 1997
37. Philips Verner Bradford, Harvey Blume, Ota Benga, The Pygmy in the Zoo, Canada, October 1993 hal. 269
38. Philips Verner Bradford, Harvey Blume, Ota Benga, The Pygmy in the Zoo, Canada, October 1993, hal. 267
39. Philips Verner Bradford, Harvey Blume, Ota Benga, The Pygmy in the Zoo, Canada, October 1993, hal. 266
40. Philips Verner Bradford, Harvey Blume, Ota Benga, The Pygmy in the Zoo, Canada, October 1993, hal.264
41. Philips Verner Bradford, Harvey Blume, Ota Benga, The Pygmy in the Zoo, Canada, October 1993, hal. 259
42. Bryan Appleyard, Brave New Worlds, Harper Collins Publishers, London 1999, hal. 49-50
43. Alaeddin Şenel, Irk ve Irkçılık Düşüncesi (The Idea of Race and Racism), Ankara:Bilim ve Sanat Yayınları, 1993, hal.62-6
44. Carl Cohen, Communism, Fascism and Democracy, Random House, New York, 1972
45. J. Tenenbaum., Race and Reich, Twayne Pub., New York, hal. 211, 1956; cited by Jerry Bergman, Darwinism and the Nazi Race Holocaust, http://www.trueorigin.org/holocaust.htm
46. L.H. Gann, “Adolf Hitler, The Complete Totalitarian”, The Intercollegiate Review, Fall 1985, hal. 24; cited in Henry M. Morris, The Long war Against God, Baker Book House, 1989, hal. 78
47. K. Ludmerer., Eugenics, In: Encyclopedia of Bioethics, Edited by Mark Lappe, The Free Press, New York, hal. 457, 1978; cited by Jerry Bergman, Darwinism and the Nazi Race Holocaust, www.trueorigin.org/holocaust.htm
48. G. Stein., Biological science and the roots of Nazism, American Scientist 76(1):hal. 54, 1988; cited by Jerry Bergman, Darwinism and the Nazi Race Holocaust, http://www.trueorigin.org/holocaust.htm
49. Adolf Hitler, Mein Kampf, München: Verlag Franz Eher Nachfolger, 1993, hal. 44, 447-448; cited by A.E. Wilder Smith, Man’s Origin Man’s Destiny, The Word For Today Publishing 1993, hal. 163, 164
50. P. Weindling, Health, Race and German Policies Between National Unification and Nazism 1870-1945, Cambridge University Press, Cambridge, MA, 1989, cited by Jerry Bergman, Darwinism and The Nazi Race Holocaust, www.trueorigin.org/holocaust.htm
51. Theodore D. Hall, The Scientific Background of the Nazi “Race Purification” Program, http://www.trufax.org/avoid/nazi.html
52. Theodore D. Hall, The Scientific Background of the Nazi “Race Purification” Program, http://www.trufax.org/avoid/nazi.html
53. John J. Michalczyk (editor), Nazi Medicine: In The Shadow of The Reich (documentary film), First Run Features, New York, 1997
54. George J. Stein, “Biological Science and the Roots of Nazism”, American Scientist, vol. 76, (January/February 1988), hal. 52
55. Sir Arthur Keith, Evolution and Ethics, New York: G.P. Putnam’s Sons, 1947, hal. 14
56. Robert Clark, Darwin: Before and After, Grand Rapids International Press, Grand Rapids, MI, 1958. hal.115
57. A. Keith, Evolution and Ethics, G. P. Putnam’s Sons, New York, hal. 230, 1946, cited by Jerry Bergman, Darwinism and the Nazi Race Holocaust, www.trueorigin.org/holocaust.htm
58. Francis Schaeffer, How Shall We Then Live?, Old Tappan, N.J.: Revell, 1976, hal. 151; cited in Henry M. Morris, The Long war Against God, Baker Book House, 1989, hal. 78
59. A. Hitler, Hitler’s Secret Conversations 1941–1944, With an introductory essay on The Mind of Adolf Hitler by H.R. Trevor-Roper, Farrar, Straus and Young, New York, hal. 117, 1953; cited by Jerry Bergman, Darwinism and the Nazi Race Holocaust, http://www.trueorigin.org/holocaust.htm
60. Daniel Gasman, The Scientific Origins of National Socialism: Social Darwinism in Earnest Haeckel and the German Monist League, New York: American Elsevier Press, 1971, hal. 168
61. Robert E.D. Clark, Darwin: Before and After, London: Paternoster Press, 1948, hal. 115, cited in Henry M. Morris, The Long War Against God, Baker Book House, 1989, hal. 81
62. Denis Mack Smith, Mussolini, hal. 14
63. John P. Diggins, Mussolini and Fascism, Princeton University Press, 1972, hal. 15
64. Çağdaş Liderler Ansiklopedisi (The Encyclopaedia of Contemporary Leaders), Vol. 2, hal. 669
65. James Joll, Europe Since 1870: An International History, Penguin Books, Middlesex, 1990, hal. 164
66. M.F. Ashley-Montagu, Man in Process (New York: World. Pub. Co. 1961) hal. 76, 77 cited in Bolton Davidheiser, W E Lammers (ed) Scientific Studies in Special Creationism, 1971, hal. 338-339
67. A.E. Wiggam, The New Dialogue of Science, Garden Publishing Co., Garden City, NY, hal. 102, 1922; cited by Jerry Bergman, Darwinism and the Nazi Race Holocaust, http://www.trueorigin.org/holocaust.htm
68. Robert Clark, Darwin: Before and After, Grand Rapids International Press, Grand Rapids, MI, 1958., s. 115-116; cited by Jerry Bergman, Darwinism and the Nazi Race Holocaust, http://www.trueorigin.org/holocaust.htm
69. Jerry Bergman, Darwinism and the Nazi Race Holocaust, http://www.trueorigin.org/holocaust.htm
70. Earnest Haeckel, The History of Creation: Or the Development of the Earth and Its Inhabitants by the Action of Natural Causes, Appleton, New York, 1876, hal. 170; cited by Jerry Bergman, Darwinism and the Nazi Race Holocaust, http://www.trueorigin.org/holocaust.htm
71. Theodore D. Hall, The Scientific Background of the Nazi “Race Purification” Program, http://www.trufax.org/avoid/nazi.html
72. Marshall Hall, Hitler, Lenin, Stalin, Mao et al: The Role of Darwinian Evolutionism in Their Lives, http://www.fixedearth.com/hlsm.html
73. Max Nordau, The Philosophy and Morals of War, North American Review 169 (1889):794 cited in Richard Hofstadter, Social Darwinism in American Thought, Boston: Beacon Press, 1955, hal.171)
74. Tempo Magazine, 14 July 1991
75. http://chefsseite.tsx.org/
76. Sabah Daily, 12 August 2000
77. San Francisco Examiner, 1 April1997
78. Conway Zirkle, Evolution, Marxian Biology and the Social Scene, Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1959, hal.85-87
79. Conway Zirkle, Evolution, Marxian Biology and the Social Scene, Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1959, hal.85-87
80. Conway Zirkle, Evolution, Marxian Biology and the Social Scene, Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1959, hal.85-87
81. Stephen Jay Gould, Ever Since Darwin, W. W. Norton & Company, New York 1992, hal. 26
82. Friedrich Engels, Socialism: Utopian and Scientific, Foreign Languages Press, Peking 1975, hal. 67
83. Gertrude Himmelfarb, Darwin and the Darwinian Revolution, London: Chatto & Windus, 1959, hal. 348-9
84. Friedrich Engels, Socialism: Utopian and Scientific, Foreign Languages Press, Peking 1975, hal. 67
85. Conway Zirkle, Evolution, Marxian Biology and the Social Scene, (University of Pennsylvania Press, 1959), hal.85-86
86. Tom Bethell, “Burning Darwin to Save Marx”, Harper’s Magazine, (December 1978), hal.37
87. Karl Marx Biyografi (The Biography of Karl Marx), Öncü Yayınevi, hal. 368
88. John N. Moore, The Impact of Evolution on the Social Sciences, Impact No. 52, www.icr.org/pubs/imp/imp-052.htm
89. Marshall Hall, Hitler, Lenin, Stalin, Mao et al: The Role of Darwinian Evolutionism in Their Lives, http://www.fixedearth.com/hlsm.html
90. Alan Woods and Ted Grant, Reason in Revolt: Marxism and Modern Science, London:1993
91. Kent Hovind, The False Religion of Evolution, http://www.royalse.com/scroll/evolve/ndxng.html
92. E. Yaroslavsky, Landmarks in the Life of Stalin, Moscow: Foreign Languages Publishing House, 1940, hal. 8.; cited by Paul G. Humber, Stalin’s Brutal Faith, Vital articles on Science/Creation October 1987, Impact No. 172
93. E. Yaroslavsky, Landmarks in the Life of Stalin, Moscow: Foreign Languages Publishing House, 1940, hal. 8.; cited by Paul G. Humber, Stalin’s Brutal Faith, Vital articles on Science/Creation October 1987, Impact No. 172
94. K. Mehnert, Kampf um Mao’s Erbe, Deutsche Verlags-Anstalt, 1977
95. Marshall Hall, Hitler, Lenin, Stalin, Mao et al: The Role of Darwinian Evolutionism in Their Lives, http://www.fixedearth.com/hlsm.html
96. Robert Milner, Encyclopaedia of Evolution 1990 hal.81
97. Michael Ruse: The Long March of Darwin, New Scientist 103, August 16, 1984: 35; cited in Henry M. Morris, The Long war Against God, Baker Book House, 1989, hal.85-86
98. Henry M. Morris, The Long War Against God, Baker Book House, 1989, hal. 57
99. Nicolas Werth, “Le Pouvoir soviétique et l’Eglise orthodoxe de la collectivisation à la Constitution de 1936", Revue d’études comparatives Est-Quest nos. 3-4, 1993, hal.41-49 cited by Stéphane Courtois, Nicolas Werth, Jean-Louis Panné, Andrzej Paczkowski, Karel Bartosek, Jean-Louis Margolin, The Black Book of Communism, Harvard University Press, 1999, hal. 172
100. Samuel T. Francis, The Soviet Strategy of Terror, The Heritage Foundation, 1981, hal. 46
101. V. I. Lenin; Collected Works, 4th English Edition, Progress Publishers, Moscow, 1964, hal. 180
102. V. İ. Lenin, The Proletarian Revolution and The Renegade Kautsky (Moscow: Foreign Languages Publishing House, 1952, hal. 32-33, 20)
103. V. I. Lenin, Collected Works, Moscow, Volume 35, hal. 238
104. V. I. Lenin, Collected Works, Vol. 24, hal. 38-41, Progress Publishers, Moscow, 1964.
105. V.I. Lenin, Polnoe sobranie sochinenii, (Complete Collected Works), Moscow, Gos.-izd-vo polit. Lit-ry, 1958-1966, 35: 311, cited by Stéphane Courtois, Nicolas Werth, Jean-Louis Panné, Andrzej Paczkowski, Karel Bartosek, Jean-Louis Margolin, The Black Book of Communism, Harvard University Press, 1999, hal. 59
106. Ann Arbor, Leon Troçki, Terrorism or Communism, University of Michigan Press, 1961, hal. 58
107. Protokoly zasedanii VSIK 4-sozyva, Stenograficheskii otchet (Protocols of the sessions of the CEC in the fourth phase: Stenographic account) (Moscow, 1918), hal. 250
108. Harrison E. Salisbury, “Reading The Gulag Archipelago is like no other reading experience of our day,” Book-of-the-Month Club NEWS, Midsummer, 1974, hal. 4,5.
109. Russian Center for the Conservation and Study of Historic Documents, Moscow, 17/84/75/59, cited by Stéphane Courtois, Nicolas Werth, Jean-Louis Panné, Andrzej Paczkowski, Karel Bartosek, Jean-Louis Margolin, The Black Book of Communism, Harvard University Press, 1999, hal. 100
110. Quoted in V.I. Brovkin, Behind the Front Lines of the Civil War: Political Parties and Social Movements in Russia, 1918-1922, Princeton: Princeton University Press, 1981, hal. 353, cited by Stéphane Courtois, Nicolas Werth, Jean-Louis Panné, Andrzej Paczkowski, Karel Bartosek, Jean-Louis Margolin, The Black Book of Communism, Harvard University Press, 1999, hal. 101
111. Krasnyi Mech, no.1 (18 August 1919), hal.1 cited by Stéphane Courtois, Nicolas Werth, Jean-Louis Panné, Andrzej Paczkowski, Karel Bartosek, Jean-Louis Margolin, The Black Book of Communism, Harvard University Press, 1999, hal. 102
112. Stéphane Courtois, Nicolas Werth, Jean-Louis Panné, Andrzej Paczkowski, Karel Bartosek, Jean-Louis Margolin, The Black Book of Communism, Harvard University Press, 1999, hal. 119
113. Quoted in Julian Gorkin, Les Communistes contre la révolution espagnole, Paris: Belfond, 1978, hal.181, cited by Stéphane Courtois, Nicolas Werth, Jean-Louis Panné, Andrzej Paczkowski, Karel Bartosek, Jean-Louis Margolin, The Black Book of Communism, Harvard University Press, 1999, hal. 342
114. Stéphane Courtois, Nicolas Werth, Jean-Louis Panné, Andrzej Paczkowski, Karel Bartosek, Jean-Louis Margolin, The Black Book of Communism, Harvard University Press, 1999, hal. 29
115. Stéphane Courtois, Nicolas Werth, Jean-Louis Panné, Andrzej Paczkowski, Karel Bartosek, Jean-Louis Margolin, The Black Book of Communism, Harvard University Press, 1999, hal. 470-471
116. Stéphane Courtois, Nicolas Werth, Jean-Louis Panné, Andrzej Paczkowski, Karel Bartosek, Jean-Louis Margolin, The Black Book of Communism, Harvard University Press, 1999, hal. 4
117. P.J. Darlington, Evolution for Naturalists, 1980, s. 243-244
118. Edward E. Ericson, Jr., “Solzhenitsyn - Voice from the Gulag”, Eternity, October 1985, hal. 23, 24.
119. Alaeddin Şenel, Irk ve Irkçılık Düşüncesi (The Idea of Race and Racism), Ankara: Belem ve Sanat Yayınları, 1993, hal. 61
120. Herbert Spencer, Social Status, 1850, hal.414-415
121. The Challenge of Facts and Other Essays, as quoted in Mason Drukman, Community and Purpose in America: An Analysis of American Political Theory, New York: McGraw-Hill, 1971, hal. 202.
122. R. Milner, Encyclopedia of Evolution 1990 hal. 412
123. Thomas F. Gossett, Race: The History of an Idea in America, Dallas: Southern Methodist University Press, 1963, hal. 170
124. Chauncey Depew, My Memories of Eighty Years, New York, 1922, hal.383-384
125. James J. Hill, Highways of Progress, New York, 1910, hal. 126, 137
126. Andrew Carnegie, Autobiography, Boston 1920, hal. 327, cited in Richard Hofstadter, Social Darwinism in American Thought, Boston: Beacon Press, 1955, hal. 45
127. Andrew Carnegie, Wealth, North American Review 148, 1889, s. 655-657, cited in Richard Hofstadter, Social Darwinism in American Thought, Boston: Beacon Press, 1955, hal. 45-46
128. Kenneth J. Hsü, “Darwin’s Three Mistakes”, Geology, vol.14, June 1986, hal. 534
129. Bolton Davidheiser, W E Lemmerts (ed) Scientific Studies in Special Creationism, 1971 hal. 338-339.
130. H. Enoch, Evolution or Creation, 1966 hal.145
131. Ernst Mayr, “Interview”, Omni, March/April 1988, hal. 46; cited in Henry M. Morris, John D. Morris, The Modern Creation Triology, Vol. 3, hal. 12
132. Kenneth A. Ham, The Lie Evolution, Master Books, April 1997, hal. 84
133. Theodosius Dobzhansky, “Ethics and Values in Biological and Cultural Evolution”, Zygon, the Journal of Religion and Science, as reported in Los Angeles Times, part IV (June 16, 1974), hal. 6
134. Stephen Jay Gould, Ever Since Darwin, W. W. Norton & Company, New York 1992, hal. 223
135. Richard Dawkins, Unweaving The Rainbow, Houghton Mifflin Company, Newyork, 1998, hal. ix)
136. Earthwatch, March 1989, p. 17; cited in Henry M. Morris, The Long War Against God, Baker Book House, 1989, hal. 57
137. Sidney Fox, Klaus Dose, Molecular Evolution and The Origin of Life, New York: Marcel Dekker, 1977. hal. 2
138. Alexander I. Oparin, Origin of Life, (1936) New York, Dover Publications, 1953 (Reprint), hal.196
139. “New Evidence on Evolution of Early Atmosphere and Life”, Bulletin of the American Meteorological Society, vol 63, November 1982, hal. 1328-1330.
140. Stanley Miller, Molecular Evolution of Life: Current Status of the Prebiotic Synthesis of Small Molecules, 1986, hal. 7
141. Jeffrey Bada, Earth, February 1998, v. 40
142. Leslie E. Orgel, The Origin of Life on Earth, Scientific American, vol 271, October 1994, hal. 78
143. Charles Darwin, The Origin of Species: A Facsimile of the First Edition, Harvard University Press, 1964, hal. 189
144. Charles Darwin, The Origin of Species: A Facsimile of the First Edition, Harvard University Press, 1964, hal. 184.
145. B. G. Ranganathan, Origins?, Pennsylvania: The Banner Of Truth Trust, 1988.
146. Charles Darwin, The Origin of Species: A Facsimile of the First Edition, Harvard University Press, 1964, hal. 179
147. Derek A. Ager, “The Nature of the Fossil Record”, Proceedings of the British Geological Association, vol 87, 1976, hal. 133
148. Douglas J. Futuyma, Science on Trial, New York: Pantheon Books, 1983. hal. 197
149. Solly Zuckerman, Beyond The Ivory Tower, New York: Toplinger Publications, 1970, ss. 75-94; Charles E. Oxnard, “The Place of Australopithecines in Human Evolution: Grounds for Doubt”, Nature, vol 258, hal. 389
150. J. Rennie, “Darwin’s Current Bulldog: Ernst Mayr”, Scientific American, December 1992
151. Alan Walker, Science, vol. 207, 1980, hal. 1103; A. J. Kelso, Physical Antropology, 1st ed., New York: J. B. Lipincott Co., 1970, s. 221; M. D. Leakey, Olduvai Gorge, vol. 3, Cambridge: Cambridge University Press, 1971, hal. 272
152. Time, November 1996
153. S. J. Gould, Natural History, vol. 85, 1976, hal. 30
154. Solly Zuckerman, Beyond The Ivory Tower, New York: Toplinger Publications, 1970, hal. 19
155. Richard Lewontin, “The Demon-Haunted World”, The New York Review of Books, 9 January, 1997, hal. 28.


Mereka menjawab:”Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Al Baqarah, 2:32)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar