Dan kemudian gerakan ini mendapat sambutan dari wilayah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah, dimana pada tanggal 17 Februari 1958 kawasan tersebut menyatakan mendukung PRRI.
Konflik yang terjadi ini sangat dipengaruhi oleh tuntutan keinginan akan adanya otonomi daerah yang lebih luas. Selain itu ultimatum yang dideklarasikan itu bukan tuntutan pembentukan negara baru maupun pemberontakan, tetapi lebih kepada konstitusi dijalankan. Pada masa bersamaan kondisi pemerintahan di Indonesia masih belum stabil pasca agresi Belanda. Hal ini juga memengaruhi hubungan pemerintah pusat dengan daerah serta menimbulkan berbagai ketimpangan dalam pembangunan, terutama pada daerah-daerah di luar pulau Jawa.
Dan sebelumnya bibit-bibit konflik tersebut dapat dilihat dengan dikeluarkannya Perda No. 50 tahun 1950 tentang pembentukan wilayah otonom oleh provinsi Sumatera Tengah waktu itu yang mencakup wilayah provinsi Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, dan Jambi sekarang.
Namun apa yang menjadi pertentangan ini, dianggap sebagai sebuah pemberontakanoleh pemerintah pusat yang menganggap ultimatum itu merupakan proklamasi pemerintahan tandingan dan kemudian dipukul habis dengan pengerahan pasukan militer terbesar yang pernah ter catat di dalam sejarah militer Indonesia
Kabinet PRRI
Kabinet PRRI terdiri dari:- Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Keuangan,
- Mr. Assaat Dt. Mudo sebagai Menteri Dalam Negeri, Dahlan Djambek sempat memegangnya sebelum Mr. Assaat sampai di Padang,
- Maluddin Simbolon sebagai Menteri Luar Negeri,
- Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo sebagai Menteri Perhubungan dan Pelayaran,
- Muhammad Sjafei sebagai Menteri PPK dan Kesehatan,
- J.F. Warouw sebagai Menteri Pembangunan,
- Saladin Sarumpaet sebagai Menteri Pertanian dan Perburuhan,
- Muchtar Lintang sebagai Menteri Agama,
- Saleh Lahade sebagai Menteri Penerangan,
- Ayah Gani Usman sebagai Menteri Sosial,
- Dahlan Djambek sebagai Menteri Pos dan Telekomunikasi setelah Mr. Assaat sampai di Padang
Selanjutnya mereka membentuk dewan-dewan militer
daerah, seperti :
- Dewan Banteng di Sumatra Barat dipimpin oleh Kolonel Achmad Husein (Komandan Resimen Infanteri 4) dibentuk pada 20 Desember 1956
- Dewan Gajah di Medan dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon, Panglima Tentara dan Teritorium I (TTI) pada tanggal 22 Desember 1956.
- Dewan Garuda di Sumatra Selatan dipimpin oleh Letkol Barlian.
Untuk meredakan pergolakan di daerah maka pada tanggal 14 September 1957
dilaksanakan Musyawarah Nasional (Munas) yang dihadiri tokoh-tokoh nasional baik
di pusat maupun di daerah. Membicarakan mengenai masalah pemerintahan, masalah
daerah, ekonomi, keuangan, angkatan perang, kepartaian, serta masalah
dwitunggal Soekarno-Hatta. Sebagai tindak lanjut Munas maka diselenggarakan
Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap) yang bertempat di Gedung Olah raga
Medan Merdeka Selatan Jakarta. Dengan Tujuan merumuskan usaha-usaha pembangunan
sesuai dengan keinginan daerah-daerah. Untuk membantu mengatasi persoalan di
lingkungan Angkatan Darat dibentuklah panitia Tujuh, akan tetapi sebelum
panitia tujuh mengumumkan hasil pekerjaannya terjadilah peristiwa Cikini.
Peristiwa Cikini ini semakin memperburuk keadaan di Indonesia.
Daerah-daerah yang bergejolak semakin menunjukkan jati dirinya sebagai gerakan
melepaskan diri dari pemerintah pusat. Bahkan pada tanggal 9 Januari 1958
diselenggarakan pertemuan di Sumatra Barat yang dihadiri tokoh-tokoh sipil dan
militer daerah. Pada 10 Januari 1958 diselenggarakan rapat raksasa di Padang.
Dalam pidatonya, Ketua Dewan Banteng, Achmad Husein menyampaikan ultimatum
kepada pemerintah pusat yang berisi.
1. Dalam waktu
5 x 24 jam kabinet Djuanda menyerahkan mandat kepada presiden.
2. Presiden
menugaskan kepada Moh. Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX untuk membentuk Zaken Kabinet.
3. Meminta
presiden kembali kepada kedudukannya sebagai Presiden Konstitusional.
Menanggapi ultimatum tersebut, Sidang Dewan Menteri memutuskan untuk
menolaknya dan memecat secara tidak terhormat perwira-perwira TNI-AD yang duduk
dalam pimpinan gerakan sparatis, yaitu Letkol Achmad Husein, Kolonel Zulkifli
Lubis, Kolonel Dachlan Djambek, dan Kolonel Simbolon. Pada 12 Februari 1958,
KSAD A.H Nasution mengeluarkan perintah untuk membekukan Kodim Sumatra Tengah
dan selanjutnya dikomando langsung oleh KSAD.
Sementara itu pada, 15 Februari 1958, Achmad Husein memproklamasikan
berdirinya Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI) dengan Syarifudin
Prawiranegara sebagai perdana menterinya. Proklamasi PRRI mendapatkan
sambutan dari Indonesia bagian Timur. Dalam rapat-rapat raksasa yang
dilaksanakan di beberapa daerah Komando Daerah Militer Sulawesi Utara dan
Tengah, Kolonel D. J Somba mengeluarkan pernyataan bahwa sejak tanggal 17
Februari 1958 Kodim Sulawesi Utara dan Tengah (KDMSUT) menyatakan putus
hubungan dengan pemerintah pusat dan mendukung PRRI.
Untuk memulihkan keamanan Negara, pemerintah bersama dengan KSAD memutuskan
untuk melakukan operasi militer. Operasi gabungan AD-AL-AU terhadap PRRI ini
diberi nama Operasi 17 Agustus yang
dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Yani. Operasi pertama kali ditujukan ke
Pekanbaru untuk mengamankan sumber-sumber minyak. Pada tanggal 14 Maret 1958
Pekanbaru berhasil dikuasai. Operasi militer kemudian dikembangkan ke pusat
pertahanan PRRI. Pada tanggal 4 Mei 1958 Bukittinggi berhasil direbut kembali.
Selanjutnya, pasukan TNI membersihkan daerah-daerah bekas kekuasaan PRRI.
Banyak anggota PRRI yang melarikan diri ke hutan-hutan.
Untuk mengatasi pemberontakan PERMESTA, KSAD sebagai Penguasa Perang Pusat
memecat Kolonel Somba dan Mayor Runturambi, sedangkan Batalion yang berada di
bawah KDMSUT diserahkan kepada Komando Antardaerah Indonesia Timur. Untuk
menumpas aksi Permesta, pemerintah melancarkan operasi gabungan yang disebut Operasi Merdeka yang dipimpin oleh
Letkol Rukminto Hendraningrat pada bulan April 1958. Gerakan Permesta diduga
mendapat bantuan dari petualang asing terbukti dengan jatuhnya pesawat yang
dikemudikan oleh A.L. Pope (seorang warganegara Amerika) yang tertembak jatuh
di Ambon pada 18 Mei 1958. Pada 29 Mei 1961, Achmad Husein menyerahkan diri.
Pada pertengahan tahun 1961 tokoh-tokoh Permesta juga menyerahkan diri.
Pemberontakan PRRI/PERMESTA dan Intervensi Asing di Indonesia
"Amerika
Serikat jangan sampai bermain api dengan Indonesia, jangan sampai ketidaktahuan
Amerika Serikat menyebabkan meletusnya Perang Dunia III."
Pernyataan
diatas merupakan pernyataan ancaman dari Presiden Pertama Republik Indonesia
"Ir Soekarno" terhadap usaha Amerika Serikat untuk mengintervensi
masalah dalam negri Indonesia terkait dengan dukungan Amerika Serikat terhadap
pemberontakan PRRI/PERMESTA. Seperti yang kita ketahui Gerakan PRRI/PERMESTA
merupakan salah satu pemberontakan yang terjadi di Indonesia pada masa
pemerintahan Ir Soekarno. Dalam sejarah umum kita mengetahui bahwa latar
belakang pemberontakan tersebut adalah rasa tidak puas dari beberapa daerah
terhadap kebijakan pemerintah pusat sehingga pihak-pihak yang tidak puas
tersebut membentuk gerakan untuk menentang pemerintah pusat dimana di wilayah
Sumatra bernama Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan di
Indonesia Timur bernama Perjuangan Rakyat Semesta (PERMESTA) yang kemudia
digabungkan menjadi PRRI/PERMESTA. Pergerakan tersebut didukung oleh beberapa
tokoh militer Indonesia seperti Letkol Achmad Husein, Kolonel Zulkifli Lubis,
Kolonel Dachlan Djambek, dan Kolonel Simbolon dan juga Kolonel D. J Somba.
Namun dibalik semua itu, keterlibatan asing dalam usaha pemberontakan jelas
sudah terlihat. Amerika Serikat melalui CIA sudah menngintervensi pemberontakan
semenjak Oktober 1957 melalui penyaluran dana kepada para pemberontak. Amerika
Serikat menggunakan isu anti Komunis untuk mendanai pergerakan PRRI/PERMESTA.
Dukungan Amerika Serikat terhadap pemberontakan PRRI/PERMESTA jelas merupakan
salah satu agenda penting CIA untuk menyingkirkan para pemimpin negara-negara
dunia ketiga yang memiliki sikap Ultranasionalis dan Patriotik serta menolak
dikendalikan oleh pihak asing, dalam hal ini Ir Soekarno memenuhi kriteria
tersebut dan pantas untuk digulingkan untuk digantikan oleh pemimpin yang pro
dengan kebijakan Amerika Serikat. Bantuan-bantuan Amerika Serikat untuk
pemberontak jelas terlihat dari penyelundupan senjata bagi para sepratis PRRI
melalui perusahaan minyak Caltex yang berlokasi di wilayah Riau serta
pengiriman logistik lewat pesawat udara. Amerika Serikat juga memberikan senjata-senjata
berat termasuk pesawat-pesawat udara sehingga pemberontak PRRI dapat membentuk
Angkatan Udara sendiri (AUREV/Angkatan Udara Revolusioner). Selain memberikan
senjata, Amerika Serikat juga melatih para anggota pemberontak seperti Kolonel
Simbolon dan para anggotanya di pangkalan-pangkalan militer Amerika Serikat di
daerah Okinawa, Saipan dan Guam. Pelatiha-pelatihan tersebut berlangsung hingga
akhir 1957 sebagai upaya untuk mempersiapkan pemberontak secara militer. Selain
mempersiapkan para pemberontak secara militer, Amerika Serikat juga menunjukkan
dukungannya secara militer kepada para pemberontak melalui pembentukan
"Task Force 75" oleh komandan Armada ke 7 Amerika Serikat yang
terdiri atas satu cruiser, dua destroyer dan satu kapal induk (aircraft
carrier) berisi 2 batalion marinir. Task Force 75 tersebut bergerak ke
Singapura dengan tujuan untuk melakukan pendaratan di wilayah Riau tepatnya
Minas dan Duri. Tindakan Amerika Serikat tersebut jelas merupakan intervensi
militer dan dapat diartikan sebagai upaya invasi Amerika Serikat terhadap
wilayah kedaulatan Indonesia, namun Amerika Serikat saat itu beralasan bahwa
tujuannya adalah untuk melindungi warga Amerika Serikat dan kepentingannya di
Caltex. Pasukan Marinir Amerika Serikat itu rencananya akan didaratkan
diwilayah Riau apabila ladang-ladang minyak tersebut dibom oleh pasukan
Angkatan Udara Indonesia sebagai upaya untuk memadamkan pemberontakan. Kolonel
George Benson, atase militer AS di Jakarta berkata, “The U.S was anxious to
have pretext to send marines.” And two battalion of US Marine are, “fully
equipped and ready for battle were prepared to be helicoptered within twelve
hours notice to the Sumatran oil fields”. Ketika pemberontakan meletus, pihak
Indonesia langsung mengirimkan pasukan dibawah pimpinan Ahmad Yani untuk
memadamkan pemberontakan. Ketika pasukan TNI tiba dan berhasil mendesak pasukan
pemberontak, Amerika Serikat berpesan kepada para pemberontak PRRI agar sebelum
mundur ke Riau, pasukan pemberontak meledakkan kilang-kilang minyak Caltex di
Riau agar peristiwa tersebut dapat dijadikan alasan bagi Amerika Serikat untuk
mendaratkan pasukan yang sudah disiapkannya (pasukan AS sudah menunggu
disekitar perairan Dumai) ke Riau. Pasukan Amerika Serikat tersebut kemudian
akan ditugaskan untuk menghantam pasukan TNI pimpinan Ahmad Yani dan kemudian
terus mendesak hingga menyerbu Jakarta dan langsung menumbangkan Presiden
Soekarno dari tampuk kekuasaannya. Namun rencana tersebut tidak dapat
direalisasikan sebab pergerakan TNI sangat cepat dan berhasil menguasai
kilang-kilang minyak Caltex di Riau. Keberhasilan TNI itu mengurungkan niat
Amerika Serikat untuk mendaratkan pasukannya dan Task Force 75 ditarik mundur
ke Filipina. Pada akhirnya pemberontakan PRRI di Sumatra berhasil dipadamkan
oleh pasukan TNI dan intervensi asing berhasil di cegah. Sementara itu di
wilayah Indonesia Timur AUREV milik PERMESTA melakukan pengeboman terhadap
Banjarmasin, Balikpapan, Palu, Selat Makasar, Kendari, Makasar, Ambon, Ternate
dan Jailolo (di Halmahera) dan Morotai. Bantuan Amerika Serikat terhadap
pemberontak membuat AUREV berjaya di udara. Pangkalan-pangkalan di Bangkok,
Singapura, Saigon, Subic dan Clark dan Taiwan menjadi wilayah suplai utama dari
Amerika Serikat kepada pasukan pemberontak PRRI/PERMESTA. Pimpinan PERMESTA
Kolonel Vence Samual berencana untuk menyerang dan menduduki Jakarta setelah
mendapatkan superioritas kekuatan di laut dan udara, namun pada bulan Mei AURI
(Angkatan Udara Republik Indonesia) melakukan serangan besar-besaran terhadap posisi
pasukan pemberontak ke lapangan terbang Menado, Morotai dan Jailolo, yang
dibarengi dengan serbuan darat dan pada tanggl 26 Juni Manado berhasil dikuasai
oleh TNI yang mematahkan tulang punggung dari pemberontakan PERMESTA di
Indonesia Timur. Intervensi asing di Indonesia selama pemberontakan
PRRI/PERMESTA memang sangat terasa, bahkan bisa dikatakan pemberontakan
PRRI/PERMESTA merupakan pemberontakan yang secara nyata didukung oleh kekuatan
asing. Keterlibatan Amerika Serikat dalam pemberontakan semakin jelas ketika
pada tanggal 18 Mei 1958 sebuah pesawat pengebom B 29 milik Amerika Serikat
berhasil ditembak jatuh oleh kesatuan Anti Serangan Udara TNI setelah peswat
tersebut membombardir sebuah pasar dan lapangan udara di Ambon. Pilot pesawat
tersebut berhasil ditangkap hidup-hidup dan menjadi kunci bagi Indonesia untuk
membuktikan keterlibatan Amerika Serikat dalam pemberontakan yang sedang
terjadi. Allan Lawrence Pope merupakan agen CIA yang mengawaki pesawat B 29
yang ditugaskan dalam misi penggulingan Ir Soekarno. Awalnya Amerika Serikat
menolak mengakui keterlibatannya, namun pada akhirnya Ir Soekarno berhasil
menyekak Amerika Serikat dengan pembuktian melalui dokumen-dokumen yang dibawa
Allan Pope yang jelas mengaitkan keterlibatan Amerika Serikat melalui CIA
terhadap upaya pemberontakan di Indonesia. Hal tersebut benar-benar merupakan
tamparan keras diwajah negara adikuasa tersebut bahkan Allan Pope dijadikan
kartu as bagi Ir Soekarno untuk memeras dan mengancam Amerika Serikat yang pada
akhirnya memaksa Amerika Serikat untuk memberikan bantuan senjata kepada
Indonesia. Namun keterlibatan asing dalam pemberontakan PRRI/PERMESTA tidak
hanya dilakukan oleh Amerika Serikat. Setidaknya peristiwa di Indonesia
tersebut juga menarik perhatian dari negara-negara rival Amerika Serikat dari
blok Komunis. Republik Rakyat Cina (RRC) saat itu telah mempersiapkan
skuardon-skuardon udaranya serta ribuan tentara regulernya untuk dikirim ke
Indonesia. Pihak RRC berencana untuk mengirim Tentara Pembebasan Rakyat (PLA)
untuk membantu Indonesia memadamkan pemberontakan PRRI/PERMESTA yang tentunya
hal tersebut juga merupakan usaha dari RRC untuk mendekati Indonesia. Namun
tawaran RRC untuk mengirim Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) tersebut ditolak
oleh Ir Soekarno. “Kekuatan angkatan perang kami masih mampu menghadapi para
pemberontak itu", tegasnya. Ir Soekarno jelas menunjukkan sikap seorang
Ultranasionalis sejati, menolak adanya upaya intervensi asing terhadap
permasalahan dalam negri Indonesia. Indonesia for Indonesians, masalah
Indonesia harus diselesaikan oleh orang Indonesia sendiri kira-kira demikianlah
pemikiran Ir Soekarno. Boleh jadi pernyataan Ir Soekarno tersebut memang bukan
hanya upaya gengsi semata, tetapi memang karena beliau paham dan yakin akan
kekuatan bangsanya sendiri dan hal itu telah dibuktikan dilapangan bahwa tanpa
bantuan dari pihak asing sekalipun Pasukan Indonesia (TNI) mampu memadamkan
pemberontakan dan memulihkan keamanan dan ketertiban diwilayah basis
pemberontak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar