Ada dua nama presiden yang dilupakan oleh sejarah Indonesia.
Nama-nama yang terlupakan begitu saja itu, adalah Sjafruddin
Prawiranegara yang menjabat presiden pada Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia (PDRI), dari tanggal 22 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949, dan
Mr. Assaat yang memangku sementara jabatan Presiden Republik Indonesia
(RI) pada periode 27 Desember 1949 hingga 15 Agustus 1950, setelah
Konferensi Meja Bundar (KMB).
Dua nama Presiden tersebut merupakan nama yang tak tercatat di dalam
sejarah Indonesia, mungkin karena alpa, tetapi mungkin juga disengaja
dengan alasan-alasan tertentu.
Pict 1 :
Sjafruddin Prawiranegara, Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), periode 22 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949
Sjafruddin Prawiranegara pernah menjabat sebagai Presiden yang
merangkap menteri pertahanan, penerangan, dan luar negeri ad interim
pada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), yang dibentuk untuk
menyelamatkan pemerintahan RI.
Saat itu, Belanda baru saja melancarkan agresi militer ke-2, pada 19
Desember 1948, di Ibukota RI yang saat itu berkedudukan di Yogyakarta.
Belanda pun menahan Presiden dan Wakil Presiden RI saat itu,
Soekarno-Hatta.
Di sela-sela penangkapan itu, Soekarno mengirim telegram kepada
Sjafruddin yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kemakmuran RI, dan
tengah berada di Bukittinggi, Sumatera Barat. Kepada Sjafruddin,
Soekarno meminta agar dibentuk pemerintahan darurat di Sumatera, jika
pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi.
Sjafruddin dan tokoh-tokoh bangsa lainnya di Sumatera kemudian
membentuk PDRI, untuk menyelamatkan negara yang berada dalam keadaan
berbahaya akibat kekosongan posisi kepala pemerintahan (Vacuum Of
Power). Karena, posisi itu menjadi salah satu syarat internasional untuk
di akui sebagai negara di dunia. PDRI pun diproklamirkan 22 Desember
1948 di Desa Halaman, sekitar 15 Kilometer dari Payakumbuh.
Jabatan Presiden merangkap menteri pertahanan, penerangan, dan luar
negeri ad interim yang di isi Sjafruddin, kemudian berakhir setelah dia
menyerahkan kembali mandatnya kepada Soekarno yang kembali ke Yogyakarta
pada 13 Juli 1949. Riwayat PDRI pun berakhir.
Pict 2
Mr. Assaat, Pemangku Sementara Jabatan Presiden Republik Indonesia (RI), periode 27 Desember 1949 hingga 15 Agustus 1950.
Sekitar tahun 1946-1949, di Jalan Malioboro, Yogyakarta, sering
terlihat seorang berbadan kurus semampai berpakaian sederhana sesuai
dengan irama revolusi. Terkadang ia berjalan kaki, kalau tidak bersepeda
menelusuri Malioboro menuju ke kantor KNIP tempatnya bertugas. Orang
ini tidak lain adalah Mr. Assaat, yang selalu menunjukkan sikap
sederhana berwajah cerah di balik kulitnya yang kehitam-hitaman.
Walaupun usianya saat itu baru 40 tahun, terlihat rambutnya mulai
memutih. Kepalanya tidak pernah lepas dari peci beludru hitam.
Mungkin generasi muda sekarang kurang atau sedikit sekali mengenal
perjuangan Mr. Assaat sebagai salah seorang patriot demokrat yang tidak
kecil andilnya bagi menegakkan serta mempertahankan Republik Indonesia.
Assaat adalah seorang yang setia memikul tanggung jawab, baik selama
revolusi berlangsung hingga pada tahap akhir penyelesaian revolusi. Pada
masa-masa kritis itu, Assaat tetap memperlihatkan dedikasi yang luar
biasa.
Mr. Assaat pernah dipercaya menjabat Pemangku sementara jabatan
Presiden Republik Indonesia (RI), pada periode 27 Desember 1949 hingga
15 Agustus 1950. Jabatan itu diamanatkan kepada Mr. Assaat, setelah
perjanjian KMB 27 Desember 1949 memerintahkan pemerintah Belanda
menyerahkan kedaulatan Indonesia kepada pemerintahan Republik Indonesia
Serikat (RIS).
RIS merupakan negara serikat yang terdiri dari 16 negara bagian,
salah satunya adalah Republik Indonesia (RI), yang saat itu dipimpin
pemangku sementara jabatan Presiden, Mr Assaad. Jabatan itu diisi Mr.
Assaat, karena Soekarno dan Hatta ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil
Presiden RIS, akibatnya pimpinan RI kosong.
Peran Mr. Assaat saat itu sangat penting, karena jika RI tanpa
pimpinan, berarti ada kekosongan kekuasaan (Vacuum Of Power) dalam
sejarah Indonesia. Jabatan Mr. Assaat sebagai pemangku sementara jabatan
Presiden RI, berakhir setelah Belanda dan dunia internasional mengakui
kembali kedaulatan RI.
RIS dilebur menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pada
15 Agustus 1950. Soekarno dan Hatta kembali ditetapkan menjadi Presiden
dan Wakil Presiden RI, sementara jabatan Mr. Assaat sebagai pemangku
sementara jabatan Presiden RI dinyatakan berakhir.
Selama memangku jabatan, Assaat menandatangani statuta pendirian
Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. “Menghilangkan Assaat dari
realitas sejarah kepresidenan Republik Indonesia sama saja dengan tidak
mengakui Universitas Gadjah Mada sebagai universitas negeri pertama yang
didirikan oleh Republik Indonesia,” ujar Bambang Purwanto dalam pidato
pengukuhan sebagai guru besar UGM September 2004.
Ketika menjadi Penjabat Presiden, pers memberitakan tentang
pribadinya, antara lain beliau tidak mau dipanggil Paduka Yang Mulia,
cukup dengan panggilan Saudara Acting Presiden. Panggilan demikian
memang agak canggung di zaman itu. Akhirnya Assaat bilang, panggil saja
saya “Bung Presiden”. Di sinilah letak kesederhanaan Assaat sebagai
seorang pemimpin.
Hal itu tergambar pula dengan ketaatannya melaksanakan perintah
agama, yang tak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Dan dia termasuk
seorang pemimpin yang sangat menghargai waktu, sama halnya dengan Bung
Hatta.
Demikian sejarah 2 presiden RI yang dilupakan tersebut, semoga kita
selalu mengingat, bahwa kita memiliki 2 orang presiden yang sangat
berjasa saat itu, meskipun hanya bersifat sementara, namun keberadaan
dan peran mereka sangatlah penting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar