Sabtu, 24 April 2010

Hubungan Diplomatik Menurut Hukum Internasional

Perkembangan masyarakat internasional yang demikian pesat memberikan suatu dimensi baru dalam hubungan internasional. Hukum internasional telah memberikan suatu pedoman pelaksanaan yang berupa konvensi-konvensi internasional dalam pelaksanaan hubungan ini. Ketentuan-ketentuan dari konvensi ini kemudian menjadi dasar bagi negara-negara dalam melaksanakan hubungannya dengan negara lainnya di dunia.
Awalnya pelaksanaan hubungan diplomatik antar negara didasarkan pada prinsip kebiasaan yang dianut oleh praktik-praktik negara, prinsip kebiasaan berkembang demikian pesatnya hingga hampir seluruh negara di dunia melakukan hubungan internasionalnya berdasarkan pada prinsip tersebut. Dengan semakin pesatnya pemakaian prinsip kebiasaan yang dianut oleh praktik-praktik negara kemudian prinsip ini menjadi kebiasaan internasional yang merupakan suatu kebiasaan yang diterima umum sebagai hukum oleh masyarakat internasional.

Dengan semakin berkembangnya hubungan antar negara, maka dirasakan perlu untuk membuat suatu peraturan yang dapat mengakomodasi semua kepentingan negara-negara tersebut hingga akhirnya Komisi Hukum Internasional (International Law Comission) menyusun suatu rancangan konvensi internasional yang merupakan suatu wujud dari kebiasaan-kebiasaan internasional di bidang hukum diplomatik yang kemudian dikenal dengan Viena Convention on Diplomatic Relation 1961 (Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik). Konvensi Wina 1961 adalah sebagai pengakuan oleh semua negara-negara akan adanya wakil-wakil diplomatik yang sudah ada sejak dahulu.
Konvensi Wina 1961 telah menandai tonggak sejarah yang sangat penting karena masyarakat internasional dalam mengatur hubungan bernegara telah dapat menyusun kodifikasi prinsip-prinsip hukum diplomatik, khususnya yang menyangkut kekebalan dan keistimewaan diplomatik yang sangat mutlak diperlukan bagi semua negara, khususnya para pihak agar di dalam melaksanakan hubungan satu sama lain dapat melakukan fungsi dan tugas diplomatiknya dengan baik dalam rangka memelihara perdamaian dan keamanan internasional serta dalam meningkatkan hubungan bersahabat di antara semua negara. Konvensi Wina 1961 membawa pengaruh sangat besar dalam perkembangan hukum diplomatik. Hampir semua negara yang mengadakan hubungan diplomatik menggunakan ketentuan dalam konvensi ini sebagai landasan hukum pelaksanaannya.
Agar suatu konvensi dapat mengikat negara tersebut maka tiap negara haruslah menjadi pihak dalam konvensi. Adapun kesepakatan untuk mengikatkan diri pada konvensi merupakan tindak lanjut negara-negara setelah diselesaikan suatu perundingan untuk membentuk perjanjian internasional. Tindakan-tindakan inilah yang melahirkan kewajiban-kewajiban tertentu bagi negara, kewajiban tersebut antara lain adalah kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan maksud dan tujuan konvensi. Akibat dari pengikatan diri ini adalah negara-negara yang menjadi peserta harus tunduk pada peraturan-peraturan yang terdapat dalam konvensi baik secara keseluruhan atau sebagaian.
Akibat dari adanya perbedaan-perbedaan pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam perjanjian internasional oleh dua negara akan menimbulkan sengketa. Berdasarkan kajian historis diplomasi, telah didokumentasikan ada sekitar 14 ragam tindakan atau reaksi yang dilakukan suatu negara kepada negara lain jika suatu sengketa terjadi. Di antaranya adalah surat protes, denials/accusation (tuduhan/penyangkalan), pemanggilan dubes untuk konsultasi, penarikan dubes, ancaman boikot atau embargo ekonomi (parsial atau total), propaganda anti negara tersebut di dalam negeri, pemutusan hubungan diplomatik secara resmi, mobilisasi pasukan militer (parsial atau penuh) walaupun sebatas tindakan nonviolent, peniadaan kontak antar warganegara (termasuk komunikasi), blokade formal, penggunaan kekuatan militer terbatas (limited use of force) dan pencetusan perang. Namun tindakan-tindakan tersebut tidak mesti berurutan, karena dapat saja melompat dari yang satu ke yang lain. Untuk sampai kepada tingkat ketegangan berupa pemutusan hubungan diplomatik, apalagi perang, perlu ditakar terlebih dahulu derajat urgensinya sebelum pengambilan keputusan yang bersifat drastis tersebut. Perang adalah kebijakan paling ekstrim yang dapat saja terjadi, namun tidak terjadi dengan begitu saja. Dalam teori diplomasi klasik kerap disebut bahwa perang terjadi jika diplomasi telah gagal. Pada praktek politik kontemporer, perang dan diplomasi dapat saja berjalan bersamaan. Namun demikian pencetusan perang tetap merupakan keputusan besar dengan biaya yang sangat mahal, baik secara ekonomis, politis bahkan pengorbanan darah/nyawa. Oleh sebab itu, pencetusannya tidak cukup hanya karena pertimbangan emosional.
Perkembangan dunia yang terdiri dari berbagai negara berdaulat ini, terdapat dua faktor yang paling penting dalam pemeliharaan perdamaian, yaitu hukum internasional dan diplomasi. Hukum internasional memberikan tatanan bagi dunia yang bagaimanapun anarkis, bagi pemeliharaaan perdamaian. Diplomasi mempunyai peran yang sangat beragam dalam hubungan internasional. Upaya manusia untuk memecahkan persoalan perang dan damai telah dianggap sebagai metode manusia yang paling tua. Diplomasi, dengan penerapan metode negosiasi, persuasi, tukar pikiran, dan sebagainya dalam menjalankan hubungan antara masyarakat yang terorganisasi mengurangi kemungkinan penggunaan kekuatan yang sering tersembunyi di belakangya. Pentingnya diplomasi sebagai pemelihara keseimbangan dan kedamaian tatanan internasional telah sangat meningkat dalam dunia modern ini. Seperti dinyatakan oleh Morgenthau, suatu pra-kondisi bagi penciptaan dunia yang damai adalah berkembangnya konsesus internasional baru memungkinkan diplomasi mendukung perdamaian melalui penyesuaian (peace trough accomodation).

Berdasarkan kasus-kasus pelanggaran hubungan diplomatik yang terjadi dalam kurun waktu 1961 sampai sekarang adalah banyaknya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi berkaitan dengan kekebalan diri pribadi pejabat diplomatik dan juga pelanggaran gedung perwakilan diplomatik. Oleh karena itu di posting berikutnya akan dijelaskan bagaimana mekanisme penyelesaian terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi berkaitan dengan hal tersebut berdasarkan hukum internasional dan praktik-praktik yang telah diterapkan oleh beberapa negara di dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar