Pandangan
seorang Pejuang Kemerdekaan Indonesia
Sayidiman
Suryohadiprojo Letjen TNI (Purn)
Berdirinya
Republik Indonesia Serikat (RIS)
Serangan
militer Belanda terhadap RI pada tanggal 19 Desember 1948 ternyata tidak
memberikan hasil sebagaimana diharapkan para pemimpin Belanda. Sekalipun
serangan mendadak itu secara militer berhasil merebut Yogyakarta, ibukota
Revolusi RI secara cepat, namun kemudian Belanda tidak dapat memperoleh hasil
politik yang diinginkan.
Tujuan
politik Belanda adalah menaklukkan Republik Indonesia dan meniadakannya sebagai
kenyataan politik. Sebab selama RI itu ada, Belanda tak dapat menegakkan
kembali kekuasaan penjajahannya atas bumi Indonesia. Padahal Belanda sangat
terdesak dalam segi keuangannya, karena AS sebagai sumber bantuan utama tidak
memberikan bantuan keuangan yang cukup bagi Belanda untuk mengembangkan
negaranya dan menguasai kembali Indonesia. Sebab itu di samping Tujuan Politik
Belanda mempunyai Tujuan Ekonomi, yaitu secepat mungkin menguasai Indonesia
untuk menghidupkan kembali usaha perkebunan guna memperoleh pemasukan penting
bagi kas negaranya.
Perlawanan
Rakyat Indonesia bersama Tentara Nasional Indonesia tidak berhasil dipatahkan
Belanda hanya dengan merebut Yogyakarta dan kota-kota lain di Jawa dan Sumatra.
Berkobar perlawanan itu dan makin merugikan Belanda, baik secara politik maupun
militer. Terbukti kebenaran dalil bahwa gerilya menang selama lawan tak mampu
menghabiskannya secara tuntas. Perlawanan itu tidak memungkinkan Belanda
mencapai Tujuan Ekonominya, karena perkebunan-perkebunan tidak dapat
berproduksi dengan baik dan lalu lintas antar-kota sangat terganggu atau bahkan
putus sama sekali akibat perlawanan gerilya TNI bersama Rakyat.
Sejak
permulaan serangan Belanda kaum diplomat RI di luar negeri sudah beraksi dan
berhasil mengajak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menyalahkan Belanda
melakukan serangan 19 Desember 1948. Pada tanggal 26 Januari 1949 Dewan
Keamanan (DK) PBB mengeluarkan resolusi yang mengecam serangan Belanda tersebut,
dan menuntut agar kekuasaan RI ditegakkan kembali serta dilanjutkan perundingan
antara pihak RI dan Belanda untuk mencapai penyelesaian damai, sebagaimana
sedang dilakukan sebelum Belanda menyerang.
Atas dasar
keputusan itu perundingan antara kedua pihak dibuka kembali dengan Mr. Mohamad
Roem sebagai ketua delegasi RI dan Dr van Roijen sebagai ketua delegasi
Belanda. Pada tanggal 6 Juli 1949 diputuskan tegaknya kembali pemerintahan RI.
Atas dasar itu Presiden Soekarno serta Wakil Presiden Mohamad Hatta kembali ke
Yogyakarta dari tempat penahanan di Bangka untuk memegang kembali pimpinan
pemerintahan RI.
Dalam
persetujuan Roem-Van Roijen juga disepakati bahwa akan diadakan Konferensi Meja
Bundar (KMB) di Belanda untuk proses penyerahan kedaulatan Belanda atas wilayah
Indonesia kepada bangsa Indonesia. Untuk itu harus diadakan penghentian
permusuhan terlebih dahulu antara Indonesia dan Belanda.
Maka pada
tanggal 6 Juli 1949 Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta kembali
ke Yogyakarta untuk memimpin kembali pemerintah RI. Panglima Besar Sudirman
yang tidak bersedia turut ditahan Belanda, sekalipun dalam kondisi kurang sehat
, selama Perang Kemerdekaan terus memimpin perlawanan bangsa Indonesia terhadap
Belanda. Maka Pak Dirman yang berada di daerah gerilya di Jawa Timur diminta
pulang ke Yogyakarta.
Dalam
pertemuan dengan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh Hatta dijelaskan
kepada Pak Dirman bahwa dalam waktu dekat akan diadakan KMB antara RI dan
Belanda untuk penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada bangsa Indonesia. Untuk
itu harus diadakan penghentian permusuhan dan diminta kepada Panglima Besar
agar mengeluarkan perintah penghentian permusuhan kepada seluruh pasukan TNI
dan rakyat yang melawan.
Pak Dirman
menyatakan tidak keberatan ada KMB tetapi jangan telalu cepat. Sebab waktu itu
perlawanan TNI bersama Rakyat sedang memetik banyak keuntungan di mana-mana.
Kalau itu dilanjutkan dulu maka RI akan mempunyai posisi atau leverage yang
lebih kuat dalam perundingan. Akan tetapi Bung Karno menyatakan bahwa KMB harus
diadakan dalam tahun 1949 agar pada permulaan 1950 kedaulatan sudah ada di
tangan bangsa Indonesia. Bung Karno dan Bung Hatta minta dukungan Pak Dirman,
dan tanpa itu Dwi Tunggal tidak bersedia melanjutkan kepemimpinan atas bangsa
Indonesia. Dengan sangat berat bahkan dengan meneteskan air mata Pak Dirman
menyatakan dukungannya, karena sadar bahwa kepemimpinan Dwi Tunggal mutlak
diperlukan untuk keberhasilan perjuangan nasional.
Kemudian
dikeluarkan perintah penghentian permusuhan yang mengakhiri seluruh perlawanan
TNI bersama Rakyat terhadap Belanda.
Konferensi
Meja Bundar (KMB) dilakukan di Den Haag, Belanda pada 23 Agustus hingga 2
November 1949. KMB sebenarnya merupakan satu pertemuan antara delegasi-delegasi
Republik Indonesia (RI) dan Kerajaan Nederland atau Belanda sebagai dua pihak
yang bermusuhan. Akan tetapi di samping dua delegasi itu hadir pula delegasi
dari apa yang dinamakan Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO), yaitu
kumpulan negara-negara boneka ciptaan Belanda di Indonesia sejak tahun 1945.[2]
Dalam KMB
pihak Amerika Serikat bertindak sebagai penengah.
Ternyata
sejak tahun 1946 di pimpinan RI sudah ada persetujuan bahwa negara Indonesia
yang dibentuk setelah pengakuan kedaulatan bangsa adalah satu negara federal
yang memberi tempat bagi negara-negara yang telah dibuat Belanda sejak usahanya
menaklukkan RI. Mungkin sekali ini adalah kompromis yang disetujui pimpinan RI
dalam berbagai perundingan antara RI dan Belanda yang mula-mula ditengahi
Inggeris, kemudian dilakukan oleh satu Komisi Tiga Negara (KTN) dengan Amerika
Serikat sebagai ketua dan Australia (yang dipilih RI) dan Kanada (yang dipilih
Belanda) sebagai anggota .
Atas dasar
kompromis untuk menerima negara boneka Belanda sebagai bagian negara federal,
maka pada tanggal 31 Juli hingga 2 Agustus 1949 di Yogya diadakan Inter-Indonesian
Conference antara pimpinan RI dan pimpinan negara-negara buatan Belanda
itu. Konferensi itu diadakan untuk menghadapi KMB serta bentuk negara federal
yang akan dibentuk.
Keputusan
KMB di Den Haag adalah :
1. Belanda
menyerahkan kedaulatan atas Indonesia kepada negara Republik Indonesia Serikat
(RIS), kecuali Irian Barat.
2. Dibentuk
Uni Indonesia – Belanda di bawah Mahkota Belanda.
3. Semua
hutang Hindia Belanda beralih ke RIS.
4. TNI yang
menjadi Angkatan Perang RIS menerima semua personil bekas tentara Hindia
Belanda (KNIL) yang tidak turut ke Belanda.
Dengan
keputusan itu maka Republik Indonesia (RI) menjadi satu negara bagian dalam RIS
yang statusnya sama dengan negara-negara ciptaan Belanda.
Pada tanggal
27 Desember 1949 di ibukota Belanda Amsterdam diadakan penyerahan kedaulatan
dari Belanda yang diwakili oleh Ratu Juliana kepada Indonesia diwakili Drs Moh
Hatta sebagai Ketua Delegasi RI, sedangkan di Jakarta pada hari sama dilakukan
penyerahan kedaulatan itu dengan menurunkan bendera Belanda depan Istana
Merdeka dan Bendera Sang Saka Merah Putih berkibar sebagai tanda kedaulatan
Indonesia. Dalam upacara tersebut Belanda diwakili Wakil Mahkota Agung Lovink
sedangkan Indonesia diwakili Sultan Hamangku Buwono IX.
Dengan acara
tersebut RIS berdiri secara resmi, terdiri atas 16 negara bagian dengan Jakarta
sebagai ibukota dan Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara.
Pendapat
tentang RIS di kalangan pejuang kemerdekaan TNI
Di kalangan
para pejuang kemerdekaan TNI ada rasa sedih bercampur marah bahwa perjuangan
bangsa mewujudkan hasil yang jauh dari yang mereka inginkan.
Pertama
mereka marah bahwa Republik Indonesia yang mereka bela dan perjuangkan hanya
menjadi negara bagian dari RIS setingkat dengan negara buatan Belanda yang
merupakan boneka kehendak Belanda. Dan bahwa negara Indonesia yang memperoleh
kedaulatan itu masih berada di bawah Mahkota Belanda. Ditambah lagi penyerahan
kedaulatan itu tidak meliputi Irian Barat, padahal yang dimufakati adalah
penyerahan kedaulatan atas wilayah bekas Hindia Belanda yang jelas meliputi
Irian Barat.
Kedua,
mereka marah bahwa Indonesia harus menanggung semua hutang Hindia Belanda,
padahal biaya itu sebagian besar digunakan untuk memerangi dan menghancurkan RI
serta memusnahkan mereka sebagai pejuang kemerdekaan. Berarti Indonesia
membiaya kehancuran dan pemusnahannya sendiri, satu hal yang amat tidak ada
logikanya. Apalagi setelah diketahui bahwa jumlah hutang itu sebesar 4,8 milyar
gulden Belanda, satu jumlah uang yang ketika itu besar sekali.
Ketiga,
mereka merasa gusar bahwa sekalipun TNI diakui sebagai Angkatan Perang RIS,
tetapi harus menerima dan mengintegrasikan bekas anggota tentara Belanda
(khususnya KNIL) yang tidak turut kembali ke Belanda., bekas musuhnya yang
sering amat kejam kepada Rakyat dan anggota TNI yang tertawan. Apalagi kemudian
mereka melihat bahwa bekas tentara Belanda itu mendapat kenaikan pangkat yang
tidak masuk akal ketika bergabung dengan TNI. Seperti seorang sersan KNIL
diberi pangkat letnan satu, seorang pembantu letnan menjadi kapten, seorang
letnan menjadi mayor atau letnan kolonel.
Maka buat
pejuang kemerdekaan KMB bukan satu konferensi yang berhasil bagi Indonesia,
sekalipun terjadi penyerahan dan pengakuan kedaualatan kepada bangsa Indonesia.
Mereka harus selalu mendapat penjelasan atau bujukan bahwa pemerintah RI, jadi
termasuk Dwi Tunggal Bung Karno – Bung Hatta (malahan Bung Hatta yang memimpin
delegasi RI di KMB), mau menerima hasil KMB karena yang paling penting bagi
bangsa Indonesia adalah secepat mungkin diakui kemerdekaan dan kedaulatannya.
Para pemimpin RI yakin bahwa setelah menjadi bangsa merdeka dan berdaulat,
segala kekurangan akan dapat diatasi.
Sebenarnya
sikap demikian pada para pemimpin yang berkuasa dalam pemerintah RI, yaitu
sikap kompromis, memang berkembang sejak tahun 1945. Di antara pemimpin itu
Bung Sutan Syahrir yang sejak akhir 1945 menjadi Perdana Menteri RI pertama
telah secara terang-terangan menyatakan bahwa Indonesia sebenarnya belum siap
untuk merdeka dan perlu lima tahun lagi untuk mencapai kemerdekaan yang betul,
dan ini perlu dilakukan melalui bantuan Belanda.[3]
Tidak sekali saja Bung Syahrir menyatakan bahwa Indonesia masih memerlukan
sekitar 5 tahun agar benar-benar bisa meredeka, termasuk depan mahasiswa di
Jakarta.
Selain Bung
Syahrir yang jelas sikapnya yang kompromistis adalah Bung Amir Syarifuddin yang
menjadi menteri pertahanan dalam kabinet Syahrir pertama. Bung Amir sejak
permulaan diketahui dekat hubungannya dengan Belanda. Bersama Bung Syahrir ,
Bung Amir memimpin Partai Sosialis yang berdiri setelah Indonesia merdeka. Maka
ada hubungan dekat dengan pimpinan partai Belanda berhaluan sosialis, yaitu
Partij van de Arbeid (PVDA) dan partai sosialis Inggeris (Labour Party). Para
pemimpin Partai Sosialis yakin bahwa atas dasar solidaritas sosialis kaum
sosialis Belanda akan membantu Indonesia mewujudkan kemerdekaannya.
Sejak
permulaan pendudukan Jepang ada persetujuan antara Bung Karno, Bung Hatta dan
Bung Syahrir dalam menghadapi Jepang. Mereka bertiga kuat bersatu dalam
perjuangan mencapai kemerdekaan bangsa dan berusaha memperoleh manfaat maksimal
dari pendudukan Jepang. Dalam nenghadapi Jepang Dwi Tunggal akan bekerja sama
dengan Jepang untuk memperoleh hal terbaik bagi Indonesia dalam kekuasaan
Jepang yang keras dan kejam. Sedangkan Bung Syahrir ditetapkan untuk bergerak
bebas dari Jepang untuk liwat gerakan bawah tanah terus menyiapkan bangsa untuk
merdeka. Di samping itu juga mengamankan Dwi Tunggal., khususnya pada saat
Jepang kalah, untuk menghadapi berbagai tuduhan Belanda dan kalangan Sekutu
bahwa Dwi Tunggal berkolaborasi dengan Jepang. Adalah karena intervensi Bung
Karno pihak militer Jepang membatalkan keputusannya menghukum mati Bung Amir
Syarifuddin yang oleh kawan-kawannya sendiri dikhianati telah menerima dana
dari Belanda untuk menyusun perlawanan terhadap Jepang.
Sebab itu
sejak permulaan para pemimpin RI sama sikapnya dalam menyongsong kemerdekaan
dan ini kemudian termasuk kesediaan untuk berunding dengan Inggeris dan
Belanda. Sikap dasar mereka adalah bahwa Sekutu telah menang perang dan karena
itu kuat posisinya. Sedangkan bangsa Indonesia kurang kuat, juga untuk
menghadapi Belanda dengan cara militer. Para pemimpin waktu itu melihat
perlawanan militer dari segi konvensional belaka dan tidak memahami
meningkatnya makna perlawanan gerilya atau non-konvensional. Karena bangsa
Indonesia waktu itu kurang mempunyai kekuatan untuk melakukan perlawanan
militer konvensional, maka para pemimpin berpendapat bahwa usaha menyelamatkan
kemerdekaan harus dengan cara perundingan. [4]
Sikap itu
memudahkan usaha Lord Killearn dari Inggeris untuk mengajak para
pemimpin RI bertemu dengan pemimpin Belanda untuk merundingkan masa depan
Indonesia. Usaha ini menghasilkan diadakannya Persetujuan Linggarjati pada 11
November 1946.
Persetujuan
Linggarjati antara lain menghasilkan hal-hal yang sejak permulaan menunjukkan
kesediaan para pemimpin RI untuk menerima berbagai hasil yang kemudian menjadi
hasil KMB. Seperti pembentukan satu negara federal Republik Indonesia Serikat
dengan RI sebagai negara bagian yang wilayahnya meliputi Jawa, Sumatra dan
Madura saja. Juga bahwa RIS akan menjadi bagian Persemakmuran Belanda dengan
dipimpin Mahkota Belanda.
Akan tetapi
Belanda setelah tercapai Persetujuan Linggarjati melakukan Aksi Militer ke 1
pada tanggal 21 Juli 1947, karena Belanda menghadapi keadaan ekonomi yang makin
mendesak sehingga perlu cepat menghidupkan produksi di Indonesia dengan
dikuasai Belanda. Bukan karena Belanda kurang cocok dengan hasil Persetujuan
Linggarjati, melainkan merasa perlu cepat menguasai Indonesia. Nanti hal serupa
terjadi ketika melakukan Aksi Militer 2 pada tanggal 19 Desember 1948. Hal ini
menunjukkan kesalahan pendapat para pemimpin kita bahwa Belanda akan tetap pada
sikap berunding atau diplomasi saja. Selain itu kekuatan politik lain di
Belanda di luar kalangan sosialisnya, terutama kalangan militernya, sejak
semula tidak rela Indonesia merdeka. Buat mereka perundingan hanya bermanfaat
untuk mengembalikan Indonesia sebagai daerah jajahan Belanda.
Akan tetapi
juga di kalangan RI tidak semua pihak setuju dengan sikap kompromis itu. Yang
jelas dan tegas tidak setuju adalah kalangan yang dekat dengan Tan Malaka yang
membentuk Persatuan Perjuangan. Selain itu partai PNI dan Masyumi tidak setuju.
Juga termasuk tidak setuju adalah Panglima Besar Sudirman yang berpendapat
bahwa Belanda tak mungkin dapat dipercaya karena kepentingannya terlalu besar
dan luas di Indonesia. Buat Pak Dirman kemerdekaan harus diperjuangkan dan tak
mungkin mengharapkan kebaikan hati Belanda sebagai penjajah. Kemerdekaan bangsa
tak dapat di-kompromis-kan. Sebab itu tidak jarang Pak Dirman menunjukkan sikap
dekat kepada Persatuan Perjuangan dan Tan Malaka.
Itu sebabnya
Pak Dirman pada tahun 1949 mula-mula tidak setuju diadakan KMB cepat-cepat,
ketika perlawanan Rakyat bersama TNI memukul Belanda di banyak tempat dan
menggagalkan Belanda mencapai Tujuan Politik dan Ekonominya. Sikap Pak Dirman
juga dianut banyak kalangan TNI, sekalipun ada beberapa orang yang mendukung
politik berunding dan kompromis yang dianut para pemimpin pemerintah RI. Bahwa
Pak Dirman akhirnya memberikan persetujuan diadakan penghentian permusuhan
segera untuk memungkinkan berlangsungnya KMB pada tahun 1949, adalah
semata-mata kesadaran beliau bahwa kepemimpinan Dwi Tunggal atas bangsa
Indonesia mutlak diperlukan. Karena Bung Karno menyatakan bahwa beliau dan Bung
Hatta tidak bersedia melanjutkan pimpinan tanpa dukungan Pak Dirman, maka
itulah yang membuat Pak Dirman memberikan persetujuannya. Pak Dirman yakin
bahwa bangsa Indonesia harus dipimpin Dwi Tunggal untuk dapat mencapai
kemerdekaan.
Di sini
kemudian lahir sikap TNI, yaitu bahwa TNI boleh kritis terhadap rencana dan
gagasan pimpinan negara. Akan tetapi bila pimpinan negara menyatakan keputusannya
maka TNI secara loyal mendukungnya dengan penuh keseungguh-sungguhan, sekalipun
keputusan itu berbeda dengan yang dipikirkan dan diinginkan TNI.
Hasil KMB
yang kurang menyenangkan itu juga terjadi karena AS sebagai pihak penengah
lebih dekat kepada Belanda sebagai sekutunya dalam Perang Dunia 2 maupun NATO.
Hasil itu membuktikan kebenaran pendapat Pak Dirman dan para pejuang
kemerdekaan TNI yang kurang setuju dengan berunding saja. Maka setelah KMB
tercapai menjadi kewajiban perjuangan bagaimana membuat hasil itu tidak
merugikan perjuangan bangsa Indonesia. Yang utama dan pertama diperlukan adalah
bagaimana meniadakan eksistensi RIS dan konsepsi negara federal yang merupakan
senjata Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Republik Indonesia harus diperjuangkan
menjadi satu-satunya organisasi kenegaraan yang memegang kedaulatan di bumi
Indonesia.
Berakhirnya
Republik Indonesia Serikat
Baik
lingkungan politik maupun TNI kemudian mengusahakan agar dapat diwujudkan
kondisi yang memungkinkan RIS berakhir tanpa melanggar hasil KMB. Peran TNI
pertama adalah usaha untuk mempengaruhi masyarakat di negara-negara bagian
buatan Belanda. Sebab itu secepat mungkin pasukan-pasukan TNI harus masuk
wilayah negara boneka itu.
Belanda dan
pimpinan negara boneka yang dekat kepada Belanda juga menyadari itu. Sebab itu
mereka mengusahakan agar Sultan Hamid dari Kalimantan Barat yang bekas perwira
Belanda di KNIL, menjadi menteri pertahanan RIS. Sebaliknya kalangan RI
memperjuangkan hal itu tidak terwujud dan mencalonkan Sultan Hamangku Buwono IX
sebagai menteri pertahanan RIS. Akhirnya Belanda dan BFO tidak dapat mencegah
Sultan HB IX yang diangkat menjadi menteri pertahanan RIS.
Dengan Sri
Sultan sebagai menteri pertahanan pimpinan TNI dengan cepat dapat menggerakkan
pasukan-pasukan TNI dari wilayah RI masuk negara boneka. Dalam hal ini yang
amat menentukan adalah wilayah Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatra Timur.
Sebab di NIT terdapat wilayah Menado dan Maluku yang sejak masa penjajahan amat
kuat berpihak penjajah Belanda. Sedangkan di NST terdapat perkebunan-perkebunan
yang menjadi incaran kekuasaan Belanda.
Dipindahkannya
Kolonel Alex Kawilarang dari komando TNI di Sumatra menjadi panglima TNI di
wilayah NIT (kemudian diberi nama Tentara & Territorium VII atau TT 7)
adalah satu tindakan strategis yang amat tepat dan berhasil. Dengan begitu
Sulawesi Utara (Alex Kawilarang adalah putera Menado) tidak pernah menjadi
persoalan bagi RI. Padahal dalam masa penjajahan Belanda sebelum PD 2 wilayah
Manado sering disebut provinsi ke 12 Belanda (negara Belanda di Eropa Barat
terdiri dari 11 provinsi ). Juga dengan kepemimpinan Kawilarang semua
perlawanan bekas KNIL di NIT, seperti pemberontakan Andi Azis dan Republik
Maluku Selatan (RMS), dapat diatasi dengan sukses.
Usaha TNI di
seluruh wilayah RIS difokuskan kepada usaha territorial, yaitu mempengaruhi
rakyat agar bergabung kepada Republik Indonesia. Pengaruh keberadaan pasukan
TNI sebagai dukungan usaha territorial itu sangat penting, terutama sikap
prajurit TNI yang dekat kepada Rakyat dan berbeda dengan sikap KNIL yang
sebagai tentara penjajahan menindas atau sekurang-kurangnya menjauhi Rakyat.
Usaha
territorial TNI makin lama makin menunjukkan hasil. Rakyat negara boneka dapat
mendesak para pemimpinnya yang menjadi anggota dewan perwakilan rakyat negara
boneka itu. Makin banyak anggota DPR negara boneka bersuara agar negaranya
bergabung kepada RI. Ketika terjadi keunggulan suara dalam DPR itu maka
pimpinan negara boneka itu mau tidak mau harus menerima kehendak rakyat dan
turut menyatakan kehendaknya agar negaranya bergabung dengan RI. Belanda dengan
sangat mendongkol dan marah melihat proses itu, tetapi tidak dapat
mengintervensi karena itu semua hasil dari proses demokrasi yang selalu oleh
Belanda dijadikan ukuran kenegaraan.
Satu per
satu negara bagian RIS menyatakan bergabung pada RI. Pada akhir Maret 1950
tinggal ada 4 negara bagian dalam RIS, yaitu RI, Negara Kalimantan Barat,
Negara Sumatra Timur dan Negara Indonesia Timur. Dan pada akhir bulan April
1950 tinggal Republik Indonesia sebagai negara bagian. Dengan begitu secara de
facto RIS sudah tidak ada dan RI satu-satunya negara di Indonesia. Maka pada
tanggal 15 Agustus 1950 diadakan rapat gabungan DPR dan Senat RIS menetapkan
berakhirnya Republik Indonesia Serikat dan menandatangani piagam terbentuknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan pada tanggal 17 Agustus 1950
Republik Indonesia secara resmi terbentuk kembali sebagai Negara Kesatuan RI.
Dengan
demikian sejarah RIS berakhir dan RI tegak kembali sebagai pemegang kedaulatan
bangsa Indonesia tanpa terjadi pengeluaran satu tembakan pun. Seringkali
kemudian ada ucapan lingkungan politik bahwa hal itu adalah jasa kaum politik.
Memang kaum politik RI telah membuat berbagai usaha untuk mempengaruhi rekannya
dari BFO. Akan tetapi itu semua sukar mencapai hasil seperti yang terjadi tanpa
dukungan TNI. Sebab pada tahun 1950 tentara Belanda masih banyak yang ada di
Indonesia sebelum mereka dipulangkan ke Belanda. Mau tidak mau kehadiran
kekuatan militer itu berpengaruh pada pikiran dan perasaan rakyat dan para
pemimpinnya, khususnya yang duduk di DPR negara boneka. Maka nyata sekali peran
TNI dalam perubahan yang amat sukses itu bagi perjuangan kemerdekaan bangsa.
Sebab itu keberhasilan perjuangan kemerdekaan untuk mencapai kedaulatan bangsa
dan negara adalah hasil kombinasi perjuangan politik-diplomasi dan perjuangan
militer bangsa Indonesia. Bukan kemenangan politik saja atau militer saja.
Setelah itu
langkah demi langkah dibatalkan hasil KMB secara keseluruhan. Dimulai dengan
pernyataan RI yang secara sepihak membatalkan hasil KMB pada tanggal 22 Mei
1956. Itu termasuk berakhirnya pembayaran hutang Hindia Belanda yang belum
dibayar RIS. Dan terakhir adalah kembalinya Irian Barat ke wilayah nasional
Republik Indonesia pada 15 Agustus 1962.
Dengan begitu bangsa Indonesia telah benar-benar
berhasil mewujudkan kemerdekaannya. Namun karena kemerdekaan negara dan bangsa,
betapa pun pentingnya bagi bangsa Indonesia, hanya merupakan jembatan untuk
mencapai Tujuan Nasional, yaitu terwujudnya Masyarakat yang Adil dan Makmur
berdasarkan Pancasila, maka perjuangan belum selesai. Sekarang pun 65 tahun
setelah Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Tujuan Nasional itu masih
jauh dari kenyataan. Pancasila masih belum menjadi kenyataan di Bumi Indonesia,
Rakyat Indonesia masih diliputi banyak kemiskinan dan keadilan secara lahir
maupun batin masih di awang-awangBerakhirnya Republik Indonesia Serikat Kembali Nkri Berkuasa Di Indonesia
Posted by Admin on Wednesday, 4 August 2010 | Makalah
Pandangan seorang Pejuang Kemerdekaan Indonesia
Sayidiman Suryohadiprojo[1]
Letjen TNI (Purn)
Berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS)
Serangan militer Belanda terhadap RI pada tanggal 19
Desember 1948 ternyata tidak memberikan hasil sebagaimana diharapkan
para pemimpin Belanda. Sekalipun serangan mendadak itu secara militer
berhasil merebut Yogyakarta, ibukota Revolusi RI secara cepat, namun
kemudian Belanda tidak dapat memperoleh hasil politik yang diinginkan.
Tujuan politik Belanda adalah menaklukkan Republik
Indonesia dan meniadakannya sebagai kenyataan politik. Sebab selama RI
itu ada, Belanda tak dapat menegakkan kembali kekuasaan penjajahannya
atas bumi Indonesia. Padahal Belanda sangat terdesak dalam segi
keuangannya, karena AS sebagai sumber bantuan utama tidak memberikan
bantuan keuangan yang cukup bagi Belanda untuk mengembangkan negaranya
dan menguasai kembali Indonesia. Sebab itu di samping Tujuan Politik
Belanda mempunyai Tujuan Ekonomi, yaitu secepat mungkin menguasai
Indonesia untuk menghidupkan kembali usaha perkebunan guna memperoleh
pemasukan penting bagi kas negaranya.
Perlawanan Rakyat Indonesia bersama Tentara Nasional
Indonesia tidak berhasil dipatahkan Belanda hanya dengan merebut
Yogyakarta dan kota-kota lain di Jawa dan Sumatra. Berkobar perlawanan
itu dan makin merugikan Belanda, baik secara politik maupun militer.
Terbukti kebenaran dalil bahwa gerilya menang selama lawan tak mampu
menghabiskannya secara tuntas. Perlawanan itu tidak memungkinkan Belanda
mencapai Tujuan Ekonominya, karena perkebunan-perkebunan tidak dapat
berproduksi dengan baik dan lalu lintas antar-kota sangat terganggu atau
bahkan putus sama sekali akibat perlawanan gerilya TNI bersama Rakyat.
Sejak permulaan serangan Belanda kaum diplomat RI di
luar negeri sudah beraksi dan berhasil mengajak Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menyalahkan Belanda melakukan serangan 19
Desember 1948. Pada tanggal 26 Januari 1949 Dewan Keamanan (DK) PBB
mengeluarkan resolusi yang mengecam serangan Belanda tersebut, dan
menuntut agar kekuasaan RI ditegakkan kembali serta dilanjutkan
perundingan antara pihak RI dan Belanda untuk mencapai penyelesaian
damai, sebagaimana sedang dilakukan sebelum Belanda menyerang.
Atas dasar keputusan itu perundingan antara kedua
pihak dibuka kembali dengan Mr. Mohamad Roem sebagai ketua delegasi RI
dan Dr van Roijen sebagai ketua delegasi Belanda. Pada tanggal 6 Juli
1949 diputuskan tegaknya kembali pemerintahan RI. Atas dasar itu
Presiden Soekarno serta Wakil Presiden Mohamad Hatta kembali ke
Yogyakarta dari tempat penahanan di Bangka untuk memegang kembali
pimpinan pemerintahan RI.
Dalam persetujuan Roem-Van Roijen juga disepakati
bahwa akan diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda untuk proses
penyerahan kedaulatan Belanda atas wilayah Indonesia kepada bangsa
Indonesia. Untuk itu harus diadakan penghentian permusuhan terlebih
dahulu antara Indonesia dan Belanda.
Maka pada tanggal 6 Juli 1949 Presiden Soekarno dan
Wakil Presiden Mohamad Hatta kembali ke Yogyakarta untuk memimpin
kembali pemerintah RI. Panglima Besar Sudirman yang tidak bersedia turut
ditahan Belanda, sekalipun dalam kondisi kurang sehat , selama Perang
Kemerdekaan terus memimpin perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda.
Maka Pak Dirman yang berada di daerah gerilya di Jawa Timur diminta
pulang ke Yogyakarta.
Dalam pertemuan dengan Presiden Soekarno dan Wakil
Presiden Moh Hatta dijelaskan kepada Pak Dirman bahwa dalam waktu dekat
akan diadakan KMB antara RI dan Belanda untuk penyerahan kedaulatan dari
Belanda kepada bangsa Indonesia. Untuk itu harus diadakan penghentian
permusuhan dan diminta kepada Panglima Besar agar mengeluarkan perintah
penghentian permusuhan kepada seluruh pasukan TNI dan rakyat yang
melawan.
Pak Dirman menyatakan tidak keberatan ada KMB tetapi
jangan telalu cepat. Sebab waktu itu perlawanan TNI bersama Rakyat
sedang memetik banyak keuntungan di mana-mana. Kalau itu dilanjutkan
dulu maka RI akan mempunyai posisi atau leverage yang lebih kuat
dalam perundingan. Akan tetapi Bung Karno menyatakan bahwa KMB harus
diadakan dalam tahun 1949 agar pada permulaan 1950 kedaulatan sudah ada
di tangan bangsa Indonesia. Bung Karno dan Bung Hatta minta dukungan Pak
Dirman, dan tanpa itu Dwi Tunggal tidak bersedia melanjutkan
kepemimpinan atas bangsa Indonesia. Dengan sangat berat bahkan dengan
meneteskan air mata Pak Dirman menyatakan dukungannya, karena sadar
bahwa kepemimpinan Dwi Tunggal mutlak diperlukan untuk keberhasilan
perjuangan nasional.
Kemudian dikeluarkan perintah penghentian permusuhan yang mengakhiri seluruh perlawanan TNI bersama Rakyat terhadap Belanda.
Konferensi Meja Bundar (KMB) dilakukan di Den Haag,
Belanda pada 23 Agustus hingga 2 November 1949. KMB sebenarnya merupakan
satu pertemuan antara delegasi-delegasi Republik Indonesia (RI) dan
Kerajaan Nederland atau Belanda sebagai dua pihak yang bermusuhan. Akan
tetapi di samping dua delegasi itu hadir pula delegasi dari apa yang
dinamakan Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO), yaitu kumpulan negara-negara boneka ciptaan Belanda di Indonesia sejak tahun 1945.[2]
Dalam KMB pihak Amerika Serikat bertindak sebagai penengah.
Ternyata sejak tahun 1946 di pimpinan RI sudah ada
persetujuan bahwa negara Indonesia yang dibentuk setelah pengakuan
kedaulatan bangsa adalah satu negara federal yang memberi tempat bagi
negara-negara yang telah dibuat Belanda sejak usahanya menaklukkan RI.
Mungkin sekali ini adalah kompromis yang disetujui pimpinan RI dalam
berbagai perundingan antara RI dan Belanda yang mula-mula ditengahi
Inggeris, kemudian dilakukan oleh satu Komisi Tiga Negara (KTN) dengan
Amerika Serikat sebagai ketua dan Australia (yang dipilih RI) dan Kanada
(yang dipilih Belanda) sebagai anggota .
Atas dasar kompromis untuk menerima negara boneka
Belanda sebagai bagian negara federal, maka pada tanggal 31 Juli hingga 2
Agustus 1949 di Yogya diadakan Inter-Indonesian Conference antara
pimpinan RI dan pimpinan negara-negara buatan Belanda itu. Konferensi
itu diadakan untuk menghadapi KMB serta bentuk negara federal yang akan
dibentuk.
Keputusan KMB di Den Haag adalah :
1. Belanda menyerahkan kedaulatan atas Indonesia kepada negara Republik Indonesia Serikat (RIS), kecuali Irian Barat.
2. Dibentuk Uni Indonesia – Belanda di bawah Mahkota Belanda.
3. Semua hutang Hindia Belanda beralih ke RIS.
4. TNI yang menjadi Angkatan Perang RIS menerima
semua personil bekas tentara Hindia Belanda (KNIL) yang tidak turut ke
Belanda.
Dengan keputusan itu maka Republik Indonesia (RI)
menjadi satu negara bagian dalam RIS yang statusnya sama dengan
negara-negara ciptaan Belanda.
Pada tanggal 27 Desember 1949 di ibukota Belanda
Amsterdam diadakan penyerahan kedaulatan dari Belanda yang diwakili oleh
Ratu Juliana kepada Indonesia diwakili Drs Moh Hatta sebagai Ketua
Delegasi RI, sedangkan di Jakarta pada hari sama dilakukan penyerahan
kedaulatan itu dengan menurunkan bendera Belanda depan Istana Merdeka
dan Bendera Sang Saka Merah Putih berkibar sebagai tanda kedaulatan
Indonesia. Dalam upacara tersebut Belanda diwakili Wakil Mahkota Agung
Lovink sedangkan Indonesia diwakili Sultan Hamangku Buwono IX.
Dengan acara tersebut RIS berdiri secara resmi,
terdiri atas 16 negara bagian dengan Jakarta sebagai ibukota dan
Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara.
Pendapat tentang RIS di kalangan pejuang kemerdekaan TNI
Di kalangan para pejuang kemerdekaan TNI ada rasa
sedih bercampur marah bahwa perjuangan bangsa mewujudkan hasil yang jauh
dari yang mereka inginkan.
Pertama mereka marah bahwa Republik Indonesia yang
mereka bela dan perjuangkan hanya menjadi negara bagian dari RIS
setingkat dengan negara buatan Belanda yang merupakan boneka kehendak
Belanda. Dan bahwa negara Indonesia yang memperoleh kedaulatan itu masih
berada di bawah Mahkota Belanda. Ditambah lagi penyerahan kedaulatan
itu tidak meliputi Irian Barat, padahal yang dimufakati adalah
penyerahan kedaulatan atas wilayah bekas Hindia Belanda yang jelas
meliputi Irian Barat.
Kedua, mereka marah bahwa Indonesia harus menanggung
semua hutang Hindia Belanda, padahal biaya itu sebagian besar digunakan
untuk memerangi dan menghancurkan RI serta memusnahkan mereka sebagai
pejuang kemerdekaan. Berarti Indonesia membiaya kehancuran dan
pemusnahannya sendiri, satu hal yang amat tidak ada logikanya. Apalagi
setelah diketahui bahwa jumlah hutang itu sebesar 4,8 milyar gulden
Belanda, satu jumlah uang yang ketika itu besar sekali.
Ketiga, mereka merasa gusar bahwa sekalipun TNI
diakui sebagai Angkatan Perang RIS, tetapi harus menerima dan
mengintegrasikan bekas anggota tentara Belanda (khususnya KNIL) yang
tidak turut kembali ke Belanda., bekas musuhnya yang sering amat kejam
kepada Rakyat dan anggota TNI yang tertawan. Apalagi kemudian mereka
melihat bahwa bekas tentara Belanda itu mendapat kenaikan pangkat yang
tidak masuk akal ketika bergabung dengan TNI. Seperti seorang sersan
KNIL diberi pangkat letnan satu, seorang pembantu letnan menjadi kapten,
seorang letnan menjadi mayor atau letnan kolonel.
Maka buat pejuang kemerdekaan KMB bukan satu
konferensi yang berhasil bagi Indonesia, sekalipun terjadi penyerahan
dan pengakuan kedaualatan kepada bangsa Indonesia. Mereka harus selalu
mendapat penjelasan atau bujukan bahwa pemerintah RI, jadi termasuk Dwi
Tunggal Bung Karno – Bung Hatta (malahan Bung Hatta yang memimpin
delegasi RI di KMB), mau menerima hasil KMB karena yang paling penting
bagi bangsa Indonesia adalah secepat mungkin diakui kemerdekaan dan
kedaulatannya. Para pemimpin RI yakin bahwa setelah menjadi bangsa
merdeka dan berdaulat, segala kekurangan akan dapat diatasi.
Sebenarnya sikap demikian pada para pemimpin yang
berkuasa dalam pemerintah RI, yaitu sikap kompromis, memang berkembang
sejak tahun 1945. Di antara pemimpin itu Bung Sutan Syahrir yang sejak
akhir 1945 menjadi Perdana Menteri RI pertama telah secara
terang-terangan menyatakan bahwa Indonesia sebenarnya belum siap untuk
merdeka dan perlu lima tahun lagi untuk mencapai kemerdekaan yang betul,
dan ini perlu dilakukan melalui bantuan Belanda.[3]
Tidak sekali saja Bung Syahrir menyatakan bahwa Indonesia masih
memerlukan sekitar 5 tahun agar benar-benar bisa meredeka, termasuk
depan mahasiswa di Jakarta.
Selain Bung Syahrir yang jelas sikapnya yang
kompromistis adalah Bung Amir Syarifuddin yang menjadi menteri
pertahanan dalam kabinet Syahrir pertama. Bung Amir sejak permulaan
diketahui dekat hubungannya dengan Belanda. Bersama Bung Syahrir , Bung
Amir memimpin Partai Sosialis yang berdiri setelah Indonesia merdeka.
Maka ada hubungan dekat dengan pimpinan partai Belanda berhaluan
sosialis, yaitu Partij van de Arbeid (PVDA) dan partai sosialis Inggeris
(Labour Party). Para pemimpin Partai Sosialis yakin bahwa atas dasar
solidaritas sosialis kaum sosialis Belanda akan membantu Indonesia
mewujudkan kemerdekaannya.
Sejak permulaan pendudukan Jepang ada persetujuan
antara Bung Karno, Bung Hatta dan Bung Syahrir dalam menghadapi Jepang.
Mereka bertiga kuat bersatu dalam perjuangan mencapai kemerdekaan bangsa
dan berusaha memperoleh manfaat maksimal dari pendudukan Jepang. Dalam
nenghadapi Jepang Dwi Tunggal akan bekerja sama dengan Jepang untuk
memperoleh hal terbaik bagi Indonesia dalam kekuasaan Jepang yang keras
dan kejam. Sedangkan Bung Syahrir ditetapkan untuk bergerak bebas dari
Jepang untuk liwat gerakan bawah tanah terus menyiapkan bangsa untuk
merdeka. Di samping itu juga mengamankan Dwi Tunggal., khususnya pada
saat Jepang kalah, untuk menghadapi berbagai tuduhan Belanda dan
kalangan Sekutu bahwa Dwi Tunggal berkolaborasi dengan Jepang. Adalah
karena intervensi Bung Karno pihak militer Jepang membatalkan
keputusannya menghukum mati Bung Amir Syarifuddin yang oleh
kawan-kawannya sendiri dikhianati telah menerima dana dari Belanda untuk
menyusun perlawanan terhadap Jepang.
Sebab itu sejak permulaan para pemimpin RI sama
sikapnya dalam menyongsong kemerdekaan dan ini kemudian termasuk
kesediaan untuk berunding dengan Inggeris dan Belanda. Sikap dasar
mereka adalah bahwa Sekutu telah menang perang dan karena itu kuat
posisinya. Sedangkan bangsa Indonesia kurang kuat, juga untuk menghadapi
Belanda dengan cara militer. Para pemimpin waktu itu melihat perlawanan
militer dari segi konvensional belaka dan tidak memahami meningkatnya
makna perlawanan gerilya atau non-konvensional. Karena bangsa Indonesia
waktu itu kurang mempunyai kekuatan untuk melakukan perlawanan militer
konvensional, maka para pemimpin berpendapat bahwa usaha menyelamatkan
kemerdekaan harus dengan cara perundingan. [4]
Sikap itu memudahkan usaha Lord Killearn dari
Inggeris untuk mengajak para pemimpin RI bertemu dengan pemimpin Belanda
untuk merundingkan masa depan Indonesia. Usaha ini menghasilkan
diadakannya Persetujuan Linggarjati pada 11 November 1946.
Persetujuan Linggarjati antara lain menghasilkan
hal-hal yang sejak permulaan menunjukkan kesediaan para pemimpin RI
untuk menerima berbagai hasil yang kemudian menjadi hasil KMB. Seperti
pembentukan satu negara federal Republik Indonesia Serikat dengan RI
sebagai negara bagian yang wilayahnya meliputi Jawa, Sumatra dan Madura
saja. Juga bahwa RIS akan menjadi bagian Persemakmuran Belanda dengan
dipimpin Mahkota Belanda.
Akan tetapi Belanda setelah tercapai Persetujuan
Linggarjati melakukan Aksi Militer ke 1 pada tanggal 21 Juli 1947,
karena Belanda menghadapi keadaan ekonomi yang makin mendesak sehingga
perlu cepat menghidupkan produksi di Indonesia dengan dikuasai Belanda.
Bukan karena Belanda kurang cocok dengan hasil Persetujuan Linggarjati,
melainkan merasa perlu cepat menguasai Indonesia. Nanti hal serupa
terjadi ketika melakukan Aksi Militer 2 pada tanggal 19 Desember 1948.
Hal ini menunjukkan kesalahan pendapat para pemimpin kita bahwa Belanda
akan tetap pada sikap berunding atau diplomasi saja. Selain itu kekuatan
politik lain di Belanda di luar kalangan sosialisnya, terutama kalangan
militernya, sejak semula tidak rela Indonesia merdeka. Buat mereka
perundingan hanya bermanfaat untuk mengembalikan Indonesia sebagai
daerah jajahan Belanda.
Akan tetapi juga di kalangan RI tidak semua pihak
setuju dengan sikap kompromis itu. Yang jelas dan tegas tidak setuju
adalah kalangan yang dekat dengan Tan Malaka yang membentuk Persatuan
Perjuangan. Selain itu partai PNI dan Masyumi tidak setuju. Juga
termasuk tidak setuju adalah Panglima Besar Sudirman yang berpendapat
bahwa Belanda tak mungkin dapat dipercaya karena kepentingannya terlalu
besar dan luas di Indonesia. Buat Pak Dirman kemerdekaan harus
diperjuangkan dan tak mungkin mengharapkan kebaikan hati Belanda sebagai
penjajah. Kemerdekaan bangsa tak dapat di-kompromis-kan. Sebab itu
tidak jarang Pak Dirman menunjukkan sikap dekat kepada Persatuan
Perjuangan dan Tan Malaka.
Itu sebabnya Pak Dirman pada tahun 1949 mula-mula
tidak setuju diadakan KMB cepat-cepat, ketika perlawanan Rakyat bersama
TNI memukul Belanda di banyak tempat dan menggagalkan Belanda mencapai
Tujuan Politik dan Ekonominya. Sikap Pak Dirman juga dianut banyak
kalangan TNI, sekalipun ada beberapa orang yang mendukung politik
berunding dan kompromis yang dianut para pemimpin pemerintah RI. Bahwa
Pak Dirman akhirnya memberikan persetujuan diadakan penghentian
permusuhan segera untuk memungkinkan berlangsungnya KMB pada tahun 1949,
adalah semata-mata kesadaran beliau bahwa kepemimpinan Dwi Tunggal atas
bangsa Indonesia mutlak diperlukan. Karena Bung Karno menyatakan bahwa
beliau dan Bung Hatta tidak bersedia melanjutkan pimpinan tanpa dukungan
Pak Dirman, maka itulah yang membuat Pak Dirman memberikan
persetujuannya. Pak Dirman yakin bahwa bangsa Indonesia harus dipimpin
Dwi Tunggal untuk dapat mencapai kemerdekaan.
Di sini kemudian lahir sikap TNI, yaitu bahwa TNI
boleh kritis terhadap rencana dan gagasan pimpinan negara. Akan tetapi
bila pimpinan negara menyatakan keputusannya maka TNI secara loyal
mendukungnya dengan penuh keseungguh-sungguhan, sekalipun keputusan itu
berbeda dengan yang dipikirkan dan diinginkan TNI.
Hasil KMB yang kurang menyenangkan itu juga terjadi
karena AS sebagai pihak penengah lebih dekat kepada Belanda sebagai
sekutunya dalam Perang Dunia 2 maupun NATO. Hasil itu membuktikan
kebenaran pendapat Pak Dirman dan para pejuang kemerdekaan TNI yang
kurang setuju dengan berunding saja. Maka setelah KMB tercapai menjadi
kewajiban perjuangan bagaimana membuat hasil itu tidak merugikan
perjuangan bangsa Indonesia. Yang utama dan pertama diperlukan adalah
bagaimana meniadakan eksistensi RIS dan konsepsi negara federal yang
merupakan senjata Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Republik
Indonesia harus diperjuangkan menjadi satu-satunya organisasi kenegaraan
yang memegang kedaulatan di bumi Indonesia.
Berakhirnya Republik Indonesia Serikat
Baik lingkungan politik maupun TNI kemudian
mengusahakan agar dapat diwujudkan kondisi yang memungkinkan RIS
berakhir tanpa melanggar hasil KMB. Peran TNI pertama adalah usaha untuk
mempengaruhi masyarakat di negara-negara bagian buatan Belanda. Sebab
itu secepat mungkin pasukan-pasukan TNI harus masuk wilayah negara
boneka itu.
Belanda dan pimpinan negara boneka yang dekat kepada
Belanda juga menyadari itu. Sebab itu mereka mengusahakan agar Sultan
Hamid dari Kalimantan Barat yang bekas perwira Belanda di KNIL, menjadi
menteri pertahanan RIS. Sebaliknya kalangan RI memperjuangkan hal itu
tidak terwujud dan mencalonkan Sultan Hamangku Buwono IX sebagai menteri
pertahanan RIS. Akhirnya Belanda dan BFO tidak dapat mencegah Sultan HB
IX yang diangkat menjadi menteri pertahanan RIS.
Dengan Sri Sultan sebagai menteri pertahanan pimpinan
TNI dengan cepat dapat menggerakkan pasukan-pasukan TNI dari wilayah RI
masuk negara boneka. Dalam hal ini yang amat menentukan adalah wilayah
Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatra Timur. Sebab di NIT terdapat
wilayah Menado dan Maluku yang sejak masa penjajahan amat kuat berpihak
penjajah Belanda. Sedangkan di NST terdapat perkebunan-perkebunan yang
menjadi incaran kekuasaan Belanda.
Dipindahkannya Kolonel Alex Kawilarang dari komando
TNI di Sumatra menjadi panglima TNI di wilayah NIT (kemudian diberi nama
Tentara & Territorium VII atau TT 7) adalah satu tindakan strategis
yang amat tepat dan berhasil. Dengan begitu Sulawesi Utara (Alex
Kawilarang adalah putera Menado) tidak pernah menjadi persoalan bagi RI.
Padahal dalam masa penjajahan Belanda sebelum PD 2 wilayah Manado
sering disebut provinsi ke 12 Belanda (negara Belanda di Eropa Barat
terdiri dari 11 provinsi ). Juga dengan kepemimpinan Kawilarang semua
perlawanan bekas KNIL di NIT, seperti pemberontakan Andi Azis dan
Republik Maluku Selatan (RMS), dapat diatasi dengan sukses.
Usaha TNI di seluruh wilayah RIS difokuskan kepada
usaha territorial, yaitu mempengaruhi rakyat agar bergabung kepada
Republik Indonesia. Pengaruh keberadaan pasukan TNI sebagai dukungan
usaha territorial itu sangat penting, terutama sikap prajurit TNI yang
dekat kepada Rakyat dan berbeda dengan sikap KNIL yang sebagai tentara
penjajahan menindas atau sekurang-kurangnya menjauhi Rakyat.
Usaha territorial TNI makin lama makin menunjukkan
hasil. Rakyat negara boneka dapat mendesak para pemimpinnya yang menjadi
anggota dewan perwakilan rakyat negara boneka itu. Makin banyak anggota
DPR negara boneka bersuara agar negaranya bergabung kepada RI. Ketika
terjadi keunggulan suara dalam DPR itu maka pimpinan negara boneka itu
mau tidak mau harus menerima kehendak rakyat dan turut menyatakan
kehendaknya agar negaranya bergabung dengan RI. Belanda dengan sangat
mendongkol dan marah melihat proses itu, tetapi tidak dapat
mengintervensi karena itu semua hasil dari proses demokrasi yang selalu
oleh Belanda dijadikan ukuran kenegaraan.
Satu per satu negara bagian RIS menyatakan bergabung
pada RI. Pada akhir Maret 1950 tinggal ada 4 negara bagian dalam RIS,
yaitu RI, Negara Kalimantan Barat, Negara Sumatra Timur dan Negara
Indonesia Timur. Dan pada akhir bulan April 1950 tinggal Republik
Indonesia sebagai negara bagian. Dengan begitu secara de facto RIS sudah
tidak ada dan RI satu-satunya negara di Indonesia. Maka pada tanggal 15
Agustus 1950 diadakan rapat gabungan DPR dan Senat RIS menetapkan
berakhirnya Republik Indonesia Serikat dan menandatangani piagam
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan pada tanggal
17 Agustus 1950 Republik Indonesia secara resmi terbentuk kembali
sebagai Negara Kesatuan RI.
Dengan demikian sejarah RIS berakhir dan RI tegak
kembali sebagai pemegang kedaulatan bangsa Indonesia tanpa terjadi
pengeluaran satu tembakan pun. Seringkali kemudian ada ucapan lingkungan
politik bahwa hal itu adalah jasa kaum politik. Memang kaum politik RI
telah membuat berbagai usaha untuk mempengaruhi rekannya dari BFO. Akan
tetapi itu semua sukar mencapai hasil seperti yang terjadi tanpa
dukungan TNI. Sebab pada tahun 1950 tentara Belanda masih banyak yang
ada di Indonesia sebelum mereka dipulangkan ke Belanda. Mau tidak mau
kehadiran kekuatan militer itu berpengaruh pada pikiran dan perasaan
rakyat dan para pemimpinnya, khususnya yang duduk di DPR negara boneka.
Maka nyata sekali peran TNI dalam perubahan yang amat sukses itu bagi
perjuangan kemerdekaan bangsa. Sebab itu keberhasilan perjuangan
kemerdekaan untuk mencapai kedaulatan bangsa dan negara adalah hasil
kombinasi perjuangan politik-diplomasi dan perjuangan militer bangsa
Indonesia. Bukan kemenangan politik saja atau militer saja.
Setelah itu langkah demi langkah dibatalkan hasil KMB
secara keseluruhan. Dimulai dengan pernyataan RI yang secara sepihak
membatalkan hasil KMB pada tanggal 22 Mei 1956. Itu termasuk berakhirnya
pembayaran hutang Hindia Belanda yang belum dibayar RIS. Dan terakhir
adalah kembalinya Irian Barat ke wilayah nasional Republik Indonesia
pada 15 Agustus 1962.
Dengan begitu bangsa Indonesia telah benar-benar
berhasil mewujudkan kemerdekaannya. Namun karena kemerdekaan negara dan
bangsa, betapa pun pentingnya bagi bangsa Indonesia, hanya merupakan
jembatan untuk mencapai Tujuan Nasional, yaitu terwujudnya Masyarakat
yang Adil dan Makmur berdasarkan Pancasila, maka perjuangan belum
selesai. Sekarang pun 65 tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan pada 17
Agustus 1945, Tujuan Nasional itu masih jauh dari kenyataan. Pancasila
masih belum menjadi kenyataan di Bumi Indonesia, Rakyat Indonesia masih
diliputi banyak kemiskinan dan keadilan secara lahir maupun batin masih
di awang-awang.
Berakhirnya Republik Indonesia Serikat Kembali Nkri Berkuasa Di Indonesia
Posted by Admin on Wednesday, 4 August 2010 | Makalah
Pandangan seorang Pejuang Kemerdekaan Indonesia
Sayidiman Suryohadiprojo[1]
Letjen TNI (Purn)
Berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS)
Serangan militer Belanda terhadap RI pada tanggal 19
Desember 1948 ternyata tidak memberikan hasil sebagaimana diharapkan
para pemimpin Belanda. Sekalipun serangan mendadak itu secara militer
berhasil merebut Yogyakarta, ibukota Revolusi RI secara cepat, namun
kemudian Belanda tidak dapat memperoleh hasil politik yang diinginkan.
Tujuan politik Belanda adalah menaklukkan Republik
Indonesia dan meniadakannya sebagai kenyataan politik. Sebab selama RI
itu ada, Belanda tak dapat menegakkan kembali kekuasaan penjajahannya
atas bumi Indonesia. Padahal Belanda sangat terdesak dalam segi
keuangannya, karena AS sebagai sumber bantuan utama tidak memberikan
bantuan keuangan yang cukup bagi Belanda untuk mengembangkan negaranya
dan menguasai kembali Indonesia. Sebab itu di samping Tujuan Politik
Belanda mempunyai Tujuan Ekonomi, yaitu secepat mungkin menguasai
Indonesia untuk menghidupkan kembali usaha perkebunan guna memperoleh
pemasukan penting bagi kas negaranya.
Perlawanan Rakyat Indonesia bersama Tentara Nasional
Indonesia tidak berhasil dipatahkan Belanda hanya dengan merebut
Yogyakarta dan kota-kota lain di Jawa dan Sumatra. Berkobar perlawanan
itu dan makin merugikan Belanda, baik secara politik maupun militer.
Terbukti kebenaran dalil bahwa gerilya menang selama lawan tak mampu
menghabiskannya secara tuntas. Perlawanan itu tidak memungkinkan Belanda
mencapai Tujuan Ekonominya, karena perkebunan-perkebunan tidak dapat
berproduksi dengan baik dan lalu lintas antar-kota sangat terganggu atau
bahkan putus sama sekali akibat perlawanan gerilya TNI bersama Rakyat.
Sejak permulaan serangan Belanda kaum diplomat RI di
luar negeri sudah beraksi dan berhasil mengajak Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menyalahkan Belanda melakukan serangan 19
Desember 1948. Pada tanggal 26 Januari 1949 Dewan Keamanan (DK) PBB
mengeluarkan resolusi yang mengecam serangan Belanda tersebut, dan
menuntut agar kekuasaan RI ditegakkan kembali serta dilanjutkan
perundingan antara pihak RI dan Belanda untuk mencapai penyelesaian
damai, sebagaimana sedang dilakukan sebelum Belanda menyerang.
Atas dasar keputusan itu perundingan antara kedua
pihak dibuka kembali dengan Mr. Mohamad Roem sebagai ketua delegasi RI
dan Dr van Roijen sebagai ketua delegasi Belanda. Pada tanggal 6 Juli
1949 diputuskan tegaknya kembali pemerintahan RI. Atas dasar itu
Presiden Soekarno serta Wakil Presiden Mohamad Hatta kembali ke
Yogyakarta dari tempat penahanan di Bangka untuk memegang kembali
pimpinan pemerintahan RI.
Dalam persetujuan Roem-Van Roijen juga disepakati
bahwa akan diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda untuk proses
penyerahan kedaulatan Belanda atas wilayah Indonesia kepada bangsa
Indonesia. Untuk itu harus diadakan penghentian permusuhan terlebih
dahulu antara Indonesia dan Belanda.
Maka pada tanggal 6 Juli 1949 Presiden Soekarno dan
Wakil Presiden Mohamad Hatta kembali ke Yogyakarta untuk memimpin
kembali pemerintah RI. Panglima Besar Sudirman yang tidak bersedia turut
ditahan Belanda, sekalipun dalam kondisi kurang sehat , selama Perang
Kemerdekaan terus memimpin perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda.
Maka Pak Dirman yang berada di daerah gerilya di Jawa Timur diminta
pulang ke Yogyakarta.
Dalam pertemuan dengan Presiden Soekarno dan Wakil
Presiden Moh Hatta dijelaskan kepada Pak Dirman bahwa dalam waktu dekat
akan diadakan KMB antara RI dan Belanda untuk penyerahan kedaulatan dari
Belanda kepada bangsa Indonesia. Untuk itu harus diadakan penghentian
permusuhan dan diminta kepada Panglima Besar agar mengeluarkan perintah
penghentian permusuhan kepada seluruh pasukan TNI dan rakyat yang
melawan.
Pak Dirman menyatakan tidak keberatan ada KMB tetapi
jangan telalu cepat. Sebab waktu itu perlawanan TNI bersama Rakyat
sedang memetik banyak keuntungan di mana-mana. Kalau itu dilanjutkan
dulu maka RI akan mempunyai posisi atau leverage yang lebih kuat
dalam perundingan. Akan tetapi Bung Karno menyatakan bahwa KMB harus
diadakan dalam tahun 1949 agar pada permulaan 1950 kedaulatan sudah ada
di tangan bangsa Indonesia. Bung Karno dan Bung Hatta minta dukungan Pak
Dirman, dan tanpa itu Dwi Tunggal tidak bersedia melanjutkan
kepemimpinan atas bangsa Indonesia. Dengan sangat berat bahkan dengan
meneteskan air mata Pak Dirman menyatakan dukungannya, karena sadar
bahwa kepemimpinan Dwi Tunggal mutlak diperlukan untuk keberhasilan
perjuangan nasional.
Kemudian dikeluarkan perintah penghentian permusuhan yang mengakhiri seluruh perlawanan TNI bersama Rakyat terhadap Belanda.
Konferensi Meja Bundar (KMB) dilakukan di Den Haag,
Belanda pada 23 Agustus hingga 2 November 1949. KMB sebenarnya merupakan
satu pertemuan antara delegasi-delegasi Republik Indonesia (RI) dan
Kerajaan Nederland atau Belanda sebagai dua pihak yang bermusuhan. Akan
tetapi di samping dua delegasi itu hadir pula delegasi dari apa yang
dinamakan Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO), yaitu kumpulan negara-negara boneka ciptaan Belanda di Indonesia sejak tahun 1945.[2]
Dalam KMB pihak Amerika Serikat bertindak sebagai penengah.
Ternyata sejak tahun 1946 di pimpinan RI sudah ada
persetujuan bahwa negara Indonesia yang dibentuk setelah pengakuan
kedaulatan bangsa adalah satu negara federal yang memberi tempat bagi
negara-negara yang telah dibuat Belanda sejak usahanya menaklukkan RI.
Mungkin sekali ini adalah kompromis yang disetujui pimpinan RI dalam
berbagai perundingan antara RI dan Belanda yang mula-mula ditengahi
Inggeris, kemudian dilakukan oleh satu Komisi Tiga Negara (KTN) dengan
Amerika Serikat sebagai ketua dan Australia (yang dipilih RI) dan Kanada
(yang dipilih Belanda) sebagai anggota .
Atas dasar kompromis untuk menerima negara boneka
Belanda sebagai bagian negara federal, maka pada tanggal 31 Juli hingga 2
Agustus 1949 di Yogya diadakan Inter-Indonesian Conference antara
pimpinan RI dan pimpinan negara-negara buatan Belanda itu. Konferensi
itu diadakan untuk menghadapi KMB serta bentuk negara federal yang akan
dibentuk.
Keputusan KMB di Den Haag adalah :
1. Belanda menyerahkan kedaulatan atas Indonesia kepada negara Republik Indonesia Serikat (RIS), kecuali Irian Barat.
2. Dibentuk Uni Indonesia – Belanda di bawah Mahkota Belanda.
3. Semua hutang Hindia Belanda beralih ke RIS.
4. TNI yang menjadi Angkatan Perang RIS menerima
semua personil bekas tentara Hindia Belanda (KNIL) yang tidak turut ke
Belanda.
Dengan keputusan itu maka Republik Indonesia (RI)
menjadi satu negara bagian dalam RIS yang statusnya sama dengan
negara-negara ciptaan Belanda.
Pada tanggal 27 Desember 1949 di ibukota Belanda
Amsterdam diadakan penyerahan kedaulatan dari Belanda yang diwakili oleh
Ratu Juliana kepada Indonesia diwakili Drs Moh Hatta sebagai Ketua
Delegasi RI, sedangkan di Jakarta pada hari sama dilakukan penyerahan
kedaulatan itu dengan menurunkan bendera Belanda depan Istana Merdeka
dan Bendera Sang Saka Merah Putih berkibar sebagai tanda kedaulatan
Indonesia. Dalam upacara tersebut Belanda diwakili Wakil Mahkota Agung
Lovink sedangkan Indonesia diwakili Sultan Hamangku Buwono IX.
Dengan acara tersebut RIS berdiri secara resmi,
terdiri atas 16 negara bagian dengan Jakarta sebagai ibukota dan
Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara.
Pendapat tentang RIS di kalangan pejuang kemerdekaan TNI
Di kalangan para pejuang kemerdekaan TNI ada rasa
sedih bercampur marah bahwa perjuangan bangsa mewujudkan hasil yang jauh
dari yang mereka inginkan.
Pertama mereka marah bahwa Republik Indonesia yang
mereka bela dan perjuangkan hanya menjadi negara bagian dari RIS
setingkat dengan negara buatan Belanda yang merupakan boneka kehendak
Belanda. Dan bahwa negara Indonesia yang memperoleh kedaulatan itu masih
berada di bawah Mahkota Belanda. Ditambah lagi penyerahan kedaulatan
itu tidak meliputi Irian Barat, padahal yang dimufakati adalah
penyerahan kedaulatan atas wilayah bekas Hindia Belanda yang jelas
meliputi Irian Barat.
Kedua, mereka marah bahwa Indonesia harus menanggung
semua hutang Hindia Belanda, padahal biaya itu sebagian besar digunakan
untuk memerangi dan menghancurkan RI serta memusnahkan mereka sebagai
pejuang kemerdekaan. Berarti Indonesia membiaya kehancuran dan
pemusnahannya sendiri, satu hal yang amat tidak ada logikanya. Apalagi
setelah diketahui bahwa jumlah hutang itu sebesar 4,8 milyar gulden
Belanda, satu jumlah uang yang ketika itu besar sekali.
Ketiga, mereka merasa gusar bahwa sekalipun TNI
diakui sebagai Angkatan Perang RIS, tetapi harus menerima dan
mengintegrasikan bekas anggota tentara Belanda (khususnya KNIL) yang
tidak turut kembali ke Belanda., bekas musuhnya yang sering amat kejam
kepada Rakyat dan anggota TNI yang tertawan. Apalagi kemudian mereka
melihat bahwa bekas tentara Belanda itu mendapat kenaikan pangkat yang
tidak masuk akal ketika bergabung dengan TNI. Seperti seorang sersan
KNIL diberi pangkat letnan satu, seorang pembantu letnan menjadi kapten,
seorang letnan menjadi mayor atau letnan kolonel.
Maka buat pejuang kemerdekaan KMB bukan satu
konferensi yang berhasil bagi Indonesia, sekalipun terjadi penyerahan
dan pengakuan kedaualatan kepada bangsa Indonesia. Mereka harus selalu
mendapat penjelasan atau bujukan bahwa pemerintah RI, jadi termasuk Dwi
Tunggal Bung Karno – Bung Hatta (malahan Bung Hatta yang memimpin
delegasi RI di KMB), mau menerima hasil KMB karena yang paling penting
bagi bangsa Indonesia adalah secepat mungkin diakui kemerdekaan dan
kedaulatannya. Para pemimpin RI yakin bahwa setelah menjadi bangsa
merdeka dan berdaulat, segala kekurangan akan dapat diatasi.
Sebenarnya sikap demikian pada para pemimpin yang
berkuasa dalam pemerintah RI, yaitu sikap kompromis, memang berkembang
sejak tahun 1945. Di antara pemimpin itu Bung Sutan Syahrir yang sejak
akhir 1945 menjadi Perdana Menteri RI pertama telah secara
terang-terangan menyatakan bahwa Indonesia sebenarnya belum siap untuk
merdeka dan perlu lima tahun lagi untuk mencapai kemerdekaan yang betul,
dan ini perlu dilakukan melalui bantuan Belanda.[3]
Tidak sekali saja Bung Syahrir menyatakan bahwa Indonesia masih
memerlukan sekitar 5 tahun agar benar-benar bisa meredeka, termasuk
depan mahasiswa di Jakarta.
Selain Bung Syahrir yang jelas sikapnya yang
kompromistis adalah Bung Amir Syarifuddin yang menjadi menteri
pertahanan dalam kabinet Syahrir pertama. Bung Amir sejak permulaan
diketahui dekat hubungannya dengan Belanda. Bersama Bung Syahrir , Bung
Amir memimpin Partai Sosialis yang berdiri setelah Indonesia merdeka.
Maka ada hubungan dekat dengan pimpinan partai Belanda berhaluan
sosialis, yaitu Partij van de Arbeid (PVDA) dan partai sosialis Inggeris
(Labour Party). Para pemimpin Partai Sosialis yakin bahwa atas dasar
solidaritas sosialis kaum sosialis Belanda akan membantu Indonesia
mewujudkan kemerdekaannya.
Sejak permulaan pendudukan Jepang ada persetujuan
antara Bung Karno, Bung Hatta dan Bung Syahrir dalam menghadapi Jepang.
Mereka bertiga kuat bersatu dalam perjuangan mencapai kemerdekaan bangsa
dan berusaha memperoleh manfaat maksimal dari pendudukan Jepang. Dalam
nenghadapi Jepang Dwi Tunggal akan bekerja sama dengan Jepang untuk
memperoleh hal terbaik bagi Indonesia dalam kekuasaan Jepang yang keras
dan kejam. Sedangkan Bung Syahrir ditetapkan untuk bergerak bebas dari
Jepang untuk liwat gerakan bawah tanah terus menyiapkan bangsa untuk
merdeka. Di samping itu juga mengamankan Dwi Tunggal., khususnya pada
saat Jepang kalah, untuk menghadapi berbagai tuduhan Belanda dan
kalangan Sekutu bahwa Dwi Tunggal berkolaborasi dengan Jepang. Adalah
karena intervensi Bung Karno pihak militer Jepang membatalkan
keputusannya menghukum mati Bung Amir Syarifuddin yang oleh
kawan-kawannya sendiri dikhianati telah menerima dana dari Belanda untuk
menyusun perlawanan terhadap Jepang.
Sebab itu sejak permulaan para pemimpin RI sama
sikapnya dalam menyongsong kemerdekaan dan ini kemudian termasuk
kesediaan untuk berunding dengan Inggeris dan Belanda. Sikap dasar
mereka adalah bahwa Sekutu telah menang perang dan karena itu kuat
posisinya. Sedangkan bangsa Indonesia kurang kuat, juga untuk menghadapi
Belanda dengan cara militer. Para pemimpin waktu itu melihat perlawanan
militer dari segi konvensional belaka dan tidak memahami meningkatnya
makna perlawanan gerilya atau non-konvensional. Karena bangsa Indonesia
waktu itu kurang mempunyai kekuatan untuk melakukan perlawanan militer
konvensional, maka para pemimpin berpendapat bahwa usaha menyelamatkan
kemerdekaan harus dengan cara perundingan. [4]
Sikap itu memudahkan usaha Lord Killearn dari
Inggeris untuk mengajak para pemimpin RI bertemu dengan pemimpin Belanda
untuk merundingkan masa depan Indonesia. Usaha ini menghasilkan
diadakannya Persetujuan Linggarjati pada 11 November 1946.
Persetujuan Linggarjati antara lain menghasilkan
hal-hal yang sejak permulaan menunjukkan kesediaan para pemimpin RI
untuk menerima berbagai hasil yang kemudian menjadi hasil KMB. Seperti
pembentukan satu negara federal Republik Indonesia Serikat dengan RI
sebagai negara bagian yang wilayahnya meliputi Jawa, Sumatra dan Madura
saja. Juga bahwa RIS akan menjadi bagian Persemakmuran Belanda dengan
dipimpin Mahkota Belanda.
Akan tetapi Belanda setelah tercapai Persetujuan
Linggarjati melakukan Aksi Militer ke 1 pada tanggal 21 Juli 1947,
karena Belanda menghadapi keadaan ekonomi yang makin mendesak sehingga
perlu cepat menghidupkan produksi di Indonesia dengan dikuasai Belanda.
Bukan karena Belanda kurang cocok dengan hasil Persetujuan Linggarjati,
melainkan merasa perlu cepat menguasai Indonesia. Nanti hal serupa
terjadi ketika melakukan Aksi Militer 2 pada tanggal 19 Desember 1948.
Hal ini menunjukkan kesalahan pendapat para pemimpin kita bahwa Belanda
akan tetap pada sikap berunding atau diplomasi saja. Selain itu kekuatan
politik lain di Belanda di luar kalangan sosialisnya, terutama kalangan
militernya, sejak semula tidak rela Indonesia merdeka. Buat mereka
perundingan hanya bermanfaat untuk mengembalikan Indonesia sebagai
daerah jajahan Belanda.
Akan tetapi juga di kalangan RI tidak semua pihak
setuju dengan sikap kompromis itu. Yang jelas dan tegas tidak setuju
adalah kalangan yang dekat dengan Tan Malaka yang membentuk Persatuan
Perjuangan. Selain itu partai PNI dan Masyumi tidak setuju. Juga
termasuk tidak setuju adalah Panglima Besar Sudirman yang berpendapat
bahwa Belanda tak mungkin dapat dipercaya karena kepentingannya terlalu
besar dan luas di Indonesia. Buat Pak Dirman kemerdekaan harus
diperjuangkan dan tak mungkin mengharapkan kebaikan hati Belanda sebagai
penjajah. Kemerdekaan bangsa tak dapat di-kompromis-kan. Sebab itu
tidak jarang Pak Dirman menunjukkan sikap dekat kepada Persatuan
Perjuangan dan Tan Malaka.
Itu sebabnya Pak Dirman pada tahun 1949 mula-mula
tidak setuju diadakan KMB cepat-cepat, ketika perlawanan Rakyat bersama
TNI memukul Belanda di banyak tempat dan menggagalkan Belanda mencapai
Tujuan Politik dan Ekonominya. Sikap Pak Dirman juga dianut banyak
kalangan TNI, sekalipun ada beberapa orang yang mendukung politik
berunding dan kompromis yang dianut para pemimpin pemerintah RI. Bahwa
Pak Dirman akhirnya memberikan persetujuan diadakan penghentian
permusuhan segera untuk memungkinkan berlangsungnya KMB pada tahun 1949,
adalah semata-mata kesadaran beliau bahwa kepemimpinan Dwi Tunggal atas
bangsa Indonesia mutlak diperlukan. Karena Bung Karno menyatakan bahwa
beliau dan Bung Hatta tidak bersedia melanjutkan pimpinan tanpa dukungan
Pak Dirman, maka itulah yang membuat Pak Dirman memberikan
persetujuannya. Pak Dirman yakin bahwa bangsa Indonesia harus dipimpin
Dwi Tunggal untuk dapat mencapai kemerdekaan.
Di sini kemudian lahir sikap TNI, yaitu bahwa TNI
boleh kritis terhadap rencana dan gagasan pimpinan negara. Akan tetapi
bila pimpinan negara menyatakan keputusannya maka TNI secara loyal
mendukungnya dengan penuh keseungguh-sungguhan, sekalipun keputusan itu
berbeda dengan yang dipikirkan dan diinginkan TNI.
Hasil KMB yang kurang menyenangkan itu juga terjadi
karena AS sebagai pihak penengah lebih dekat kepada Belanda sebagai
sekutunya dalam Perang Dunia 2 maupun NATO. Hasil itu membuktikan
kebenaran pendapat Pak Dirman dan para pejuang kemerdekaan TNI yang
kurang setuju dengan berunding saja. Maka setelah KMB tercapai menjadi
kewajiban perjuangan bagaimana membuat hasil itu tidak merugikan
perjuangan bangsa Indonesia. Yang utama dan pertama diperlukan adalah
bagaimana meniadakan eksistensi RIS dan konsepsi negara federal yang
merupakan senjata Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Republik
Indonesia harus diperjuangkan menjadi satu-satunya organisasi kenegaraan
yang memegang kedaulatan di bumi Indonesia.
Berakhirnya Republik Indonesia Serikat
Baik lingkungan politik maupun TNI kemudian
mengusahakan agar dapat diwujudkan kondisi yang memungkinkan RIS
berakhir tanpa melanggar hasil KMB. Peran TNI pertama adalah usaha untuk
mempengaruhi masyarakat di negara-negara bagian buatan Belanda. Sebab
itu secepat mungkin pasukan-pasukan TNI harus masuk wilayah negara
boneka itu.
Belanda dan pimpinan negara boneka yang dekat kepada
Belanda juga menyadari itu. Sebab itu mereka mengusahakan agar Sultan
Hamid dari Kalimantan Barat yang bekas perwira Belanda di KNIL, menjadi
menteri pertahanan RIS. Sebaliknya kalangan RI memperjuangkan hal itu
tidak terwujud dan mencalonkan Sultan Hamangku Buwono IX sebagai menteri
pertahanan RIS. Akhirnya Belanda dan BFO tidak dapat mencegah Sultan HB
IX yang diangkat menjadi menteri pertahanan RIS.
Dengan Sri Sultan sebagai menteri pertahanan pimpinan
TNI dengan cepat dapat menggerakkan pasukan-pasukan TNI dari wilayah RI
masuk negara boneka. Dalam hal ini yang amat menentukan adalah wilayah
Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatra Timur. Sebab di NIT terdapat
wilayah Menado dan Maluku yang sejak masa penjajahan amat kuat berpihak
penjajah Belanda. Sedangkan di NST terdapat perkebunan-perkebunan yang
menjadi incaran kekuasaan Belanda.
Dipindahkannya Kolonel Alex Kawilarang dari komando
TNI di Sumatra menjadi panglima TNI di wilayah NIT (kemudian diberi nama
Tentara & Territorium VII atau TT 7) adalah satu tindakan strategis
yang amat tepat dan berhasil. Dengan begitu Sulawesi Utara (Alex
Kawilarang adalah putera Menado) tidak pernah menjadi persoalan bagi RI.
Padahal dalam masa penjajahan Belanda sebelum PD 2 wilayah Manado
sering disebut provinsi ke 12 Belanda (negara Belanda di Eropa Barat
terdiri dari 11 provinsi ). Juga dengan kepemimpinan Kawilarang semua
perlawanan bekas KNIL di NIT, seperti pemberontakan Andi Azis dan
Republik Maluku Selatan (RMS), dapat diatasi dengan sukses.
Usaha TNI di seluruh wilayah RIS difokuskan kepada
usaha territorial, yaitu mempengaruhi rakyat agar bergabung kepada
Republik Indonesia. Pengaruh keberadaan pasukan TNI sebagai dukungan
usaha territorial itu sangat penting, terutama sikap prajurit TNI yang
dekat kepada Rakyat dan berbeda dengan sikap KNIL yang sebagai tentara
penjajahan menindas atau sekurang-kurangnya menjauhi Rakyat.
Usaha territorial TNI makin lama makin menunjukkan
hasil. Rakyat negara boneka dapat mendesak para pemimpinnya yang menjadi
anggota dewan perwakilan rakyat negara boneka itu. Makin banyak anggota
DPR negara boneka bersuara agar negaranya bergabung kepada RI. Ketika
terjadi keunggulan suara dalam DPR itu maka pimpinan negara boneka itu
mau tidak mau harus menerima kehendak rakyat dan turut menyatakan
kehendaknya agar negaranya bergabung dengan RI. Belanda dengan sangat
mendongkol dan marah melihat proses itu, tetapi tidak dapat
mengintervensi karena itu semua hasil dari proses demokrasi yang selalu
oleh Belanda dijadikan ukuran kenegaraan.
Satu per satu negara bagian RIS menyatakan bergabung
pada RI. Pada akhir Maret 1950 tinggal ada 4 negara bagian dalam RIS,
yaitu RI, Negara Kalimantan Barat, Negara Sumatra Timur dan Negara
Indonesia Timur. Dan pada akhir bulan April 1950 tinggal Republik
Indonesia sebagai negara bagian. Dengan begitu secara de facto RIS sudah
tidak ada dan RI satu-satunya negara di Indonesia. Maka pada tanggal 15
Agustus 1950 diadakan rapat gabungan DPR dan Senat RIS menetapkan
berakhirnya Republik Indonesia Serikat dan menandatangani piagam
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan pada tanggal
17 Agustus 1950 Republik Indonesia secara resmi terbentuk kembali
sebagai Negara Kesatuan RI.
Dengan demikian sejarah RIS berakhir dan RI tegak
kembali sebagai pemegang kedaulatan bangsa Indonesia tanpa terjadi
pengeluaran satu tembakan pun. Seringkali kemudian ada ucapan lingkungan
politik bahwa hal itu adalah jasa kaum politik. Memang kaum politik RI
telah membuat berbagai usaha untuk mempengaruhi rekannya dari BFO. Akan
tetapi itu semua sukar mencapai hasil seperti yang terjadi tanpa
dukungan TNI. Sebab pada tahun 1950 tentara Belanda masih banyak yang
ada di Indonesia sebelum mereka dipulangkan ke Belanda. Mau tidak mau
kehadiran kekuatan militer itu berpengaruh pada pikiran dan perasaan
rakyat dan para pemimpinnya, khususnya yang duduk di DPR negara boneka.
Maka nyata sekali peran TNI dalam perubahan yang amat sukses itu bagi
perjuangan kemerdekaan bangsa. Sebab itu keberhasilan perjuangan
kemerdekaan untuk mencapai kedaulatan bangsa dan negara adalah hasil
kombinasi perjuangan politik-diplomasi dan perjuangan militer bangsa
Indonesia. Bukan kemenangan politik saja atau militer saja.
Setelah itu langkah demi langkah dibatalkan hasil KMB
secara keseluruhan. Dimulai dengan pernyataan RI yang secara sepihak
membatalkan hasil KMB pada tanggal 22 Mei 1956. Itu termasuk berakhirnya
pembayaran hutang Hindia Belanda yang belum dibayar RIS. Dan terakhir
adalah kembalinya Irian Barat ke wilayah nasional Republik Indonesia
pada 15 Agustus 1962.
Dengan begitu bangsa Indonesia telah benar-benar
berhasil mewujudkan kemerdekaannya. Namun karena kemerdekaan negara dan
bangsa, betapa pun pentingnya bagi bangsa Indonesia, hanya merupakan
jembatan untuk mencapai Tujuan Nasional, yaitu terwujudnya Masyarakat
yang Adil dan Makmur berdasarkan Pancasila, maka perjuangan belum
selesai. Sekarang pun 65 tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan pada 17
Agustus 1945, Tujuan Nasional itu masih jauh dari kenyataan. Pancasila
masih belum menjadi kenyataan di Bumi Indonesia, Rakyat Indonesia masih
diliputi banyak kemiskinan dan keadilan secara lahir maupun batin masih
di awang-awang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar