Revolusi
Nasional Indonesia adalah
sebuah konflik bersenjata dan pertentangan diplomasi antara Republik Indonesia yang baru lahir melawan Kerajaan
Belanda yang dibantu oleh pihak Sekutu, diwakili oleh Inggris.
Rangkaian peristiwa ini terjadi mulai dari proklamasi kemerdekaan Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945 hingga pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Kerajaan Belanda
pada 29 Desember 1949. Meskipun demikian, gerakan revolusi itu sendiri telah
dimulai pada tahun 1908, yang saat ini diperingati sebagai tahun dimulainya kebangkitan nasional Indonesia.
Selama
sekitar empat tahun, beberapa peristiwa berdarah terjadi secara sporadis.
Selain itu terdapat pula pertikaian politik serta dua intervensi internasional.
Dalam peristiwa ini pasukan Belanda hanya mampu menguasai kota-kota besar di
pulau Jawa
dan Sumatera,
namun gagal mengambil alih kendali di desa dan daerah pinggiran. Karena sengitnya
perlawanan bersenjata serta perjuangan diplomatik, Belanda berhasil dibuat
tertekan untuk mengakui kemerdekaan Indonesia. Revolusi ini berujung pada berakhirnya
pemerintahan kolonial Hindia Belanda dan mengakibatkan perubahan
struktur sosial di Indonesia, di mana kekuasaan raja-raja mulai dikurangi atau
dihilangkan. Peristiwa ini dikenal dengan "revolusi sosial", yang
terjadi di beberapa bagian di pulau Sumatera.
Latar belakang
Pergerakan
nasionalis untuk mendukung kemerdekaan Indonesia dari Kerajaan
Belanda, seperti Budi Utomo, Partai Nasional Indonesia, Sarekat Islam
dan Partai Komunis Indonesia tumbuh dengan
cepat di pertengahan abad ke-20. Budi Utomo,
Sarekat Islam
dan gerakan nasional lainnya memprakarsai strategi kerja sama dengan mengirim
wakil mereka ke Volksraad (dewan rakyat) dengan harapan Indonesia akan
diberikan hak memerintah diri sendiri tanpa campur tangan Kerajaan
Belanda. Sedangkan gerakan nasionalis lainnya memilih cara
nonkooperatif dengan menuntut kebebasan pemerintahan Indonesia sendiri dari Belanda.
Pemimpin gerakan nonkooperatif ini adalah Soekarno
dan Mohammad
Hatta, dua orang mahasiswa nasionalis yang kelak menjadi presiden dan wakil presiden pertama. Pergerakan ini
dimudahkan dengan adanya kebijakan Politik Etis
yang dijalankan oleh Belanda.
Pendudukan Indonesia
oleh Jepang
selama tiga setengah tahun masa Perang Dunia Kedua merupakan faktor penting
untuk revolusi berikutnya. Belanda hanya memiliki sedikit kemampuan untuk
mempertahankan penjajahan di Hindia Belanda. Hanya dalam waktu tiga bulan,
Jepang berhasil menguasai Sumatera. Jepang kemudian berusaha untuk mengambil hati kaum
nasionalis dengan menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia dan mengizinkan
penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik. Ini
menimbulkan lahirnya organisasi-organisasi perjuangan di seluruh negeri.
Ketika
Jepang berada di ambang kekalahan perang, Belanda kembali untuk merebut kembali
bekas koloni mereka. Pada 7 September 1944, Perdana Menteri Jepang Kuniaki Koiso
menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia, walaupun tidak menetapkan tanggal
resmi.
Proklamasi kemerdekaan
Proklamasi dan pembentukan pemerintahan
PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini
menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal2 jang mengenai
pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam
tempoh jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, 17 - 8 - '05
Wakil2 bangsa Indonesia.
Pada akhir
bulan Agustus 1945,
pemerintahan republikan telah berdiri di Jakarta. Kabinet Presidensial dibentuk, dengan
Soekarno sendiri sebagai ketuanya. Hingga pemilihan umum digelar, Komite Nasional Indonesia Pusat
dibentuk untuk membantu Presiden dan bertindak hampir sebagai badan legislatif.
Komite serupa juga dibentuk di tingkat provinsi dan kabupaten. Mendengar berita
pembentukan pemerintah pusat di Jakarta, beberapa raja menyatakan
menggabungkan diri dengan Indonesia. Sementara beberapa lainnya belum
menyatakan sikap atau menolak mentah-mentah, terutama yang pernah didukung oleh
pemerintah Belanda.
Khawatir
Belanda akan berusaha merebut kembali kekuasaan di Indonesia, pemerintah yang
baru dibentuk tersebut dengan cepat menyelesaikan persoalan administrasi. Saat
itu, pemerintahan masih sangat terpusat di pulau Jawa, sementara kontak ke luar
pulau masih sangat sedikit ]Pada 14 November 1945, Sutan Sjahrir
menjadi perdana menteri pertama
mengetuai kabinet Sjahrir I.
Beberapa
minggu setelah Jepang menyerah, Giyugun dan Heiho dibubarkan oleh pemerintah Jepang. Struktur
komando dan keanggotaan PETA dan Heiho pun hilang. Karena itu, pasukan
republikan yang mulai tumbuh di bulan September, tetapi lebih banyak berupa
kelompok-kelompok kecil milisi pemuda yang tidak terlatih, yang biasanya
dipimpin oleh seorang pemimpin karismatik. Ketiadaan struktur militer yang patuh pada
pemerintah pusat menjadi masalah utama revolusi kala itu. Dalam masa awal pembentukan struktur militer,
perwira Indonesia yang dilatih Jepang mendapat pangkat yang lebih tinggi
dibanding perwira yang dilatih oleh Belanda. Pada 12 November 1945, dalam
sebuah konferensi antar panglima-panglima divisi militer di Yogyakarta seorang
mantan guru sekolah berumur 30 tahun bernama Sudirman
terpilih menjadi panglima Tentara Keamanan Rakyat,
bergelar "Panglima Besar".
Euforia revolusi
Tan Malaka,
salah satu pejuang revolusi yang berjuang bersama gerakan bawah tanah.
Sebelum
berita tentang, proklamasi kemerdekaan Indonesia
menyebar ke pulau-pulau lain, banyak masyarakat Indonesia yang jauh dari ibu
kota Jakarta
tidak percaya. Saat berita mulai menyebar, banyak dari orang Indonesia datang
untuk menyatakan diri mereka sebagai pro-republik, dan suasana revolusi menyapu
seluruh negeri. Kekuatan luar di dalam
negeri telah menyingkir, seminggu sebelum tentara Sekutu masuk ke Indonesia,
dan Belanda telah mulai melemah kekuatannya dikarenakan perang. Disisi lain,
pasukan Jepang, sesuai dengan ketentuan diminta untuk menyerah dan meletakkan
senjata, da juga menjaga ketertiban umum.
kevakuman
kekuasaan selama berminggu-minggu setelah Jepang menyerah
menciptakan suasana ketidakpastian di dalam politik Indonesia saat itu, tetapi
hal ini menjadi suatu kesempatan bagi rakyat.[13]
Banyak pemuda Indonesia bergabung dengan kelompok perjuangan pro-republik dan
laskar-laskar. Laskar-laskar yang paling terorganisir antara lain kelompok PETA dan Heiho yang dibentuk oleh
Jepang. Namun pada saat itu laskar-laskar rakyat berdiri sendiri dan koordinasi
perjuangan cukup kacau. Pada minggu-minggu pertama, tentara Jepang menarik diri
dari daerah perkotaan untuk menghindari konfrontasi dengan rakyat.
Pada bulan
September 1945, pemerintah republik yang dibantu laskar rakyat telah mengambil
alih kendali atas infrastruktur-infrastruktur utama, termasuk stasiun kereta api dan trem di kota-kota besar di
Jawa. Untuk menyebarkan pesan-peasn
revolusioner, para pemuda mendirikan stasiun radio dan koran, serta grafiti
yang penuh dengan sentimen nasionalis. Di sebagian besar pulau-pulau di
Indonesia, komite perjuangan dan laskar-laskar milisi dibentuk.
Koran kaum republik dan jurnal-jurnal perjuangan terbit di Jakarta, Yogyakarta
dan Surakarta,
yang betujuan memupuk generasi penulis yang dikenal sebagai Angkatan 45.
Para
pemimpin republik berjuang untuk menyatukan sentimen yang menyebar di
masyarakat, karena ada beberapa kelompok yang menginginkan revolusi fisik, dan
yang lain lebih memilih menggunakan cara pendekatan damai. Beberapa pemimpin
seperti Tan Malaka
dan pemimpin kiri lainnya menyebarkan gagasan bahwa revolusi harus dipimpin
oleh para pemuda. Soekarno dan Hatta, sebaliknya, lebih tertarik dalam
perencanaan sebuah pemerintahan dan lembaga-lembaga negara untuk mencapai
kemerdekaan melalui diplomasi. Massa pro-revolusi melakukan demonstrasi di di
kota-kota besar, salah satunya dipimpin Tan Malaka di Jakarta dan diikuti lebih
dari 200,000 orang. Tetapi aksi ini yang akhirnya berhasil dipadamkan oleh
Soekarno-Hatta, karna mengkhawatirkan pecahnya aksi-aksi kekerasan.
Pada
September 1945, banyak pemuda Indonesia yang menyatakan diri "siap mati
untuk kemerdekaan 100%" karna tidak dapat menahan kesabaran mereka. Pada
saat itu, penculikan kaum "nonpribumi" - interniran Belanda,
orang-orang Eurasia,
Maluku
dan Tionghoa
- sangat umum terjadi, karena mereka dianggap sebagai mata-mata. Kekerasan
menyebar dari seluruh negeri, sementara pemerintah pusat di Jakarta terus
menyerukan kepada para pemuda agar dapat tenang. Namun, pemuda yang mendukung perjuangan
bersenjata memandang pimpinan yang lebih tua sebagai para "pengkhianat
revolusi", yang pada akhirnya sering menyebabkan meletusnya konflik
internal di kalangan masyarakat sipil.
Tindakan Sekutu
Pihak Belanda
menuduh Soekarno dan Hatta berkolaborasi dengan Jepang dan
mencela bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan hasil dari fasisme
Jepang.
Pemerintahan Hindia Belanda telah menerima sepuluh juta dolar dari Amerika
Serikat untuk mendanai usaha pengembalian Indonesia sebagai jajahan
mereka kembali.
Pendudukan kembali
Seorang
prajurit dari resimen bersenjata asal India menyita sebuah tank milik kaum
nasionalis, yang tertinggal setelah pertempuran di Surabaya.
Meskipun
begitu, situasi Belanda pada saat itu lemah setelah diamuk Perang Dunia Kedua di Eropa dan baru bisa
mengatur kembali militernya pada awal 1946. Jepang dan kekuatan sekutu lainnya
enggan menjadi pelaksana tugas pemerintahan di Indonesia. Sementara Amerika Serikat sedang
fokus bertempur di kepulauan Jepang, Indonesia diletakkan di bawah kendali
seorang laksamana dari Angkatan Laut Britania Raya, Laksamana Earl Louis
Mountbatten, Panglima
Tertinggi Sekutu untuk Komando Asia Tenggara.
Enklaf-enklaf Sekutu muncul di Kalimantan, Morotai, dan beberapa bagian di Irian Jaya;
para pegawai sipil Belanda telah kembali ke daerah-daerah tersebut. Di area yang dikuasa angkatan laut Jepang,
kedatangan pasukan Sekutu segera saja menghentikan aksi-aksi revolusioner,
dimana tentara Australia (diikuti pasukan Belanda dan pegawai-pegawai
sipilnya), dengan cepat menguasai daerah-daerah yang sebelumnya dikuasai
Jepang, kecuali Bali
dan Lombok.
Karena tidak adanya perlawanan berarti, dua divisi tentara Australia dengan
mudah menguasai beberapa daerah di bagian Timur Indonesia.
Inggris
ditugaskan untuk mengatur kembali jalannya pemerintahan sipil di Jawa. Belanda
mengambil kesempatan ini untuk menegakkan kembali pemerintahan kolonial lewat NICA dan terus mengklaim
kedaulatan atas Indonesia. Meskipun begitu, tentara Persemakmuran
belum mendarat di Jawa sampai September 1945. Tugas mendesak Lord Mountbatten
adalah pemulangan 300,000 orang Jepang dan membebaskan para tawanan
perang. Ia tidak ingin (dan tidak berdaya) untuk memperjuangakan
pengembalian Indonesia pada Belanda. Tentara Inggris pertama kali mendarat di Medan, Padang, Palembang,
Semarang
dan Surabaya
pada bulan Oktober. Dalam usaha menghindari bentrokan dengan orang-orang
Indonesia, komandan pasukan Inggris Letjen Sir Philip
Christison, mengirim para prajurit Belanda yang dibebaskan ke
Indonesia Timur, dimana pendudukan kembali Belanda berlangsung mulus. Tensi
memuncak saat tentara Inggris memasuki Jawa dan Sumatera; bentrokan pecah
antara kaum republikan melawan para "musuh negara", seperti tawanan
Belanda, KNIL,
orang Tionghoa, orang-orang Indo dan warga sipil Jepang.
Perjuangan militer dan diplomasi
Perjanjian Linggarjati
Bulan
Agustus pemerintah Belanda melakukan usaha lain untuk memecah halangan dengan
menunjuk tiga orang Komisi Jendral datang ke Jawa dan membantu Van Mook
dalam perundingan baru dengan wakil-wakil republik itu. Konferensi antara dua
belah pihak diadakan di bulan Oktober dan November di bawah pimpinan yang
netral seorang komisi khusus Inggris, Lord Killearn. Bertempat di bukit Linggarjati
dekat Cirebon.
Setelah mengalami tekanan berat -terutama Inggris- dari luar negeri, dicapailah
suatu persetujuan tanggal 15 November 1946 yang pokok pokoknya
sebagai berikut :- Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949,
- Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia
- Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Untuk ini Kalimantan
dan Timur Raya akan menjadi komponennya. Sebuah Majelis Konstituante didirikan,
yang terdiri dari wakil-wakil yang dipilih secara demokratis dan bagian-bagian
komponen lain. Indonesia Serikat pada gilirannya menjadi bagian Uni Indonesia-Belanda
bersama dengan Belanda,
Suriname
dan Curasao. Hal ini akan memajukan kepentingan bersama dalam hubungan luar
negeri, pertahanan, keuangan dan masalah ekonomi serta kebudayaan. Indonesia
Serikat akan mengajukan diri sebagai anggota PBB. Akhirnya setiap perselisihan
yang timbul dari persetujuan ini akan diselesaikan lewat arbitrase.
Kedua
delegasi pulang ke Jakarta, dan Soekarno-Hatta kembali ke pedalaman dua hari
kemudian, pada tanggal 15 November 1946, di rumah Sjahrir di
Jakarta, berlangsung pemarafan secara resmi Perundingan Linggarjati. Sebenarnya
Soekarno yang tampil sebagai kekuasaan yang memungkinkan tercapainya
persetujuan, namun, Sjahrir yang diidentifikasikan dengan rancangan, dan yang
bertanggung jawab bila ada yang tidak beres.
Agresi Militer Belanda I
Pada tengah
malam 20 Juli 1947, Belanda meluncurkan serangan militer yang disebut sebagai Agresi Militer Belanda I (Operatie
Product), dengan tujuan utama menghancurkan kekuatan republikan. Aksi
militer ini melanggar perjanjian Linggarjati, dan dianggap pemerintah belanda
sebagai aksi polisionil untuk penertiban dan penegakkan
hukum. Pasukan Belanda berhasil memukul pasukan Republikan dari Sumatera serta
Jawa Barat dan Jawa Timur. Republikan kemudian memindahkan pusatnya ke
Yogyakarta. Pasukan Belanda juga menguasai perkebunan di Sumatera, installasi
minyak dan batu bara, serta pelabuhan-pelabuhan besar di Jawa.
Negara-negara
lain bereaksi negatif terhadap aksi Belanda ini. Australia, India, Uni Soviet,
dan Amerika Serikat segera mendukung Indonesia. Di Australia, misalnya, kapal
berbendera Belanda diboikot mulai bulan September 1945. Dewan keamanan PBB
mulai bertindak aktif dengan membentuk Komisi Tiga Negara untuk
mendorong negosiasi. PBB kemudian mengeluarkan resolusi untuk gencatan senjata.
Pada saat aksi militer ini terjadi, tepatnya pada 9 Desember 1947, Pasukan
Belanda membantai banyak warga sipil di Desa
Rawagede (saat ini wilayah Balongsari di Karawang,
Jawa Barat.
Kekacauan internal
Beberapa
kekacauan internal terjadi di pihak Indonesia selama terjadinya revolusi,
antara lain:
Revolusi sosial
"Revolusi
sosial" yang terjadi setelah proklamasi berupa penentangan terhadap
pranata sosial Indonesia yang terlanjur terbentuk di masa penjajahan Belanda,
dan terkadang juga merupakan hasil kebencian terhadap kebijakan pada masa
penjajahan Jepang. Di seluruh negara, masyarakat bangkit melawan kekuasaan aristokrat
dan kepala daerah dan mencoba untuk mendorong penguasaan lahan dan sumber daya
alam atas nama rakyat. Kebanyakan revolusi sosial ini berakhir dalam waktu
singkat, dan dalam kebanyakan kasus gagal terjadi.
Kultur
kekerasan dalam konflik yang dalam memecah belah negara ini saat dalam
pengusaan Belanda seringkali terulang di paruh akhir abad keduapuluh. Istilah
revolusi sosial banyak digunakan untuk aktivitas berdarah yang dilakukan
kalangan kiri yang melibatkan baik niat altruistik, untuk mengatur revolusi
sosial sebenarnya, dengan ekspresi balas dendam, kebencian, dan pemaksaan
kekuasaan. Kekerasan adalah salah satu dari sekian banyak hal yang dipelajari
rakyat selama masa penjajahan Jepang, dan tokoh-tokoh yang diidentifikasi
sebagai tokoh feodal, antara lain para raja, bupati, atau kadang sekedar
orang-orang kaya, seringkali menjadi sasaran penyerangan, kadang disertai
pemenggalan, serta pemerkosaan juga sering menjadi senjata untuk melawan
wanita-wanita feodal. Di daerah pesisir Sumatera dan Kalimantan yang dikuasai
kesultanan, misalnya, para sultan dan mereka yang mendapat kekuasaan dari
Belanda, langsung mendapat serangan begitu pemerintahan Jepang angkat kaki.
Penguasa sekuler Aceh, yang menjadi basis kekuasaan Belanda, turut dieksekusi,
meskipun kenyataannya kebanyakan daerah kekuasaan kesultanan di Indonesia telah
kembali jatuh ke tangan Belanda.
Kebanyakan
orang Indonesia pada masa ini hidup dalam ketakutan dan kebimbangan, hal ini
terutama terjadi pada populasi yang mendukung kekuasaan Belanda atau mereka
yang hidup di bawah kontrol Belanda. Teriakan kemerdekaan yang begitu populer,
"Merdeka ataoe mati!" seringkali menjadi pembenaran untuk pembunuhan
yang terjadi di daerah kekuasaan Republik. Para pedagang seringkali mengalami
situasi sulit ini. Di satu sisi, mereka ditekan oleh pihak Republik untuk
memboikot semua ekspor ke Belanda, sementara di sisi lain polisi Belanda juga
tidak mengenal ampun bagi para penyelundup yang justru menjadi tumpuan ekonomi
pihak Republik. Di beberapa wilayah, istilah "kedaulatan rakyat" yang
diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 dan sering digunakan para pemuda untuk
menuntut kebijakan proaktif dari para pemimpin, seringkali berakhir tidak hanya
menjadi tuntutan atas komoditas gratis, tapi juga perampokan dan pemerasan.
Pedagang Tionghoa, khususnya, seringkali diminta untuk memberikan harga murah
dengan ancaman pembunuhan.
Pemberontakan Komunis
Pada 18
September 1948 Republik Soviet Indonesia diproklamasikan di Madiun, oleh
anggota PKI yang berniat menjalankan sebuah pusat pembangkangan atas kepemimpinan
Sukarno Hatta, yang dianggap budak Jepang dan Amerika. Pertempuran antara TNI
dan PKI ini, tetap dimenangkan pihak TNI dalam beberapa minggu, dan pemimpinnya, Muso, terbunuh. RM Suryo,
Gubernur Jawa Tiur pada masa itu, beberapa petugas kepolisian, dan pemimpin
relijius gugur di tangan pemberontak. Kemenangan ini menghilangkan gangguan
konsentrasi atas perjuangan revolusi nasional dan memperkuat simpati Amerika
yang awalnya hanya berupa perasaan senasib dalam bentuk anti kolonialisme,
menjadi dukungan diplomatik. Di dunia internasional, pihak Republik Indonesia
mengukuhkan sikap anti komunis dan menjadi calon sekutu potensial di awal era
perang dingin antara Amerika Serikat dan blok Soviet.
Pemberontakan Darul Islam
Pemerintah
berencana membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan anggotanya
disalurkan ke masyarakat. Tenyata Kahar Muzakkar menuntut agar Kesatuan Gerilya
Sulawesi Selatan dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan dalam satu brigade
yang disebut Brigade Hasanuddin di bawah pimpinanya.
Tuntutan itu
ditolak karena banyak di antara mereka yang tidak memenuhi syarat untuk dinas
militer. Pemerintah mengambil kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke
Corps Tjadangan Nasional (CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil
Panglima Tentara dan Tetorium VII, Kahar Muzakkar beserta para pengikutnya
melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan
pengacauan. Kahar Muzakkar mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam
Indonesia dan menyatakan sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal 7
Agustus 1953.
Awalnya TNI
tidak merespon karena sedang berkonsentrasi melawan agresi Belanda. Namun
setelah seluruh teritori kembali disatukan pada 1950, maka pemerintah Republik
Indonesia mulai menganggap Darul Islam sebagai ancaman, terutama setelah
beberapa provinsi lainnya menyatakan bergabung dalam Darul Islam. Perlawanan
ini berhasil dipadamkan mulai tahun 1962, dan tanggal 3 Februari 1965, Kahar
Muzakkar tertembak mati oleh pasukan TNI dalam sebuah baku tembak.
Dampak
Walaupun
tidak ada data akurat mengenai perhitungan dari berapa banyak penduduk
Indonesia yang meninggal dalam gerakan revolusi Indonesia.
Perkiraan yang meninggal dalam peperangan untuk kemerdekaan Indonesia berkisar
dari 45.000 sampai 100.000 jiwa, dan rakyat sipil diperkirakan meninggal dalam
kisaran 25.000 atau mungkin mencapai angka 100.000 jiwa. Selain itu, tentara Inggris
yang berjumlah 1200 diperkirakan dibunuh dan hilang di Jawa dan Sumatera
antara tahun 1945-1946, kebanyakan merupakan prajurit India. Sedangkan untuk Belanda
lebih dari 5000 tentaranya kehilangan nyawa mereka di Indonesia.
Lebih banyak lagi tentara Jepang gugur, di Bandung sendiri tentara Jepang yang meninggal
dalam peperangan sebanyak 1057 jiwa, dalam faktanya hanya setengahnya yang
gugur dalam peperangan, sementara yang lainnya tewas diamuk oleh rakyat
Indonesia lainnya. Puluhan ribu orang Tionghoa
dan masyarakat asing lainnya di bunuh atau terpaksa kehilangan tempat
tinggalnya di Indonesia,
walaupun dalam kenyataannya masyarakat Tionghoa yang tinggal di Indonesia
mendukung gerakan revolusi Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaan. Selain itu,
lebih dari tujuh juta jiwa mengungsi di Sumatera
dan Jawa.
Gerakan
revolusi nasional Indonesia ini memberikan efek langsung pada kondisi ekonomi,
sosial
dan budaya
Indonesia
itu sendiri, di antaranya kekurangan bahan makanan, dan bahan bakar. Ada dua
efek dalam ekonomi yang ditimbulkan oleh gerakan nasional Indonesia yang
berdampak langsung dengan ekonomi Kerajaan
Belanda dan Indonesia, keduanya kembali untuk membangun ekonomi mereka
secara berkelanjutan setelah Perang Dunia
II dan gerakan revolusi Indonesia. Republik Indonesia mengatur kembali setiap hal
yang dibutuhkan oleh rakyat Indonesia yang awalnya diblokade oleh Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar